Ena menghempaskan pantatnya ke kursi berbahan kayu dan menghela napas dalam-dalam. Perempuan yang sudah menunggu dan duduk di depannya pun mengerutkan kening sebelum tersenyum miring.
"Kenapa, mba?" Tanya perempuan itu.
"Badmood," jawab Ena pendek. Sahutan itu mengundang tawa geli teman kerjanya tersebut.
"Keliatan, kok! Emang, disuruh apa aja sama Bu Rena? Kukira cuma disuruh anter Mba Fia aja?" Teman kerja Ena kembali bertanya.
"Sama Pak Ron disuruh nemenin sampai beliau dateng. Masalahnya, kapan beliau dateng? Nggak jelas, Yu!" Sahut Ena, melepaskan beberapa emosi yang dipendamnya.
Rayu, teman kerja Ena kembali tertawa.
"Ditanya sama Bu Rena, Pak Ron kemana?"Ena mengangguk sambil mendengus,
"Kujawab, lagi rapat di Kalasan.""Padahal aslinya?"
"Nggak tau lah! Mungkin sama yang ketiga!"
"Sadis kamu mba, kalo ngomong," komentar Rayu lagi, kembali tertawa. "Eh, tapi beruntung loh. Yang nomer tiga nyuruh kamu nganterin berkas ke kost-nya. Kalau enggak, mungkin kamu bakal di sana sampai sore!"
"Anjir, capek banget cuma bayanginnya," Ena mencebikkan bibir, meraih segelas es teh yang sudah tersaji sejak dia datang tadi. Warung mie ayam langganannya sangat ramai karena sudah masuk jam makan siang. Jadi, bukan hanya dia yang mengobrol di ruang terbuka.
"Makanya, buruan nikah! Biar nggak di pontang-pantingin seenak jidat lagi," saran Rayu yang membuat Ena segera tertawa pahit.
Yah, sebuah pernikahan bukanlah hal yang bisa di putuskan secara gegabah. Meskipun sekarang dia sudah berumur seperempat abad, Ena justru merasa perlu ekstra hati-hati dalam memilih pasangan.
"Cowok jaman sekarang, nggak ada yang sesuai tipe ku, Yu," Ena mendesah sedih. "Padahal, kriteriaku nggak ribet-ribet amat. Cuma satu, jangan sinting! Tapi kebanyakan orang sekarang udah pada sinting semua."
"Untung suamiku nggak gitu, ya? Normal-normal aja," sahut Rayu yang segera disetujui oleh Ena.
"Makhluk langka beliau," ucap Ena, nyengir.
Pesanan mie ayam mereka datang, dan jeda mengobrol itu membuat Ena teringat pada sosok dokter yang baru saja dia temui. Lelaki tolol macam apalagi, dokter itu? Apapun masalahnya dengan si perempuan bar-bar, kenapa menyeret seseorang yang baru di temui, sih? Dan kenapa perempuan itu harus dia?
"Sinting!" Gumam Ena, mendengus kesal.
"Hah?" Rayu menatap Ena dengan sorot bingung.
"Nggak apa-apa, lupain aja!"
###
Apakah memiliki pasangan baik hati, memiliki ekonomi mapan dan wajah rupawan adalah hal yang tidak masuk akal? Ena pikir, hal yang diinginkannya justru sangat masuk akal. Kalau ada sosok seperti itu datang, apa iya ada yang mau menolak? Siapa? Orang gila?
"Yu, aku mau pergi dulu," ucap Ena begitu jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB.
"Mau kemana?" Rayu bertanya.
"Jemput Mba Fia di UII," jawab Ena pendek.
"Hah?! Kamu disuruh jemput? Setelah tadi disuruh anter? Emang nggak bisa pesan gojek atau grab aja, ya? UII ke Kasihan kan jaraknya jauh, mba!" Rayu terlihat syok dan tidak terima.
"Bu Rena yang nyuruh, baru aja wa." Ena menggoyangkan ponsel kerjanya dan menunjukkan ekspresi bahwa dia tidak bisa menolak.
"Edan!"
"Duluan, ya?"
###
Wajah masam Ena segera berganti dengan seulas senyum begitu dia memasuki ruang perawatan Ria. Ternyata, kunjungannya bersamaan dengan waktu Ria mendapat treatment dari dokter. Ena bisa mendengar seberapa keras Ria menangis dan memanggil ayahnya.
Ha! Kasian banget, sumpah! Anaknya lagi sakit begini, bapaknya enak-enakan selingkuh, batin Ena.
"Sudah selesai," suara dokter laki-laki yang tadi pagi Ena dengar kembali menyapa telinga perempuan itu. "Cup cup cup, Dek Ria... Sudah selesai, ya... Dek Ria nggak apa-apa, kok!" Dokter itu berusaha menghibur.
"Panas! Papa!" Ria menangis dan mengeluh keras-keras.
"Nggak apa-apa, biar sembuh!" Bu Rena juga berusaha menenangkan.
"Bu, Mba Fianya kemana, ya?" Ena bertanya karena tidak melihat sosok asisten rumah tangga yang tadi pagi di antarnya ke rumah sakit.
"Eh, Mba Ena. Mba Fianya lagi beli makan, tunggu aja dulu disitu, ya?" Bu Rena menjawab sambil berusaha menenangkan Ria yang masil bergeliat menahan sakit.
Ena mengangguk patuh, duduk di sofa yang ada dalam ruang VIP itu. Ena membuka ponsel kerjanya, memberi kabar pada Rayu dan mencari kabar terbaru dari pekerjaan yang sedang berjalan.
"Mba, Pak Ron sudah selesai rapatnya?" Ena terkejut saat mendapat pertanyaan mendadak itu.
"Oh...," Ena berusaha mencari alasan tercepat. "Saya nggak tau, Bu. Coba saya wa kan!"
"Tolong, ya! Soalnya Dek Ria nyariin papanya terus," ucap Bu Rena yang membuat Ena meringis.
Perempuan itu mengetik cepat ke nomer bos besarnya, mencari tau lokasi beliau dan menyampaikan pesan Bu Rena. Tidak lama, pesan itu segera di balas.
"Rapatnya sampai malam, Bu. Nanti kalau sudah selesai, akan langsung ke sini, begitu," jawab Ena.
"Kalau gitu, Mba Ena disini dulu sampai bapak datang, ya?" Pinta Bu Rena.
Anj--
"Baik, bu." Rena tersenyum meski dalam hati sudah mengabsen seluruh penghuni Gembira Loka. Pertanyaannya adalah, apakah Pak Ron akan datang ke rumah sakit? Sampai kapan dia harus menunggu?
"Mba Ena cari makan aja dulu, nanti gantian." Sekali lagi Ena tidak bisa menolak. Perempuan itu keluar dari kamar Ria dan langsung menunjukkan ekspresi muaknya.
Dia akan segera resign dari perusahaan! Sialan! Kenapa jobdesc-nya jadi kacau begini? Apa karena dia masih jomblo, jadi dikira punya banyak waktu luang yang bisa di monopoli? Dikira, hidupnya hanya untuk cari uang? Admin mana yang mengurusi dan memback up kehidupan pribadi bosnya begini, Anjing?!
Ena menghela napas dalam-dalam begitu kembali menginjakkan kaki di lantai satu. Perempuan itu mencari papan penunjuk untuk mencari letak kafetaria rumah sakit. Setelah ketemu, napsu makan Ena jadi menghilang.
Ah, ya... Uangnya tinggal sedikit dan untuk jaga-jaga biaya bensin. Sial sekali, kenapa harga makanan di kafetaria semahal ini? Hahaha... Bajingan! Ena kembali memaki keluarga bosnya di dalam hati.
"Mba? Bisa ngomong sebentar?"
Ena menoleh ke arah lelaki yang menghampirinya dan menemukan dokter yang menangani Ria tampak serius.
"Soal apa, ya, Pak?" Ena bertanya, bersiap menjaga jarak.
"Saya mau minta maaf soal kejadian tadi pagi," ucap dokter itu, terdengar merasa bersalah. "Saya juga bingung mau menjelaskannya bagaimana, tapi saya benar-benar minta maaf karena sudah menarik mba ke dalam masalah saya."
"Oh..." Ena bergumam tenang. " Ya, Pak. Nggak apa-apa. Saya udah lupa, kok!" Bohong! Ena sama sekali tidak lupa. Melihat dokter itu di kamar Ria tadi, membuat rasa mangkel di hatinya semakin membesar. Hanya saja, perasaan itu langsung hilang entah kemana setelah dokter tersebut meminta maaf secara tulus.
"Saya tetap merasa nggak enak," dokter itu terlihat gugup, jadi Ena tertawa kecil.
"Tenang aja, Pak. Nggak usah dipikirin!" Ucap Ena lagi.
"Eh, mau makan? Kalau saya traktir, boleh? Sebagai bentuk permintaan maaf saya?" Dokter itu bertanya dengan hati-hati, tidak mau membuat Ena tersinggung.
"Boleh," Ena mengembangkan senyum. "Menu rekomendasinya apa, pak?"
###
Mau di kasih visual karakternya siapa aja nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolons
General Fictiondeskripsi kapan-kapan di tulis. Yang mau baca, silakan...