17 || Khawatir

236 30 4
                                    

Beberapa bulan kemudian, Raka dan Aru sudah melewati masa-masa tersulitnya. Masa di mana keduanya harus hidup dalam pantauan ketat karena masih dalam pemulihan diri.

Dan selama beberapa bulan itu, Raka maupun Aru mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Mereka merasa nyaman, karena diterima dan diperlakukan dengan baik oleh semua pekerja di rumah Jonatan.

Namun selama berbulan-bulan itu tidak semua harinya melulu tentang kebahagiaan. Ada hari di mana Aru merasa kesal dan kecewa pada dirinya sendiri karena harus mengikuti ujian sekolah dari rumah. Di mana seharusnya hari itu dia bisa pergi ke sekolah, menjalankan ujian bersama teman-temannya, kalau saja kondisinya sudah jauh lebih baik. Tapi walaupun begitu keadaannya, Aru tetap menjalankan ujian dengan berat hati di dampingi oleh guru dari sekolahnya sebagai pengawas.

Alun-alun, Aru mulai ikhlas dengan hari itu. Karena bagaimanapun, lebih baik ujian dari rumah daripada harus mengulang di tahun yang akan datang. Itu akan lebih menyakitkan.

Dan setelah hari itu berlalu, kini kondisi Aru mulai membaik. Aru sudah boleh keluar rumah, asalkan masih dalam pengawasan orang suruhan Jonatan. Karena jujur, Jonatan masih takut melepas Aru sendirian pasca operasi yang dijalankannya beberapa bulan lalu.

Sementara Raka sampai saat ini belum Jonatan izinkan untuk bepergian jauh. Paling tidak dia hanya pergi ke supermarket untuk membeli jajanan. Dan itupun tetap dalam pengawasan.

Karena dibanding kondisinya Aru, kondisi Raka lebih memprihatinkan. Raka jadi lebih sering mengeluh sakit dan cepat merasa lelah mengingat ginjalnya yang tersisa satu. Hal itu membuat Jonatan jadi lebih overprotektif kepadanya.

Sama halnya seperti minggu lalu. Di mana Raka tiba-tiba meminta izin pada Jonatan untuk mencari kegiatan di luar seperti bekerja part time, supaya tidak suntuk di dalam rumah. Tapi memang dasarnya rasa khawatir Jonatan lebih besar, dia tidak mengizinkan Raka untuk melakukannya.

Alih-alih mengizinkan Raka untuk bekerja, Jonatan malah merekomendasikan hal-hal lainnya yang bisa Raka kerjakan tanpa membuatnya merasa lelah. Contohnya seperti pergi ke pameran, mengikuti les melukis, atau hal lainnya yang mungkin Raka suka.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Kondisi Raka semakin lama semakin memburuk. Hal itu membuat Aru jari lebih sering di rumah untuk sekedar menjaga Raka. 

"Kalau kayak gini terus kondisinya, Mas ngga enak sama papa. Sebagai anak pertama, masa Mas cuma bisa berdiam diri di rumah?" tanya Raka secara tiba-tiba. Membuat Aru yang semula sedang asyik menonton televisi sambil memakan camilan yang dibuatkan bibi nya, tiba-tiba menoleh dan menatap Raka khawatir.

"Mas kenapa tiba-tiba ngomong gitu? Lagian yang nyuruh Mas diam diri di rumah kan juga papa. Papa juga ngga pernah bilang kalau dia keberatan dengan kondisi Mas sekarang."

"Tapi kita juga harus tau diri, Aru.. Kita ini cuma anak angkatnya yang tiba-tiba tinggal di rumah enak dan nyaman. Ngga mungkin kan kita diam aja tanpa berbuat apa-apa? Cuma ancang-ancang kaki, leha-leha, sedangkan papa sibuk cari uang untuk menghidupi kita. Harusnya sebagai anak pertama, Mas bisa menghasilkan sesuatu yang bisa bikin papa bangga. Karena ucapan terima kasih buat semua yang udah papa lakuin buat kita ngga bakal cukup."

Aru terdiam.

Benar apa yang dikatakan Raka.

"Mas kepikiran dari kemarin. Mas takut cuma jadi bebannya papa aja."

Aru menatap Raka sendu, "Terus kita harus apa, Mas? Apa Aru cari kerja aja ya sambil nunggu ijazah turun?"

"Mas ragu lepas Aru kerja."

"Aru bisa kok, Mas. Dulu waktu kita masih tinggal di rumah bapak, Aru pernah diem-diem cari kerjaan. Ya lumayan buat jajan sendiri mah cukup," ucap Aru di akhiri dengan kekehan.

[✓] PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang