Second Chance Chapter 5

124 6 0
                                    

Flashback on.

"Tau nggak, si Brian ngadain party di vilanya."

"Party apa?"

"Farewell party dua hari gitu. Nginep. Mumpung kita kan bentar lagi lulus."

"Sekelas diundang?"

"Iya, Van. Lo mau ikut nggak?"

Gadis itu berpikir sejenak. Baru pertama kali ini ia mendapatkan undangan seperti ini. Ia sedikit malas karena satu kelas diundang berarti Nathan juga akan ada. Tapi siapa peduli? Vania ingin menghabiskan momen terakhirnya di SMA dengan teman-teman kelasnya.

"Ikut."

Tanpa disadari hari acara perpisahan di vila itu datang. Vania telah siap dengan satu ransel berisi barang-barang yang hendak ia bawa. Gadis itu berangkat bersama kedua teman lainnya menggunakan mobil yang diantar oleh papanya.

Vila milik Brian berada di dekat pantai. Cukup jauh dari tengah kota tempat Vania tinggal. Oleh karena itu mereka berangkat di pagi hari. Perjalanan memakan waktu satu jam dengan mobil. Selama perjalanan, Vania tertidur sepanjang jalan.

Di dalam vila itu disuguhi berbagai macam makanan dan cemilan. Tentu saja Vania mendapati Nathan dan teman-temannya sedang menyantap makanan sambil tertawa riang. Sudah, hari ini mari fokus untuk bersenang-senang, batin Vania.

Hari semakin gelap, para orang tua sudah pulang ke rumah. Di vila hanya ada anak-anak, yang berarti, kebebasan! Dengan diam-diam, Brian mengeluarkan sebuah botol dari sebuah ruangan. Ia tersenyum lebar.

"Guys, ayo kita minum-minum!" sahut Brian mengangkat botol berisi alkohol itu.

"Gila, lo Brian! Kok lo bisa punya itu?" sahut salah satu teman sekelasnya.

"Orang tua gue punya banyak di dalem. Ngilang satu aman lah pasti nggak bakal sadar mereka."

Banyak dari remaja itu tampak ragu-ragu. Mereka mempertanyakan apakah benar akan keamanan yang Brian sebutkan. Sampai pada akhirnya ada salah satu anak yang angkat bicara.

"Gas aja guys! Orang bulan depan kita lulus! Akhirnya kita bukan anak sekolah lagi!"

Semua anak bersorak ramai tanda setuju. Vania masih sedikit ragu, tapi melihat teman-temannya yang ikut heboh, ia jadi ikut terbawa suasana.

Alkohol itu dicampur ke dalam jus jeruk yang telah dibuat sebelumnya. Menjadi cocktail. Vania mencoba untuk mengambil satu gelas. Ia minum, manis rupanya, rasanya seperti jus jeruk pada umumnya dengan sedikit lebih manis.

Musik dimainkan, lampu dimatikan. Brian, si pemilik vila menyediakan sebuah proyektor layar dan sebuah speaker besar tentu dengan mikrofon. Acara dilanjutkan dengan karaoke hingga larut malam.

Vania dan teman-temannya tanpa sadar telah menghabiskan banyak gelas. Mereka terus menari sambil bernyanyi tanpa sadar akan waktu. Tiba-tiba, Vania merasakan sedikit mual, ia lanjut pergi ke toilet.

Sampai di toilet, Vania melihat pintu tertutup dan terkunci. Pasti ada orang di dalam. Namun, Vania tidak sanggup untuk menahan mengeluarkan isi perutnya. Ia lalu gedor pintu itu dengan keras.

"Kalem 'napa?" sahut seorang laki-laki yang akhirnya keluar dari toilet tersebut.

Laki-laki itu tidak memakai baju. Hanya celana. Celana yang belum sempat ia kancing. Bibir laki-laki itu tampak merah, dan di sebelahnya, ada seorang perempuan dengan rambut acak-acakan yang polesan bibirnya telah kacau. Laki-laki itu tidak lain adalah Nathan.

"Minggir," jawab Vania tanpa basa-basi, ia langsung memasuki toilet itu dan melegakan perasaan mualnya.

Selesai, Vania keluar dari toilet sambil menghela napas lega. Ia lap mulutnya yang basah. Netra Vania menangkap ada seseorang yang menunggu di samping pintu toilet. Nathan.

Vania teringat kembali akan penampilan Nathan yang berantakan sesaat sebelumnya dengan seorang perempuan, Shelby, yang juga merupakan teman sekelas Vania. Kali ini bibirnya sudah tidak terlalu merah, celananya pun sudah terkancing, hanya saja, ia masih bertelanjang dada.

"Baju gue masih di dalem," ucap Nathan.

Vania diam dan langsung melengos pergi. Ia kembali bergabung dengan teman-temannya dan berbincang ria lagi sampai akhirnya mereka terganggu oleh suara keras yang berasal dari speaker.

"Masa kita nggak main Truth or Dare? Ini saatnya kita main!" teriaknya dengan menggunakan sebuah mikrofon.

Permainan dimulai, beberapa orang terpilih dan memilih antara pertanyaan atau sebuah tantangan. Vania tertawa terbahak-bahak. Dari permainan ini ia mengetahui bahwa kedua temannya sedang menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi. Permainan ini sungguh menyenangkan.

Botol diputar, dan ujungnya berhenti di Vania. Gadis itu ditanya, "Truth or dare?" Karena ia sedang merasa sedikit berani, ia memilih sebuah tantangan. Sorakan muncul tiap ada orang yang memilih tantangan. Karena pasti, tantangannya tidak akan mudah.

"Vania, gue tantang lo main 7 Minutes in Heaven sama Nathan!"

Suara sorakan ramai kembali terdengar. Vania menatap sang penanya dengan wajah bingung sekaligus kesal. Nathan yang mendengar tantangan itu pun tersedak saat sedang minum.

"Apa? Nggak mau!" jawab Vania tidak setuju.

"Harus mau! Di game ini nggak ada yang namanya penolakan ya!"

"Menarik banget Vania sama Nathan disatuin," sahut anak yang lainnya sambil tertawa.

7 Minutes in Heaven. Sebuah permainan dimana dua orang pergi ke dalam sebuah lemari atau ruangan gelap tertutup untuk melakukan hal apa saja yang mereka mau. Permainan ini terkenal dengan aktivitas sensual yang sering dilakukan pemain saat terpilih.

"Yakin lo? Nanti kalo mereka berantem sampe salah satu mati gimana?" sahut sahabat Vania, Muti.

"Vania, Nathan, ada rule tambahan. Nggak boleh berantem! Bolehnya, berantem sambil buka baju."

Anak-anak semua tertawa. Tapi tidak dengan Vania. Ia sangat tidak setuju akan tantangan kali ini. Gadis itu melirik ke arah Nathan. Laki-laki itu hanya diam dan terkekeh melihat semuanya.

Tanpa menunggu, kedua remaja yang terpilih itu didorong menuju satu ruangan gelap yang kosong. Gelap, dikarenakan lampu bohlam yang tidak dipasang pada ruangan. Setelah kedua remaja itu di dalam, pintu kemudian ditutup dan dikunci dari luar.

"Sialan kalian! Buka nggak kuncinya!" teriak Vania sambil memukul pintu.

"Berisik."

"Berisik? Gue nggak bakal berhenti sampe mereka buka!"

"Mending lo aja yang buka baju, apa mau gue yang bukain?"

"H-hah? Lo gila ya?"

"Kenapa sih? Kayak perawan aja."

Vania diam, ia menggigit bibir bawahnya. Sungguh enteng bagi Nathan untuk mengucapkan kata itu kepadanya. Entah kenapa, disebut 'perawan' oleh Nathan terasa seperti sebuah ejekan. Vania tidak terima.

"Lah lo beneran perawan? Kirain muntah tadi karena hamil."

"Anj*ng? Gue bukan cewe murahan ya yang mau lepas celana buat siapa aja!"

"Kalo buat gue?"

"Nggak lah bego! Gue nggak mau sama yang suka ngehamilin cewe!"

"Gue bakal pake pengaman kok. Kenapa? Nggak berani?"

"Bukan nggak berani, gue nggak mau!"

"Ya udah pilih, antara lo berenti gedor pintu atau gue ewe lo sekarang juga."

༉‧₊˚🕯️🖤❀༉‧₊˚.
Tbc

FantasizesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang