Second Chance Chapter 3

199 10 0
                                    

Apa kabar? Itu yang keluar dari mulutnya setelah beberapa tahun ini. Vania tersenyum, walaupun ia bersusah payah untuk menahan bibirnya yang sedikit bergetar. Pria di depannya itu terlihat sedikit berbeda. Lebih kekar dan besar dari yang terakhir Vania lihat.

"Baik," jawab Vania.

"Baru tau kalo lo kerja di sini Van," lanjut Nathan.

"Saya juga, nggak nyangka."

Keheningan menyelimuti kedua insan itu. Canggung, karena sudah lama tidak bertemu. Vania sebenarnya sudah tidak ingin berbincang-bincang lagi dengan lelaki di depannya, ia ingin segera menyelesaikan tugasnya lalu pulang.

"Lo kerja di hari Sabtu? Ada apa?" akhirnya Nathan membuka suara lagi.

"Nggak tau, saya juga sebenernya nggak mau tapi disuruh Ketua."

"Bu Fika?"

"Iya."

"Terus Bu Fika ke mana?"

"Mana saya tau? Saya ditinggal gitu aja, mana abis itu disuruh follow up ke Direktur," jawab Vania sedikit terpancing amarahnya lagi.

"Oh ya?" jawab Nathan mengangkat alis sebelah kanannya.

"Iya. Jadi saya harus pergi duluan ya, Pak," ucap Vania yang langsung meninggalkan kawan lamanya itu.

106 halaman, 107 halaman, 108 halaman, terakhir, 109! Akhirnya proposal telah ia selesai copy sebanyak tiga kali! Mimik bangga Vania tampakkan di wajahnya. Kini ia tinggal merapikan proposal tersebut lalu pergi ke ruang Direktur.

Tiba di depan pintu direktur, Vania terdiam sejenak. Di hari libur ini, adakah Direktur di ruangannya? Vania mengetuk pintu sebanyak dua kali. Tidak ada jawaban. Kali ini pintu ia ketuk tiga kali, masih tidak ada tanda kehidupan di dalam ruangan.

"Permisi, saya Vania karyawan baru yang disuruh Bu Fika tentang Proposal Produk XXXX."

Masih tidak ada jawaban. Vania akhirnya mengucapkan permisi sambil membuka pintu ruangan itu. Dengan perlahan, ia intip ruangan tersebut. Kosong rupanya. Vania dengan cepat menaruh file proposal yang telah di-print kemudian pergi dari ruangan itu.

"Waktunya balik ke apartemen," gumam Vania lalu ia menguap dan meregangkan tubuhnya.

༉‧₊˚🕯️🖤❀༉‧₊˚.

"The only thing that I care is shutting your mouth with my lips."

Vania membuka matanya, mimpi lagi rupanya. Beberapa akhir ini ia kerap memimpikan kembali masa lalunya. Hatinya terasa berat, ia menghela napasnya. Kedua netranya menangkap kehadiran dus berwarna coklat di pojok ruangan.

Dus itu berisi barang-barangnya semasa SMA. Ia belum merasa membutuhkan untuk membuka dus itu setelah ia pindah ke apartemennya. Vania bangkit dan mencari sebuah cutter. Ia lalu membuka dus itu.

Sebuah bingkai foto menampakkan dirinya dan teman-teman sekelasnya. Tiga tahun bersama, membuat sebuah ikatan kuat antara mereka. Vania tertawa kecil melihat tampang dirinya di masa lalu, begitu lugu dan polos.

Menaruh bingkai itu di lantai, Vania lanjut mengeluarkan sebuah album foto berisi polaroid yang diambil saat kelasnya mengadakan outing class atau study tour, ada juga saat mereka mengadakan acara bonding di sebuah vila.

Vania juga mengeluarkan sebuah kotak kaleng berisi ucapan-ucapan perpisahan yang saling ditukar saat acara wisuda waktu itu. "Jangan terlalu benci, nanti suka!" isi secarik kertas berwarna biru muda. Vania terkekeh geli membacanya.

Terakhir, Vania mengeluarkan seragam SMA-nya. Wanita itu penasaran, apakah seragamnya masih muat sekarang? Vania mencoba seragamnya itu yang telah lama ia tidak pakai. Sedikit sesak di bagian dada. Tentu saja, ukuran payudaranya pasti telah berubah semakin besar.

Ponsel ia ambil, kemudian wanita itu mengambi beberapa foto. Selfie dan juga mirror selfie. Vania merasa kembali lagi menjadi murid SMA. Ia merasa sedikit rindu akan masa lalunya, walaupun ada memori menyakitkan yang sampai kini ia tidak bisa lupakan.

༉‧₊˚🕯️🖤❀༉‧₊˚.

"Bu Vania! Revisi lagi!"

Entah sudah keberapa kalinya Vania ditugaskan untuk merevisi dokumen yang sedang dikerjakannya. Vania tidak dapat melakukan apa-apa lagi selain terus merevisi dokumen itu hingga ketuanya puas.

"Masa kayak gini aja nggak bisa? Tugas semudah ini?" bentak Bu Fika entah ke yang berapa kalinya.

"Kalau mudah, ya kenapa nggak Ibu aja yang ngerjainnya," gumam Vania dibalik senyumnya.

Sudah beberapa kali Vania mondar-mandir ke bilik meja ketuanya dan biliknya sendiri. Vania lumayan lelah, dirinya izin mempersilahkan diri ke toilet untuk beristirahat sebentar untuk menghindari omelan.

Setelah berdiam diri selama sekitar 10 menit, wanita itu akhirnya keluar dari toilet. Sesampainya di meja kerjanya, ia dipanggil oleh Fika. Vania menghela napas, apalagi kesalahannya kali ini?

"File tadi udah aja, nggak usah revisi lagi, Pak Direktur udah acc."

"Loh, gimana Bu, maaf?"

"Budek? Udah di acc, sana balik kerjain yang lain!"

Vania menundukan kepalanya lalu kembali dengan terheran-heran. Apa yang menyebabkan pikiran ketuanya tiba-tiba berubah? Setelah ia duduk, teman kerja Vania membisikkan sesuatu.

"Tadi Direktur dateng, dia sendiri yang review file kamu," ucap Wina, karyawan lain yang cukup dekat dengan Vania.

"Oh iya? Pas aku ke toilet?"

"Iya, Bu. Tadi Direktur marahin Bu Fika abis-abisan, karena kamu. Kayaknya, mending sekarang berterima kasih deh, bawain kopi atau apa gitu."

"Nggak apa-apa gitu? Tiba-tiba? Takut ganggu."

"Aman deh kayaknya, bentar lagi juga jam istirahat."

Vania mengangguk paham. Tidak ada salahnya untuk menunjukan rasa berterima kasih, ia juga penasaran akan Direktur yang misterius ini. Tidak terasa, akhirnya jam istirahat tiba. Vania langsung bangkit ke kafe langganannya.

"Satu caramel latte ya, Mbak. Sama satu lagi... Eh Mbak tau orderannya Direktur kantor XX?"

"Nggak tau Kak, maaf."

"Ya udah, ice caramel latte sama ice americano aja."

"Baik, Kak. Totalnya 72.000 rupiah."

Vania membayar lalu ia duduk untuk menunggu pesanannya selesai. Tidak ada alasan khusus untuk mengapa ia memilih americano. Feeling. Ia hanya merasa bahwa Direkturnya adalah tipe yang menyukai kopi pahit.

Dengan dua gelas kopi, Vania pergi ke ruang Direktur. Ia berdoa pada hati kecilnya bahwa sang pemilik ruangan ada di dalam. Ia ketuk pintu itu, sebanyak dua kali.

"Permisi, maaf saya Vania anak buahnya Bu Fika. Boleh saya masuk?"

Beberapa saat hening tidak ada jawaban, hingga akhirnya pintu itu terbuka sendiri, menampakkan sosok yang Vania sangat kenal.

"Boleh dong, Vania."

༉‧₊˚🕯️🖤❀༉‧₊˚.
Tbc

FantasizesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang