12

377 88 25
                                    

Mereka memutuskan untuk makan terlebih dulu sebelum Jerry menemani Aleena berbelanja. Disebuah restoran Jepang, Jerry memesan hot pot untuk mereka berdua.

"Greenteanya nggak pakai gula, kan?" Aleena bertanya pada pelayan sebelum memesan minum.

"Mumpung diluar, mending kita sekalian cari cincin nggak, sih?" Jerry membuka perbincangan begitu pelayan pergi.

"Iya. Nanti aja, abis makan sekalian," Sahut Aleena, mengaduk tasnya untuk mengeluarkan dua ponsel. Jerry jadi teringat sesuatu.

"Kamu nggak ada rencana ngasih aku nomer pribadi?" tanyanya.

"Hm?" Aleena sempat bingung, tapi kemudian mengerti maksud Jerry. "Oh, iya! Maaf lupa. Bentar, aku wa."

Baru saja Aleena menyentuh salah satu dari ponsel itu, dia menghela napas panjang. Dengan cepat dering panjang dari ponsel kantor dia terima.

"Ya, Mba?" Aleena mendengarkan seseorang di seberang sana berbicara sampai selesai sebelum menjawab. "Bukannya laporannya dikumpul hari senin ya, Mba? Aku nggak bawa laptop soalnya, ditinggal di kantor. Kebetulan ini juga lagi di luar. Soal operator, yang hari ini kerja cuma Mas Mahmud dan Mas Kris, Mba. Yang lain libur. Terus, aku nggak terima orderan mob itu. Mungkin Mba Rayu? "

Jerry memperhatikan raut malas Aleena sementara perempuan itu tetap menjawab dengan baik. "Aku lagi di Sleman, Mba. Nyari beberapa barang buat acara nikahan. Pengajuan cutiku minggu depan udah di acc sama Pak Roy atau belum ya, Mba?"

Setelah panggilan telepon itu selesai, wajah Aleena berubah cemberut penuh emosi.

"Kenapa?" Jerry bertanya tapi Aleena dengan gerakan bibir menjawab, nanti. Perempuan itu menelepon seseorang dan mengomel dengan galak. Jerry yang menerima pesanan minuman mereka pun hanya bisa melemparkan senyum pada pelayan yang melirik Aleena beberapa kali.

"Kenapa sih, belum ada panggilan kerja? Padahal udah nglamar ke sana-sini," gumam Aleena penuh emosi setelah selesai menelepon.

"Kenapa emangnya?" Jerry kembali bertanya.

"Si Selingkuhan ngeributin laporan mingguan. Padahal harusnya besok!" desis Aleena jengkel. Jerry hanya mengangguk, tidak menanggapi lebih jauh.

"Nomer pribadimu?" Lelaki itu mengingatkan. Aleena menyerahkan ponsel lain ke arah Jerry sementara matanya menatap layar ponsel kantor.

"Ambil aja sendiri, ya?" katanya, kembali meraih ponsel kantor yang berdering. "Halo, Pak?"

Karena sudah mendapat izin, Jerry segera mengambil nomer Aleena dengan menscan barcode sementara perempuan itu kembali bekerja.

"Kalau kita udah nikah, aku boleh jadi IRT aja nggak, sih? Pusing!" keluh Aleena setelah mengakhiri panggilan telpon terakhir.

"Boleh," jawab Jerry ringan. "Ayo, makan dulu."

Setelah membeli cincin kawin dan beberapa skincare, Aleena mampir ke Watson untuk membeli barang lain. Begitu akan membayar ke kasir, mereka bertemu seseorang yang tidak terduga. Aleena tersenyum dan mundur mengalah pada perempuan yang melemparkan sekotak besar kondom ke kasir.

Perempuan yang Jerry kenal bernama Greesa itu terkejut melihatnya berdiri tidak jauh dari kasir sambil menenteng plastik belanjaan.

"Jerry?" Greesa memanggil dengan nada tak percaya. "Ngapain kamu disini?"

"Gree? Udah dibeli belum kondom ya?" seorang lelaki asing muncul dan merangkul bahu Greesa.

Kasir lain segera meminta belanjaan Aleena sementara entah drama bergenre apa yang sedang terjadi di belakang punggung perempuan itu. Aleena hanya bisa mendengar lelaki asing yang bersama Greesa bertanya, sementara Greesa justru mengajak Jerry berbicara. Aleena tidak mendengar satu patah kata pun keluar dari bibir Jerry.

Selesai membayar, Aleena yang kasihan pada Jerry segera menghampiri lelaki itu.

"Yuk?" ajaknya. Jerry mengangguk, mengambil belanjaan di tangan Aleena. "Permisi," ucap Aleena sambil tersenyum saat melewati Greesa dan teman lelakinya. "Mau aku beliin cokelat atau ice cream?" tawar Aleena pada Jerry, sedikit meledek lelaki yang berekspresi datar itu.

###

Aleena berlari sekuat tenaga ke lobi Rumah Sakit UII Bantul setelah ngebut naik kendaraan dari kantor. Baru saja dia ditelpon oleh isteri bosnya yang memberi kabar bahwa Dek Ria kembali harus menjalani perawatan. Sesampainya di ruangan tempat Dek Ria dirawat, Aleena bisa mendengar suara tangis bocah itu pecah. Dilihatnya Jerry dan beberapa perawat sedang melakukan tindakan.

"Sudah. Kita tunggu dulu ya, Bu. Kalau nanti BABnya masih susah, kita lakukan tindakan lanjutan," ucap Jerry pada Bu Rena.

"Mba Ena, tolong urusin administrasinya, ya? Sama tolong hubungi bapak, bilangin kalau Dek Ria ada kemungkinan harus di operasi," katanya dengan wajah cemas.

"Ya, Bu" jawab Aleena, kembali turun bersama Jerry. "Dek Ria kenapa lagi, Mas?" Aleena bertanya saat mereka berjalan menuju lift.

"Obstruksi Usus lagi," jawab Jerry. "Pola makannya nggak di ganti atau gimana, ya? Jelas-jelas udah di kasih tau bahayanya Obstruksi usus, apalagi buat anak-anak. Udah di kasih tau juga biar nggak kejadian lagi, tapi kok bisa-bisanya malah lebih parah?"

"Nggak tau juga. Tapi, beneran harus di operasi?" Aleena kembali bertanya.

"Kali ini, iya. Kalau nggak nanti malah ada komplikasinya yang lebih bahaya," jawab Jerry.

"Emang kayak gitu tuh karena apa, sih?" Aleena bertanya, ingin tau.

"Ya macem-macem, tapi kalau dari penjelasan ibunya, karena pola hidupnya yang salah. Gimana pun, semua orang butuh makanan dan gaya hidup seimbang. Kalau makan fast food tanpa diimbangi serat, bisa ganggu sistem pencernaan," ucap Jerry, menjelaskan.

Aleena mengangguk-angguk kemudian berpisah dengan Jerry karena masing-masing dari mereka punya hal yang perlu diurus.

"Aleena, ya?" Perempuan itu menoleh saat namanya disebut.

"Oh, Dokter Jamal, ya?" balas Aleena, membuat teman Jerry itu tersenyum.

"Siapa yang sakit?" Jamal bertanya.

"Anak Bos, Pak," jawab Aleena lagi, menyudahi urusan administrasi dengan kasir. "Nggak sibuk, Pak?"

"Baru aja selesai konferensi. Nanti jam 2 ada operasi," kata Jamal. "Udah ketemu Jerry?"

"Udah, Pak. Kebetulan dokter yang nanganin anak bos saya Mas Jerry," jawab Aleena.

"Ooh..."

"Na?" Mereka berdua menoleh ke arah suara lelaki yang baru saja memanggil Aleena. Sosok lelaki berusia awal empat puluh tahunan itu bergegas mendekat.

"Siapa?" Jamal bertanya dengan nada berbisik.

"Bos," jawab Aleena singkat.

"Dek Ria di kamar nomer berapa?" Bos Aleena bertanya.

"305, Pak." Aleena menjawab sebelum mengangguk berpamitan pada Jamal.

"Kondisinya gimana kok bisa sampai harus di operasi?" Pak Ron kembali bertanya.

"Waktu saya sampai tadi baru dilakukan tindakan awal, terus saya tanya dokternya kondinya lebih parah dari yang pertama. Kalau nggak segera di operasi, bisa lebih bahaya," cerocos Aleena, melangkah cepat menyesuaikan langkah kaki bosnya. "Bapak cepet banget sampainya? Perasaan saya wa belum ada sepuluh menit?"

"Tadi ibu udah telpon duluan sebelum kamu ke sini," jawab Bosnya singkat.

Aleena menganggukkan kepala, menunggu perintah supaya dia kembali ke kantor tapi mungkin harus menunggu agak lama. Atau mungkin tidak.

"Kamu balik aja, nggak apa-apa. Administrasinya udah, kan?" Pak Ron tiba-tiba bersuara.

"Udah, Pak. Kecuali surat persetujuan operasinya belum. Nunggu orang tua sama keputusan akhir dokter," ucapan Aleena mendapat anggukan mengerti dari bosnya. "Kalau gitu saya balik ke kantor ya, Pak?"

"Ya, makasih ya, Na!"

###

SemicolonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang