03 || Sosok seperti bapak

274 28 3
                                    

"Aru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aru.. sarapannya sudah Mas siapkan di meja makan ya."

Aru yang semula sedang memasang dasi di lehernya lantas berjalan sedikit menuju meja makan untuk melihat menu apa yang Raka siapkan untuknya pagi ini. Namun, setelah melihat menu nya adalah nasi bungkus yang ia bawa tadi malam membuat nafsu makannya tiba-tiba hilang.

Tanpa menyicip sedikitpun nasi tersebut, buru-buru Aru mengambil tasnya yang dia simpan di atas kursi. Aru berjalan menuju depan rumah sambil menenteng sepasang sepatunya. Sementara Raka yang sudah tak heran dengan tingkah Aru yang suka berubah-ubah hanya bisa menarik napas panjang dan membuangnya secara kasar.

Walaupun sudah menginjak usia tujuh belas tahun, Aru tetap seperti anak kecil. Hatinya mudah terluka dengan hal-hal sepele, yang membuat perasannya jadi tidak karuan. Hal itu yang membuat Raka harus selalu paham tentang apa yang Aru mau.

"Kenapa nggak sarapan dulu?" tanya Raka yang datang dari arah belakang, menghampiri Aru yang sedang menyimpulkan tali sepatunya.

"Mau makan di sekolah," jawab Aru singkat.

"Mas udah siapin sarapan buat kamu."

"Sarapan yang Mas siapin itu Aru bawa semalam khusus untuk Mas. Terus kenapa sekarang harus Aru yang makan?" tanyanya tanpa menolehkan kepala ke arah Raka yang berdiri di belakangnya.

Raka kembali menghela napas, mengatur kesabaran, sebelum menjawab ucapan Aru. "Ya sudah, sekarang kamu masuk dulu, Mas siapin sarapan yang lain."

"Paling juga telur ceplok lagi."

"Kalau untuk pagi ini adanya cuma itu. Tapi kalau besok Aru mau sesuatu, biar Mas persiapkan dulu."

Aru tak menggubris. Dia bangkit dari posisi duduknya, kemudian mengulurkan tangan ke arah Raka berniat untuk berpamitan. Walaupun sedang kesal, sebisa mungkin Aru tetap menghormati Raka sebagai kakaknya.

"Kamu beneran nggak mau makan dulu? Nanti perutnya sakit," ucap Raka setelah Aru mencium punggung tangannya dan bersiap mengambil sepeda hendak berangkat sekolah.

Tanpa ada sepatah katapun lagi yang terucap, Aru mulai meninggalkan pekarangan rumah dengan mengayuh jalu sepeda dengan perlahan. Sementara di lain sisi, Raka masih berdiri di depan pintu sambil menggelengkan kepala singkat.

Aru benar-benar anak yang susah ditebak.

Beberapa menit kemudian, akhirnya Aru sampai di sekolah. Dia memarkiran sepedanya di tempat biasa- paling belakang, hampir tak terlihat dengan siapapun. Karena jika Aru meletakkan di depan, akan menggangu sepeda motor lain yang juga ingin memarkir. Secara tak langsung Aru sadar diri bahwa dia hanya menggunakan sepeda butut peninggalan bapak.

Setelah memarkirkan sepeda, Aru mulai meninggalkan tempat tersebut dan melangkahkan kakinya menuju koridor sekolah yang akan menghubungkan ruang kelasnya berada. Namun, saat kakinya hampir sampai di depan pintu kelas, tiba-tiba perutnya terasa sakit.

[✓] PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang