Gadis yang dikhawatirkan oleh Ardian, Alya, dan Laura berada di rumah sahabatnya semenjak masih SMA, Serin. Ia menangis tersedu-sedu menumpahkan segala perasaannya yang sangat tersakiti oleh perkataan ibunya, Alya.
"Ris, mungkin saja mamamu ga bermaksud seperti itu. Mamamu kan lagi pusing tuh ngurusin acara lamaran si Laura jadi asal aja ngomong," ucap Serin mencoba menghibur Arisha.
"Ga Ser. Mama selalu seperti itu kalau lagi marah atau kesal. Apalagi kalau Laura melakukan kesalahan pasti aku yang jadi sasaran," ujar Arisha mengingat perlakuan Alya.
"Mungkin karena dulu Laura masih kecil jadinya kamu yang lebih besar harus mengerti gitu."
Arisha masih menangis mengingat semua yang telah dialaminya semenjak tinggal bersama Alya dan Ardian. Sebelumnya, ia tinggal bersama Nenek Risma yang sangat menyayanginya melebihi ibu kandungnya sendiri.
"Mama selalu menyebut dirinya ke Laura itu 'mama' tapi kalau ke aku itu 'aku' tanpa ada embel-embel Mama."
"Mungkin biar lebih akrab gitu pakai aku-kamu kayak berteman Ris."
"Aku selalu dibilang anak yang membuat hidupnya hancur, aib keluarga. Aku bingung Ser salahku itu apa?"
"Kamu pernah bertanya apa salahmu?"
Arisha menggelengkan kepalanya. "Aku ga berani bertanya Ser. Aku takut akan dimarah-marahin Mama."
Serin tak bisa lagi mencari kata-kata yang menguatkan Arisha. Kalau dipikir perkataan dan perlakuan ibu Arisha memang sangat aneh. Apakah mungkin ada sesuatu rahasia yang selama ini tidak diketahui Arisha tentang apa masalah sebenarnya yang menyebabkan Alya begitu membenci anaknya sendiri.
"Serin, Risha keluar kamar dulu kita makan. Kakak udah bawain makanan dari Tante Femmy," ucap Cicil, kakak Serin.
"Iya Kak." Serin menjawab dari kamarnya.
Serin mengajak Arisha untuk makan malam bersama Cicil. Arisha memang akrab dengan kakak beradik tersebut dan sudah dianggapnya sebagai keluarga kedua yang sangat mengerti dan memahaminya.
Cicil yang sebenarnya tidak tahu permasalah Arisha jadi mengerti saat melihat wajah Arisha yang sembab dan matanya yang bengkak. Ia jadi kasihan pada Arisha, gadis itu raganya di rumah mereka, tapi pikirannya tak berada di sana.
"Kak tadi gimana acara lamarannya Kak Kana?" tanya Serin.
"Berjalan lancar sih, tapi yaa…" Cicil tidak melanjutkan perkataannya. Ia memberikan kode pada Serin mengingat ada Arisha di sana.
Serin mengigit bibirnya. Ia hampir saja keceplosan kalau sebenarnya ia dari keluarga Tante Femmy. Mereka pun berbicara tentang hal-hal ringan dan Cicil juga Serin mencoba membuat Arisha tidak terlalu larut dalam kesedihannya.
Hari semakin malam. Arisha tidur bersama Serin dan Cicil memanggil adiknya untuk bicara berduaan saja di dalam kamarnya.
"Kenapa Kak?" tanya Serin.
"Bisa gawat Ser kalau Kak Kana sampai nikah sama si Laura itu," ucap Cicil berbicara perlahan.
"Iya sih. Si Laura kan model merangkap jadi wanita panggilan juga dia."
"Nah, itu dia. Coba kamu pikirkan gimana malunya keluarga William kalau sampai tahu siapa Laura sebenarnya, tapi aku ga enak juga sama Risha. Gadis itu terlalu baik dan ga ada salah. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya ke Tante Femmy nanti Risha juga ikut-ikutan kena."
"Tapi kasian juga Tante Femmy kalau dapat menantu kayak Laura, Kak. Mending Kak Kana nikahnya sama Risha aja malah itu lebih baik."
Cicil menganggukan-angukan kepalanya. Bukannya ia tak ingin mengatakan hal yang sebenarnya ke Tante Femmy, tapi melihat raut wajah Tante Femmy yang begitu bahagia dengan rencana pernikahan Arkana membuatnya tak sampai hati.
"Aduuh, gimana yaa." Cicil resah dan gelisah sendiri.
Bukan hanya Cicil saja yang memikirkan tentang pernikahan Arkana, tapi Serin juga. Ia harus mencari cara agar bisa menggagalkan pernikahan Arkana dan Laura. Jangan sampai kakak sepupunya tersebut menikah dengan wanita yang tidak pantas untuknya.
"Kak, aku ada rencana nih," ucap Serin bersemangat.
"Rencana apa?" Serin membisikan suatu rencana ke Cicil.
"Gimana Kak? Setuju ga?"
"Wah, bagus banget rencanamu. Aku sangat setuju."
Cicil dan Serin akan melakukan rencana yang telah mereka sepakati dan berharap semua rencana mereka dapat berjalan dengan lancar.
***
Keesokan paginya
Tanpa membuang-buang waktu Ardian mencari rumah Sarah yang sudah diketahuinya melalui satpam perumahannya. Ia ke sana mencari putrinya yang sudah semalaman tidak pulang ke rumah.
Namun, Ardian harus menahan rasa kecewa karena ternyata Arisha tidak ada di rumah Sarah. Di sana malah Sarah menasehati Ardian agar lebih peduli dan memperhatikan Arisha. Bagi Sarahnya Arisha, merupakan gadis yang baik, pintar, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya.
Sarah mengetahui semua perbuatan Alya pada Arisha. Meskipun, gadis itu tidak pernah mengatakan apa yang dialaminya, tapi anaknya Marsel yang memberitahukan semua kelakuan Alya pada Arisha.
"Pak Ardian jangan khawatir nanti saya akan tanyakan ke karyawan yang lain di mana Risha. Hari ini dia masuk ship malam nanti Pak Ardian bisa ke toko," ucap Sarah.
"Terima kasih Bu Sarah."
Sebelum pulang Ardian menanyakan apakah putra Sarah berteman baik dengan Arisha. Sarah mengatakan memang Marcel, teman Arisha dari SMA, tapi saat ini putranya sedang kuliah di Singapore.
Arisha sudah bangun pagi. Ia akan berangkat kuliah bersama dengan Serin. Serin sudah membuat perasaan Arisha jadi lebih baik. Gadis itu sudah tak lagi berlarut-larut dalam kesedihannya.
Di saat berada di kampus, Arisha tak percaya ada Alya yang menghampirinya dengan wajah marah. Ia membuang mukanya tak ingin melihat ibunya, perkataan ibunya masih terngiang-ngiang dalam benaknya.
"Ooh jadi kamu tidur di rumahnya Serin." Alya menatap Serin dingin. "Risha, hari ini kamu harus pulang ke rumah. Jangan membuat aku dimarahi Papamu karena kelakuanmu yang kurang ajar itu."
Arisha tidak menjawab perkataan Alya. Ia hanya diam saja menundukkan kepalanya dan memegang erat tangan Serin.
"Kamu jangan hidup jadi beban orang lain juga! Sudah kamu itu beban dalam keluarga sekarang malah kamu mau nambah-nambahi beban orang lain. Pulang kamu, Risha!"
Arisha menutup matanya. Lagi-lagi harus mendengar setiap kata-kata penghinaan untuk dirinya. Lama-lama ia bisa jadi gila jika harus mendengar ucapan-ucapan kasar yang membuat mentalnya jatuh.
Serin sangat kesal mendengar perkataan Alya. Bisa-bisanya seorang ibu mengatakan anaknya sendiri beban keluarga padahal ia sangat tahu kalau selama ini Arisha membiayai makan dan keperluannya sehari-hari melalui kerja part time. Hanya biaya kuliah saja yang dibiayain orang tuanya.
"Maaf Tante jangan berkata seperti itu ke Risha. Dia bukan seperti yang Tante katakan, Risha sangat mandiri dan bukan beban bagi siapapun." Serin membela sahabatnya. Ia tak ingin sahabatnya terus menerus dihina ibu kandungnya sendiri.
"Tau apa kamu, anak kecil. Jangan ikut campur urusan orang lain, urus saja urusanmu sendiri." Alya menarik tangan Arisha dan membawa pulang ke rumah.
Sepanjang perjalan pulang Alya terus menerus memarahi Arisha. Ia tak peduli Arisha mau sakit hati atau marah yang penting baginya putri sulungnya baik-baik saja dan tidak terjadi hal buruk padanya.
Begitu sampai di rumah Ardian menyambut Arisha dengan pelukan. Ia tak percaya Alya membawa pulang putrinya yang semalaman pergi dari rumah. Alya meninggalkan Ardian dan Arisha masuk ke dalam kamarnya.
Air mata Alya menetas di pipinya. Ia sangat bersyukur putrinya sudah kembali ke rumah. Sebenarnya, ia ingin berkata baik pada Arisha, tapi entah kenapa saat melihat wajah anaknya ia jadi emosi dan mengeluarkan kata-kata kasar seperti sebelumnya.