5 tahun sebelumnya.
"Gue ranking pertama!"
"Dih, nggak usah sok banget gitu. Semester kemaren kan gue yang pertama!"
"Itu kemaren kan? Yang penting tuh saat ini!"
"Sialan lo, Nathan."
"Hahaha, bilang aja iri, Van!"
"Nggak, ya! Sini muka songong lo!"
Gadis SMA itu menjambak rambut lelaki di depannya. Laki-laki itu menjerit kesakitan. Sekelas pun dibuat heboh, hingga akhirnya sang ketua kelas memanggil seorang guru untuk melerai.
"Nathan, Vania, kalian udah kelas 12 bisa berhenti berantem kayak anak SD?" ujar wali kelas mereka.
"Bisa aja Pak, kalo si Vania jadi anak yang manis dan nggak suka nyolot itu," jawab Nathan sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Apa lo bilang?" jawab Vania mulai meninggikan intonasi bicaranya.
"Sudah! Kalo gini terus nanti Bapak kirim ke BK buat ngehukum kalian!"
Kedua murid SMA di depannya itu diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Menunduk, tanda mengerti akan kesalahan mereka. Guru di depannya itu menghela napas dan merapikan kacamatanya.
"Kali ini Bapak maafin. Kalian jangan berantem lagi ya, kedepannya?"
"Baik, Pak. Terima kasih banyak," jawab keduanya.
Vania dan Nathan keluar dari ruang guru. Vania duluan di depan, sementara Nathan mengikuti di belakang. Setelah berjalan cukup jauh dari ruang guru, akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara.
"Tapi boong, Pak!" teriak Nathan ke arah ruang guru.
"Bocil banget si lo."
"Hm? Apa? Bocil? Bener gue yang bocil? Bukan si adek gumush yang pendek ini?" jawab Nathan sambil mengelus kepala Vania.
"Gila lo, ya?"
Nathan pun lari dikejar oleh Vania. Kedua murid berseragam SMA itu berlari-larian di lorong sekolah menuju kelas mereka. Murid-murid yang lain sudah merasa tidak asing dengan pertengkaran mereka.
༉‧₊˚🕯️🖤❀༉‧₊˚.
"Nathan? Lo kok?"
"Kaget ya? Gue juga kaget kemaren."
Tidak percaya, tangannya Vania bergetar hampir melepaskan kedua kopi yang sedang dipegangnya. Untung, tangan Nathan cukup sigap untuk siap menangkap kopi-kopi itu.
"Ekhem, maksud saya, ehm."
"Hahaha. Santai aja kali. Kayak yang nggak kenal aja."
"Pak Direktur, makasih buat yang tadi sama Bu Fika. Saya permisi dulu," jawab Vania dengan suara bergetar, ia lalu langsung pergi setelah memberikan kopinya.
Tidak peduli dengan ice caramel lattenya. Vania terus berjalan cepat ke toilet. Hatinya berdebar kencang dan napasnya tidak beraturan. Mengetahui fakta bahwa Nathan sekantor dengannya sudah cukup mengagetkan, apalagi ini, seorang direktur.
Vania menutup kedua matanya. Beberapa memori muncul kembali. Iya, ia baru ingat bahwa Nathan adalah anak seorang pemilik perusahaan. Tetapi Nathan dulu tidak pernah memberi tahu perusahaan apa. Ternyata, itu adalah perusahaan tempat Vania bekerja saat ini.
"Udah pinter, kaya, jago olahraga, ganteng lagi. Gue secara teknis better than you."
Vania menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahaya jika ia terus mendapatkan flashback di kantor seperti ini. Vania pun kembali ke mejanya setelah menenangkan hati dan pikirannya.