"Apa? Hutang?!"
Gadis itu menghela napas panjang sambil memijat keningnya. Tampak seperti sedang frustasi akan suatu masalah yang tengah dihadapinya. Di depannya terdapat sepasang orang tua yang sedang menunduk dengan mimik wajah sedih.
"Iya, perusahaan Papa bangkrut jadinya sekarang keluarga kita kekurangan uang. T-tapi jangan khawatir, Mama sama Papa punya rencana buat kamu., ujar wanita paruh baya itu dengan hati-hati.
"Hah...rencana apa?" Gadis itu mencoba untuk mendinginkan pikirannya, mendengarkan penjelasan ibunya.
"Kamu pindah ke kota sebelah, kamu tinggal di rumah paman Rony selagi Mama sama Papa nyari uang."
"Apa?!
⭑ 🌱 ⭑ ˗ ˏˋ 🌷 'ˎ ˗ ⭑ 🌱 ⭑
"Ahh..."
Gadis yang menduduki bangku 12 SMA itu sedang terengah-engah. Tubuhnya dibanjiri keringat dan kedua pipinya memerah. Dadanya naik turun menunjukan adanya ketidaknormalan pada pola pernapasannya.
"..panas banget! Gimana gue bisa bersihin rumah dalam cuaca kayak gini?" eluh gadis itu, Sofia.
Sofia melempar sebuah lap yang tadi ia gunakan untuk membersihkan kaca jendelanya. Ia lekas pergi ke dapur untuk membuka lemari es dan tidak menemukan apa-apa di dalamnya. Gadis itu menghela napasnya dan mengecakkan pinggangnya.
"Huftt, waktunya belanja bulanan ya? Duit gue masih aman nggak, ya?" gumam gadis itu.
Sofia pun memutuskan untuk pergi ke minimarket terdekat untuk membeli dua bungkus mie instan dan juga sebungkus es krim loli. Semua itu akan menjadi asupan makanannya dalam sehari.
Ya mau bagaimana lagi? Ia harus pintar dalam menggunakan uangnya yang terbatas. Walaupun, mie instan untuk pilihan makanan tidak terlalu pintar untuk kesehatannya. Namun nyatanya, ia sampai saat ini masih bisa bernapas dan melakukan aktivitas sehari-hari tanpa ada hambatan.
Sofia mengeluarkan es krim itu dari bungkusnya dan mulai menghisapnya. Rasa manis dan sensasi dingin di mulutnya benar-benar menyegarkan tubuh dan hatinya. Ia pun kembali ke rumahnya sambil lanjut menghabiskan es krim miliknya.
Keesokan harinya tiba, Sofia sedang berada di sekolahnya dan sedang jam istirahat. Murid-murid perempuan di kelasnya sibuk mengerubungi jendela kelas tempat bisa dilihatnya pemandangan sekolah. Pemandangan sekolah disini adalah pemandangan siswa anak laki-laki yang sedang berkeringatan bermain bola.
Terlebih lagi karena adanya satu murid yang selalu menjadi topik panas para siswi setiap saatnya. Sang Ketua Osis, yang tidak lain adalah Tristan. Laki-laki ini memiliki wajah tampan yang membuatnya sering ditawari untuk masuk agensi pencarian bakat. Selain itu, ia selalu berhasil mendapatkan peringkat pertama seangkatan.
"Udah ganteng, pinter, jago olahraga... tambah dia keringetan gitu, jadi makin seksi nggak sih?" ujar teman sebangku Sofia, Tyra.
"Iya, ngiler banget gue liatnya," jawab satu teman Sofia yang lainnya, Emily.
Sofia melihat kearah lapangan bola untuk melihat objek pembicaraan teman-temannya itu. Kemudian ia langsung kembali memfokuskan diri untuk membaca komik miliknya.
"Iya sih cakep, tapi nggak usah obsess gitu. Orang nggak bakal cocok orang setinggi itu sama kita yang levelnya rendah gini," akhirnya Sofia membuka pendapatnya.
"Yeuhh, Sofia emang jago ngerusak suasana!"
Ketiga sahabat itu tertawa kecil. Sofia juga merupakan seorang remaja perempuan. Bohong rasanya kalau ia mengatakan bahwa dirinya tidak tertarik kepada ketua osis yang terkenal itu. Semua orang pasti menyukai hal-hal yang indah dan enak dipandang. Begitu pula Sofia. Hanya saja, ia merupakan orang yang rasional dan sadar diri, Tristan sangatlah diluar jangkauan bagi Sofia yang biasa-biasa saja.
Beberapa jam berlalu, bel sekolah berbunyi menandakan bahwa waktu belajar mengajar sudah selesai dan murid-murid sudah boleh pulang. Beberapa murid ada yang melanjutkan belajarnya di tempat bimbel, ada yang pergi bermain bersama teman-temannya, dan ada juga yang pergi bekerja paruh waktu untuk menambah uang jajannya- atau dalam kasus Sofia, uang belanjanya.
Sofia bekerja sebagai kasir di mini market dekat rumahnya. Shift kerjanya dimulai dari jam 3 sore sampai 9 malam. Sebenarnya seharusnya shift-nya berakhir sampai jam 11 malam, namun karena mempertimbangkan Sofia yang masih pelajar, bosnya pun memberi keringanan kepada Sofia.
Setelah bekerja selama 6 jam, akhirnya sudah waktunya bagi Sofia untuk pulang. Ia lekas berganti baju dan berpamitan kepada teman-teman kerjanya. Saat melewati gang kecil persis di sebelah mini market tempat ia bekerja, Sofia menyadari sesuatu. Sebuah sosok pria tinggi memakai hoodie abu-abu yang sedang duduk meringkuk. Sofia tahu bahwa sebaiknya ia tidak ikut campur karena keadaan bisa menjadi berbahaya. Tapi entah kenapa, ia tidak bisa mengabaikan penampakan itu.
Sebuah firasat muncul bahwa ia harus membantu. Ia dekati sosok itu dengan perlahan dan bertanya akan keadaan sosok itu. Orang yang dituju itu tampak terkejut lalu mengangkat kepalanya. Gelap, sangat minim pencahayaan. Tapi Sofia bisa melihat bahwa wajah yang ia lihat itu adalah laki-laki yang memiliki lebam dan luka pada wajahnya. Langsung Sofia menarik laki-laki itu untuk duduk di kursi depan mini market, lalu ia langung membeli beberapa obat dan peralatan yang dibutuhkan.
"Nggak usah repot-repot," ujar laki-laki itu.
"Santai aja, saya emang tulus mau ngebant-"
Omongan Sofia terputus karena terkejut akan identitas laki-laki yang ia bantu itu. Tristan. Iya, si ketua osis. Ternyata orang yang sedang ia bantu itu adalah teman sekolahnya sendiri. Berbagai pertanyaan muncul di kepala gadis itu. Tapi ia memutuskan untuk menguburnya. Hal yang terpenting untuk saat ini adalah ia harus segera mengobati Tristan.
"Rumahnya di mana? Gue bantu anterin," tawar Sofia saat selesai mengobati.
Tristan hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaan gadis di depannya itu. Sofia menyadari sesuatu, Tristan sedang membawa sebuah tas ransel besar yang tampak berisi penuh. Laki-laki itu tampak seperti sedang kabur, pikir Sofia.
"Ada rumah temen yang lain?"
Tristan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"...Mau ke rumah gue?"
"Boleh? Kok percaya sama gue? Kalau gue orang jahat gimana?"
"Lo kan ketua osis, Tristan. Lo dapat dipercaya kok."
"Loh, lo kenal gue, Sofia?" tanya Tristan agak terkejut.
"Lah, gue yang seharusnya kaget. Lo kenal gue?"
Beberapa detik mereka terdiam.
"Gue kira lo nggak tahu gue siapa, soalnya lo nggak pernah kelihatan tertarik sama gue," lanjut Tristan.
"Nggak mungkin gue nggak tahu, orang lo itu orang yang paling terkenal se-sekolah. Nah sekarang, lo kok bisa tahu nama gue? Gue kan nggak pernah mencolok di sekolah."
Tristan tersenyum, namun ia langsung meringis kesakitan karena ujung bibirnya yang terluka.
"Eh, udah ke rumah gue aja dulu. Biar lo istirahat."
"Oke," jawab Tristan sambil mengangguk.
⭑ 🌱 ⭑ ˗ ˏˋ 🌷 'ˎ ˗ ⭑ 🌱 ⭑
Tbc