Second Chance Chapter 1

295 6 0
                                    

Lingkungan baru. Orang-orang baru. Vania, yang baru saja mendapatkan gelar sarjana baru saja mendapatkan email bahwa dirinya lolos wawancara kerja. Senang sekali bisa diterima sebagai karyawan baru di perusahaan besar.

Vania merapihkan kerah kemejanya, mengatur poni rambutnya, tidak lupa ia juga memoleskan pewarna bibir berwarna merah. Ia lanjut mengambil tas jinjingnya lalu memakai sepatu heels berwarna hitam.

Vania dikenalkan kepada seluruh karyawan di tempat ia bekerja. Senyum dan tawa ria memenuhi ruangan itu. Setelah selesai, ia diberi tahu akan bilik kerjanya sendiri. Vania sangat bersemangat dan siap untuk mulai bekerja.

Minggu pertama berlalu dengan cepat Vania menyukai pekerjaannya ini, walaupun ia hanya sekedar diberi perintah untuk membuatkan kopi atau sekedar meng-copy dokumen-dokumen. Vania tetap mencoba untuk sabar, ia tahu masih panjang perjalanannya karena ia masih merupakan karyawan baru.

Hari mulai gelap, menunjukan sudah waktunya untuk pulang. Vania pulang menggunakan sebuah taksi. Ia tinggal di sebuah apartemen yang jaraknya tidak terlalu jauh dari perusahaan tempatnya ia bekerja.

"Capeknya..." gumam Vania sambil melepaskan sepatu heels hitamnya.

Sebuah pesan muncul pada notifikasi di ponselnya, "Mama udah siapin kencan buta buat kamu hari Jumat ini." Vania memijat keningnya, ia baru saja pulang dari kantornya yang melelahkan dan tidak ingin diganggu oleh suruhan kencan oleh mamanya. Sudah berulang kali Vania menegaskan kepada mamanya bahwa ia sedang ingin tidak berkencan.

"Nggak mau Ma, Vania capek sama kerjaan baru Vania." balas wanita itu.

"Mau nggak mau kamu harus dateng ke kencan itu, Mama nggak nyuruh kamu nikah sekarang, tapi setidaknya kamu punya pacar biar Mama tenang."

Vania menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Lelah sekali. Ia memejamkan matanya. Memori-memori lampau kembali muncul di pikirannya. Memori menyakitkan yang tidak ingin ia ingat. Tanpa sadar, air mata menetes.

"Maaf Ma, ini salah Vania yang nggak bisa ngelupain masa lalu itu."

༉‧₊˚🕯️🖤❀༉‧₊˚.

"Gue jijik banget sama cewek kayak dia!"

Vania terbangun dari tidurnya. Napasnya tidak beraturan dan tubuhnya dibanjiri oleh keringat. Mimpi yang sama selama beberapa hari ini. Vania menyisir rambutnya ke arah belakang. Ia melirik ke jam di dindingnya, waktu menunjukan pukul 5 pagi. Tidak ada salahnya jika ia berangkat lebih awal ke kantornya.

Vania beranjak dari kasurnya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Setelah ia selesai mandi, ia memilih pakaian untuk dipakai dan lanjut menggunakan riasan wajahnya. Saat ia bercermin, ia dapat melihat adanya mata panda di wajahnya.

"Banyakin concealer-nya deh," gumamnya.

Vania sampai di kantornya cukup pagi, hampir tidak ada karyawan yang telah sampai di kantor. Ia lanjut menggunakan lift untuk sampai ke lantai 5, dimana ia bekerja. Pintu lift terbuka, Vania berjalan menuju bilik kerjanya. Ia melihat adanya sosok pria yang baru saja memasuki ruangan direktur.

"Oh biasanya Pak Direktur nyampe kantor jam segini ya?" tanya Vania pada dirinya sendiri.

Direktur sangat jarang sekali keluar dari ruangannya. Vania belum pernah melihatnya. Apalagi karena statusnya yang masih karyawan baru, ia belum pernah mendapat kesempatan untuk bertemu Sang Direktur. Banyak karyawati bergosip akan ketampanan wajahnya. Vania sedikit dibuat penasaran olehnya.

Hari berjalan seperti biasa, sebagai karyawan baru ia diperlakukan seperti pembantu di kantor. Vania tetap mempertahankan senyumnya, mental dan fisiknya harus kuat. Ia bertekad untuk terus bekerja keras hingga ia dipromosikan. Vania giat bekerja hingga jam pulang datang.

"Jangan lupa kencannya jam 7 malem ya di restoran Italia yang Mama udah booking ya," sebuah pesan muncul pada ponsel Vania.

Vania membaca pesan itu dengan mata malas, ia sebenarnya sangat ingin menghindari pertemuan itu. Tapi ia tidak bisa. Ia berencana untuk bersikap tegas tanpa basa-basi dan menolak kencannya itu. Setelah berpamitan dengan para rekan kerjanya, Vania menghampiri sebuah coffee shop yang berada di sebelah gedung kantornya sebelum ia pulang.

"Satu caramel latte, ya."

"Baik Kak, totalnya 36.000 rupiah. Atas nama siapa?"

"Vania."

Selesai memesan, wanita itu duduk di kursi sebelah kaca yang menunjukan pemandangan di luar. Vania memperhatikan orang-orang berlalu lalang, juga kesibukkan jalanan yang dipenuhi dengan kendaraan. Sungguh lalu lintas yang sibuk.

"Atas nama Nathan!"

Deg!

Sontak Vania menolehkan kepalanya. Ia merasa nama itu tidak asing. Wanita itu mencoba untuk melihat wajah seseorang yang bernama "Nathan" itu. Nihil, Vania hanya dapat melihat punggungnya saja sebelum laki-laki itu pergi meninggalkan coffee shop itu.

"Ah mana mungkin dia," gumamnya.

Tidak lama, nama Vania dipanggil menunjukan pesanannya telah selesai. Wanita itu bangkit dan pergi untuk mengambil kopinya. Setelah itu ia pergi memanggil taksi dan pulang ke apartemennya. Lupakan yang tadi, kali ini ada masalah lain yang menanti di depannya.

"Vania, kan?"

"Iya."

Inilah, kencan buta yang direncanakan mamanya. Sejujurnya kencan Vania kali ini tidak terlalu buruk. Namanya Hans, seorang pengacara yang lebih tua 3 tahun daripadanya. Perawakannya tinggi, bahunya lebar, wajahnya juga tidak buruk karena ia memiliki senyuman yang hangat.

"Mau pesen apa?" tanya Hans sambil memegang menu.

"Saya nggak laper, silahkan Bapak saja."

Hans terlihat sedikit sedih, ia meletakkan menunya. Hans menatapi Vania selama beberapa saat. Vania sedikit dibuat salah tingkah karenanya. Sedikit merasa bersalah juga.

"Saya denger, ibu kita temen arisan, ya?"

Vania mengangguk, itu juga apa yang mamanya katakan. Ia dijodohkan dengan anak kenalannya saat arisan ibu-ibu. Tetap saja, siapapun itu Vania tidak mau.

"Saya tau Vania nggak tertarik sama kencan ini. Saya juga awalnya dipaksa sama ibu saya. Tapi, pas saya dateng kesini, ternyata saya bisa melihat masa depan sama kamu."

"A-apa? Bukannya masih terlalu awal?" jawab Vania tidak percaya.

"Iya, saya tau. Jujur aja, saya udah dituntut nikah secepatnya, dan saya juga tertarik sama Vania."

Tertarik? Secepat ini? Vania sama sekali tidak percaya. Bukan, ia memang telah kehilangan kepercayaan kepada semua kaum lelaki. Saat melihat Hans yang tulus di depannya itu Vania merasakan sedikit sayatan di hatinya. Ia merasa tidak enak.

"Maaf Pak, ini bukan Bapak tapi sayanya. Saya, nggak bisa lanjutin hubungan ini," jawab Vania mengambil tasnya untuk pergi.

Hans mengambil tangan Vania. Menahannya untuk tidak pergi. Vania terkejut untuk kedua kalinya. Segitu putus asa kah dia hingga ia mau menikah dengan wanita yang baru ia temui dalam semalam?

"Setidaknya saya pesenin kamu minum dulu, kita bisa ngobrol, get to know each other, for our moms?" ("...saling kenalan, buat ibu kita?")

Benar juga, terlalu kekanak-kanakan jika ia pergi begitu saja meninggalkan Hans sendiri. Demi Mama, iya setidaknya dirinya harus memutus hubungan dengan Hans secara baik-baik agar tidak ada yang sakit hati.

Dua suara gelas berisi anggur merah berdenting, dua piring steak tenderloin medium rare, ditemani suasana musik jazz berbunyi di latar. Good food, good company. Ternyata Hans lumayan menyenangkan. Ini tidak terasa terlalu buruk, pikir Vania.

༉‧₊˚🕯️🖤❀༉‧₊˚.
Tbc

FantasizesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang