7. The Magic Bullet Beneath the Flesh

332 88 39
                                    

-oOo-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-oOo-

KEHENINGAN itu seperti sebuah jam yang berdetak mundur menuju waktu penghabisan. River dapat mengendusnya dari kelopak mata Juan, yang nyaris bening di bawah penerangan sehingga pembuluh darah berwarna biru keunguan tampak mencolok, dari kulitnya yang sepucat kertas dan dibasuh keringat dingin, dan dari denyut jantungnya yang melemah setiap tarikan napas. Manusia biasa akan tewas bila perdarahan tidak segera ditangani, dan Juan tidak punya keajaiban untuk menentang aturan itu. Alasan masuk akal inilah yang membuat River secara panik menggotong adiknya sementara tungkainya menapak buru-buru di tengah lorong penginapan hotel tua yang ditinggalkan.

Bukan, ini bukan penginapan warisan milik Claude. Lokasinya terlalu jauh dan mereka sudah tak punya waktu. Si sopir dadakan―Gareth―beruntung menemukan bangunan tua ini berdiri di tengah-tengah hamparan jalan Wolfhagen yang rusak dan ditinggalkan. Dari aroma pembusukan bangunan yang tercium, mereka cukup percaya di dalam sana tidak ada makhluk buas, pun karena monster umumnya benci berdiam diri di suatu tempat. Otak monster lebih senang meneriakkan perintah berburu sepanjang waktu untuk mengisi perut yang tak lepas-lepas kenyang.

River membaringkan Juan di atas sebuah ranjang kamar. Kulit pucatnya berkilau di bawah cahaya temaram senja yang menembus melalui jendela, sementara darah yang melumuri lengannya tampak berpendar gelap, merembes ke kain dan handuk yang dililitkan menutup lukanya.

River berpaling ke belakang dan mencari Claude, "Kita harus menyelamatkannya," suaranya gemetar dan goyah.

Euros mengeluarkan tasnya yang sejak tadi dipeluk di perjalanan, merogoh sebuah balok kecil berisi alat suntik. Claude menyambarnya, lalu berpaling pada River yang berdiri goyah di dekat ranjang Juan.

"River," ujar Claude serius, "Aku belum meminta izin ke adikmu."

"Aku yakin dia ingin hidup," kata River. Terbayang kembali waktu yang terasa runtuh ketika mereka berdua bersama-sama. Harapan Juan sebagai manusia telah dikikis sehingga yang tersisa dari dirinya hanyalah kemauan untuk bertahan di dunia yang compang-camping ini. Anak itu hanya ingin hidup. Dalam bentuk apa pun itu tak masalah, asalkan otaknya masih waras dan hatinya memiliki welas asih. Itulah harga yang sepadan untuk menjadi monster. Bukan kematian, bukan darah, atau bayangan sanak keluarga yang tersenyum dan menagih janji untuk terus hidup normal. Persetan dengan manusia. Tidak ada kenormalan di dunia yang kacau ini.

"Kalau begitu ayo kita siapkan," Claude menegaskan, kemudian River menyingkir ke samping sementara Claude mendekati sisi ranjang. Gareth dan Isaac secara otomatis memegangi tangan dan kaki Juan, sementara River membuka lilitan kain di lengan adiknya.

Suntikan itu menembus kulit lengan Juan yang masih berlumur darah. Seketika anak itu meraung, bergema lebih keras dari seru teriakan yang sebelum ini dia lontarkan ketika melawan monster, seolah ada sesuatu yang terjepit di dalam tenggorokannya sehingga jeritannya sumbang dan tercekik. Heaven yang sejak tadi berdiri di dekat pintu menatap Juan dengan pandangan ngeri seolah-olah anak itu sedang menghadapi siksaan. Erangan kesakitan itu menusuk telinganya, berdengung di jantungnya bagai iblis yang menabuh dendam. Mengingatkan Heaven pada Noah. Mengingatkannya pada teman-teman satu regunya yang dilahap oleh para monster.

𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐈𝐎𝐍𝐄𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟐) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang