35. DI BAWAH HALTE

423 52 10
                                    

KOMENTAR TEMBUS 100 PER-BAB, SILAKAN TUANGKAN SOBAT(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KOMENTAR TEMBUS 100 PER-BAB, SILAKAN TUANGKAN SOBAT(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

Mohon koreksinya, maaf bila ada typo :)
Jangan lupa untuk menekan ⭐ dan komentar sebagai bentuk apresiasi kalian ya, suwun sobat Sastrawan!

Selamat Membaca 💜

Sore hari yang cerah. Semilir angin berhembus dengan lembut. Beberapa daun kering dari pohon-pohon yang berada di sana berjatuhan. Di jalanan yang lumayan sepi terlihat seorang pemuda yang berjalan dengan linglung. Pemuda itu memegang pipinya yang merah akibat tamparan yang diberikan oleh sahabatnya kepadanya atau mulai sekarang ia menganggap sahabatnya itu sebagai, mantan sahabat?

Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya dengan keadaan acak-acakan. Bahkan tas sekolahnya ia seret di sepanjang jalan. Kemudian, pandangannya menangkap sebuah halte, dengan lunglai ia pun berjalan kesana. Dengan lesu ia duduk sendirian di sana. Tas yang pemuda itu seret ia taruh di sebelahnya. Pemuda itu menundukkan kepalanya menatap sepatu yang ia kenakan.

"Lino kan ngga salah. Kenapa Lino yang kena tampar?" lirihnya.

"Niel yang salah bukan Lino. Kenapa mereka gak percaya sama Lino!" serunya.

Avellino terkekeh kecil "Lino... Lino... apa yang kamu harapkan dari mereka?" tanyanya entah kepada siapa "Jelas-jelas mereka udah berubah! Mereka benci sama kamu, Lino!" racaunya, menampar dengan kalimat yang menyakitkan untuk hatinya sendiri.

"Lino... kecewa banget sama kalian." ucapnya dengan pandangan sendu, lalu menatap lurus ke depan "Sepertinya, persahabatan kita hanya sampai di sini saja, King Of Circle's." lanjutnya mengambil keputusan.

Sekumpulan awan cumolonimbus tiba-tiba datang, membuat suasana sore yang tadinya cerah kini menjadi redup. Suasana yang hangat karena sinar matahari sore, perlahan digantikan oleh hawa dingin yang menusuk. Angin bertiup lumayan kencang menyapu daun-daun kering di jalanan. Tak selang beberapa lama, rintikan hujan pun turun membasahi bumi yang semulanya hanya gerimis berubah menjadi butiran-butiran air yang sangat deras.

Avellino berdiri dan melangkahkan kakinya sebanyak dua langkah ke depan. Perlahan ia mengulurkan tangannya, menikmati tetesan-tetesan air hujan yang membasahi telapak tangannya. Ia tersenyum tipis saat merasakan dinginnya air hujan tersebut dan kemudian ia menciprat-cipratkan air tersebut agar tetesan air tersebut luntur dari tangannya.

Avellino menyukai hujan, apalagi saat air hujan itu membasahi tanah yang kering. Avellino menyukai aromanya, sangat menenangkan. Tapi Avellino juga mulai tak menyukai hujan, karena hujan membawa rasa takut. Hujan juga membawa perasaan sedih, juga hujan membantu menutupi tangisan semua orang, termasuk ia salah satunya yang menjadi pesertanya. Dan untuk kesekian kalinya, Avellino mendaftar untuk menangis dibawah rintikan hujan, akibat kekecewaan yang mendalam.

Avellino lalu berjongkok di sana dengan menelungkupkan kepala di lipatan tangan. Perlahan terdengar isak tangis yang keluar dari bibir tipis itu.

"S-sakit... hati Lino s-sakit... k-kenapa mereka jahat s-sama, Lino? A-apa salah Lino? Papa, mama, sama abang marahin Lino... sakit.... King s-sama sahabat Lino yang lainnya udah pergi dari Lino.... K-kenapa mereka benci Lino? K-kenapa Niel jahat sama Lino? K-kenapa temen-temen Lino b-benci sama Lino? Kenapa i-ini terjadi sama Lino... L-lino capek... B-bang Rendra... Lino capek... n-ngga ada yang s-sayang sama Lino lagi...." ucap Lino sesenggukan.

Sore itu, dia... Avellino menangis berjongkok di bawah naungan halte, ditemani oleh rintikan hujan yang menjadi melodi tangisannya.

Bersambung....

Follow Instagram @sheisnonasastra & @sastrawan_wattpad, makasih ya💜

[05] REALLY FAMILY? [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang