Rumah Sofia memang sangat dekat dengan tempat ia bekerja. Sofia menggunakan kunci rumah untuk membuka pintu dan mempersilahkan Tristan untuk masuk. Sofia menyuruh tamunya untuk duduk di sofa selagi ia membawakan segelas berisi air putih. Suasana malam itu di rumah Sofia hening dan dingin.
"Lo nggak bakal nanya kenapa gue babak belur gini?"
"Nggak, gue takut itu hal sensitif yang gue nggak boleh sentuh."
"Hmm oke. Eh by the way, orang tua lo mana? Gue nggak enak langsung dateng gini malem-malem."
"Gue tinggal sendiri."
"Sendiri? Dan lo bawa laki-laki ke rumah lo malem-malem?" jawab Tristan dengan nada yang agak tinggi, rupanya dia sedikit marah.
"Iya maaf, tapi itu kan lo jadi gue ngerasa aman."
"Kenapa ngerasa aman? Gue juga laki-laki lho," ucap Tristan sambil mendekatkan wajahnya kepada wajah Sofia.
"Maaf! Lain kali gue nggak bakal lakuin lagi!" jawab Sofia yang jantungnya mendadak berdetak dengan cepat.
"Harusnya nggak ada kata 'lain kali' cukup gue aja," gumam Tristan.
"Apa?"
"Nggak, lupain aj-" keluar suara dari perut Tristan.
"Bentar, gue siapin makan malem dulu. Gue juga belum makan."
Sofia berjalan ke dapurnya lalu ia baru teringat, ia hanya mempunyai satu bungkus mie instan. Ia memasak mie instan terakhirnya itu lalu menyuguhinya kepada tamu yang telah menunggu.
"Punya lo mana?"
"Setelah dipikir-pikir, gue nggak lap-" suara perut berbunyi lagi, kali ini dari perut Sofia.
"Sini gue pesenin delivery aja, lo mau apa?" tawar Tristan kepada sang pemilik rumah.
"Nggak usah repot-repot!"
"Repot apanya, kan lo yang udah bantuin gue."
Mendengar jawaban Tristan, Sofia tidak mempunyai pilihan lain selain menerima tawaran laki-laki itu. Sofia agak merasa malu sebenarnya karena ia tidak dapat menyuguhi tamunya dengan makanan yang pantas.
Beberapa menit kemudian, pesanan pun berhasil sampai di rumah Sofia. Mereka memesan makanan dari restoran Cina yang lumayan terkenal. Dua porsi nasi goreng spesial yang hangat. Melihat asap yang keluar dari nasi itu membuat kedua mata Sofia sedikit berair. Sudah sangat lama ia tidak memakan makanan yang layak karena kondisi keuangannya.
"Selamat makan!" sahut Sofia girang.
Mereka berdua pun memulai sesi makan malam mereka. Setelah selesai, Sofia lekas mengambil sebuah bantal dan selimut untuk dipinjamkan kepada Tristan. Laki-laki itu akan meminjam ruang tamu Sofia untuk tidur pada malam itu.
"Eh lo butuh mandi? Gue bisa siapin baju ganti buat lo."
"Iya kayaknya, baju gue kotor."
"Hati-hati sama lukanya!"
"Hehe, iya."
Suara air dari shower menggaung di dalam kamar mandi Sofia. Malam yang hening membuat suara mandi itu semakin jelas dan keras. Seorang Tristan, si ketua osis yang populer dan disukai semua orang, sedang mandi di rumah Sofia. Kedua dada yang keras, perut berlekuk kotak-kotak, juga bisep dan paha yang berotot. Tristan pasti mempunyai semua itu, karena dia merupakan pemain aktif tim basket di sekolah yang kabarnya memiliki latihan yang intens tiap harinya.
Sofia menelan ludahnya, wajahnya memerah dan jantungnya berdebar. Ia lekas menyadarkan dirinya dan masuk ke kamarnya untuk mencari baju untuk Tristan pakai. Setelah menemukan sebuah hoodie dan celana training, Sofia membawanya dan mengetuk pintu kamar mandi. Suara shower sudah tidak terdengar lagi, menandakan Tristan telah selesai membersihkan dirinya.
"Tristan, ini baju gantinya."
Pintu kamar mandi terbuka, terpampang sosok laki-laki yang hanya mengenakan handuk di pinggangnya. Rambut basah, badan maskulin yang masih lembab, ditambah udara hangat dari air panas yang baru digunakan. Hampir membuat Sofia mimisan. Sungguh indah pemandangan yang sedang ia lihat, lebih menakjubkan dari apa yang ia bayangkan. Gadis itu tidak sadar ia terus menatap kearah tubuh Tristan.
"Bajunya?" akhirnya Tristan memecahkan lamunan Sofia.
"Eh iya!" Sofia pun langsung memberikan pakaian yang dipegangnya dan langsung berbalik badan dengan wajahnya yang masih semerah tomat.
Laki-laki itu tersenyum kecil, ia berpikir bahwa reaksi Sofia lucu. Membuatnya ingin mengerjai gadis itu lagi.
"Eh maaf lo bisa nggak bantuin olesin salep di luka gue? Gue masih sakit kalo gerak."
"Hm? Ah boleh."
Sofia berbalik badan, masih dengan pemandangan yang sama. Tubuh Tristan yang dapat membuat semua wanita pingsan saat melihatnya. Sayangnya, di bagian perut laki-laki itu ada sebuah luka lebam yang lumayan besar. Langsung Sofia mengambil sebuah salep obat untuk dioleskan kepada Tristan.
"Ouch.." ringis Tristan kesakitan.
Sofia merasa prihatin melihat laki-laki itu. Apa yang terjadi? Mengapa Tristan bisa dalam keadaan seperti ini? Banyak pertanyaan yang muncul di dalam hatinya namun tidak bisa ia keluarkan. Karena Sofia tahu bahwa itu bukan tempatnya, dia hanya orang asing bagi Tristan.
"Di paha gue juga kayaknya ada luka juga deh, lo bisa bantu olesin juga?" tanya Tristan dengan nada usil.
"P-paha? Euh.." pertanyaan Tristan membuat Sofia terkejut dan wajahnya semakin memerah.
"Bercanda, udah kok cukup makasih ya."
Sofia menghela napas panjang, mencoba untuk mengatur ritme jantungnya. Gila, laki-laki yang saat ini di depannya sangatlah berbahaya. Sungguh membuat Sofia merasakan hal-hal yang baru pertama kali ia rasakan. Adrenalin yang meningkat dan juga, sebuah rangsangan akan suatu dunia baru yang asing.
Hari semakin malam, Sofia mematikan lampu rumahnya. Ia melirik kepada sosok Tristan yang sedang duduk di sofa ruang tamunya, sofa dimana Tristan akan menggunakannya untuk tidur. Sofia mengucapkan selamat malam pada laki-laki itu dan masuk ke dalam kamarnya. Ia berpikir sejenak, hari ini adalah hari yang bagaikan mimpi. Ia masih tidak percaya bahwa seorang Tristan sedang berada di rumahnya, menginap.
Sofia kembali teringat akan pemandangan indah yang sangat susah untuk dilupakan. Jantungnya kembali berdetak kencang, wajahnya memanas dan memerah. Selain itu, ia juga merasakan sesuatu di antara kedua kakinya. Sofia berpikir bahwa malam ini ia tidak akan bisa tidur nyenyak.
⭑ 🌱 ⭑ ˗ ˏˋ 🌷 'ˎ ˗ ⭑ 🌱 ⭑
Tbc