Persiapkan diri saat membaca chapter ini. Jangan kebawa perasaan kayak aku, nanti jadinya meleduk-leduk tak karuan
-oOo-
WAYNE adalah bom yang berdetak.
Terjebak di ambang moralitas hitam dan putih, Wayne tahu tidak lama lagi hidupnya binasa di tangan Janeth atau di tangan abang kandungnya. Dia telah berada di sudut mati dan tak bisa memutar waktu. Tak bisa berkelit dan berbohong, lantaran dua koin yang dihadapinya adalah racun yang sama-sama mematikan; Janeth dan ancamannya, juga Claude dan kesetiaannya. Jiwanya adalah bom yang berdetak, dan pilihan apa pun yang dia ambil untuk melawan, tidak akan menyelamatkannya dari kematian.
Wayne sendiri tak tahu mengapa rentetan situasi yang dialaminya malah menyeretnya ke titik ini. Padahal selama ini yang dia lakukan hanya bertahan hidup.
Memori itu masih subur dalam benaknya―hari-hari sengsara setelah Pangkalan Forbs dibombardir, Wayne terlunta-lunta bersama segelintir korban selamat. Bermalam di satu tempat ke tempat lainnya seraya berjuang memelihara kewarasan. Mereka semua memiliki harapan untuk bertahan, tetapi ketiadaan senjata dan kurangnya inisiatif pertahanan menjerumuskan mereka dalam depresi dan kemarahan jangka panjang.
Suatu hari di tengah kegelapan hutan, seseorang di kelompoknya―wanita latin bernama Carmen, berteriak pada rombongan Wayne; "Untuk apa bersikeras hidup bila para monster yang menemukan kita dapat memangsa hanya dalam hitungan detik? Kita punya kendali untuk memilih! Kalian semua! Apa yang kita lakukan di sini? Menunggu hari untuk menjadi santapan?" Dia menudingkan telunjuknya yang kurus pada wajah-wajah murung di hadapannya. Carmen menangis sambil tertawa, seperti orang kesetanan yang kacau. Ludahnya bermuncratan dari mulutnya ketika dia meraung, "Apa kalian sungguh tolol? Dunia ini sudah hancur, dan kita semua di sini adalah debu-debu tak berguna yang dicampakkan oleh semesta! Apa yang kalian lakukan tak akan membuahkan hasil! Semuanya sudah selesai. SELESAI!"
Kemudian seorang pria di antara mereka menyergap Carmen, membekuknya di tanah dan memaksanya tutup mulut. Namun, pergulatan tak bisa dielakkan. Carmen menendang dan menjerit, tak peduli teriakannya akan mengundang monster atau sesuatu yang lebih buruk. Dia dibutakan oleh amarah dan kesedihan yang menderai sampai jantung. Pria itu memukulinya sampai wajah Carmen bengkak dan gigi-giginya rontok. Darah Carmen merembes ke pakaian, meruap ke udara malam dan mengirimkan aroma menyengat di hidung para penyintas.
Kemudian, seperti yang sudah-sudah, monster Kureji datang dan menghancurkan tempat persembunyian mereka.
Wayne sudah hafal bagaimana rasanya menjadi korban perundungan, tetapi dia tak pernah berada di trofik ekosistem mangsa monster yang sesungguhnya. Kejadian malam itu adalah momen paling tragis yang pernah dia saksikan seumur hidup, bahkan melebihi rasa terkejutnya saat dia menonton rekaman-rekaman pembantaian yang sebelum ini pernah tersiar di televisi. Dia masih mengingat jelas darah penduduk yang bercipratan di udara. Cabikan kuku monster yang menggarut mata dan mengoyak wajah, merobeknya begitu saja hingga jeritannya terputus ditelan kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐈𝐎𝐍𝐄𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟐)
FantasyBACA SEASON 1 DULU YANG BERJUDUL THE LEFTOVERS ⭐ Follow sebelum membaca ⭐ -oOo- Semenjak rombongan monster Kureiji menyingkir dari wilayah perkotaan, mereka menemukan satu masalah baru yang harus ditangani. Tak mau masalah ini larut dalam kekacauan...