Semakin dipikir, Jerry semakin merasa kalau masalah ini juga salahnya. Dia cukup mengenal Aleena untuk tau kalau perempuan itu tidak mudah tersinggung. Tentu, teman kerja perempuan itu memang bersalah tapi biasanya akan mengabaikan atau ikut tertawa jika masalahnya juga tidak mengganggu benak Aleena.
Jerry juga berpartisipasi dalam hal itu kalau memang masalahnya adalah urusan ranjang mereka. Sebenarnya, jika memang Aleena menginginkannya akan lebih mudah bagi Jerry. Dia tidak perlu memimpikan Aleena mengerang dibawahnya setiap malam lagi. Haruskah dia bertanya? Akan lebih baik kalau masalah ini menjadi jelas secepatnya.
Aleena baru saja selesai mandi saat Jerry
bertamu ke kamar perempuan itu. Seperti biasa, Aleena melenggang santai meski tau Jerry duduk di kasurnya."Al, coba sini deh," pinta Jerry.
"Apa?" tanya perempuan itu.
"Aku mau ngomong, duduk dulu." Mungkin seharusnya Jerry membiarkan Aleena memakai baju terlebih dulu karena dengan cueknya perempuan itu duduk disampingnya hanya dengan handuk terlilit di bawah ketiak.
"Ngomong apa?" tanyanya.
"Apa yang bikin kamu terganggu sama omongan temen kerjamu itu?" balas Jerry.
"Lah? Kamu masih nggak ngerti juga?" Sahut Aleena dengan nada seru.
"Aku ngerti!" jawab Jerry cepat. "Tapi bukan itu maksudku!"
"Terus apa?" tantang Aleena, melipat tangan di depan dada, kembali cemberut.
"Menurutku, kamu nggak akan ikut marah ke aku kalau menurutmu aku nggak salah," kata Jerry. "Kamu bisa aja langsung balas omongan orang itu atau bersikap sarkastik kayak biasanya, tapi aku ngerasa somehow kamu juga marah ke aku."
"Kenapa kamu mikir aku marah ke kamu?" balas Aleena, menaikkan satu alis. Bukan ekspresi bertanya, tapi seolah perempuan itu sedang menguji Jerry.
"Because i keep you a virgin," Jerry bisa melihat ekspresi syok Aleena saat mata perempuan itu membola. Butuh beberapa saat hingga Aleena kembali sadar. "We can do it whenever you are ready, Al, karena pilihannya ada di kamu."
Jerry bisa melihat betapa bingungnya Aleena hanya dari mata perempuan itu yang bergerak-gerak liar. Dia hanya perlu menunggu balasan Aleena saat perempuan itu bisa menguasai diri.
"Gimana mungkin keputusannya ada di aku?" tanya Aleena.
"Jadi, kamu mau aku yang nentuin?" balas Jerry yang semakin membuat Aleena bingung. Lelaki itu hanya memperhatikan dengan tenang hingga sebuah ide muncul di kepalanya. Sesuatu yang memberi tau Aleena tentang apa yang dia inginkan jika memang pengambil keputusan diberikan padanya.
Jerry menarik lengan Aleena lembut, membawa perempuan itu untuk duduk dipangkuannya.
"Ini yang aku mau kalau keputusannya ada di aku," kata Jerry, menarik ujung handuk Aleena hingga simpul ya terlepas tapi tidak menunjukkan apa yang disembunyikannya.Aleena terkesiap, menatap Jerry dengan mata membelalak lebar.
"Kamu gimana? Kita bisa ngelakuin itu sekarang atau aku bisa nunggu kalau itu yang kamu mau," tanya Jerry sekali lagi.###
Sejujurnya, pikiran Aleena sedang sangat berantakan. Bukan perkara kejadian di rapat tadi, melainkan karena kelakuan suaminya yang tidak biasa malam ini. Bagaimana mungkin kemarahannya pada teman kerjanya justru mengantarkan Aleena untuk duduk di pangkuan Jerry dengan kondisi nyaris telanjang?
Apa Jerry dengan sengaja masuk ke kamarnya dengan keadaan topless dan membicarakan hal ini hingga membuat otak Aleena menjadi tidak waras? Dia memang belum pernah terlibat hubungan asmara sebelumnya, tapi Aleena juga tidak senaif itu.
"Kenapa jadi bahas itu?" keluh Aleena, memeluk Jerry dan menyembunyikan wajahnya ke bahu lelaki itu.
"Memang apa lagi yang bisa dibahas?" Sahut Jerry, menyentuh punggung Aleena dengan kedua tangannya.
Aleena tidak bisa menjawab, selain karena memang tidak memiliki jawaban, suasana kamarnya di malam itu benar-benar membuatnya ingin bersama Jerry. Tapi, apakah tidak apa-apa? Mereka memang hampir satu tahun menikah, sudah banyak hal yang terjadi dan mereka rasakan bersama, tapi Aleena masih belum yakin akan perasaan mereka. Aleena terlalu mengenal dirinya sendiri untuk tau kalau dia akan menjadi sangat menyebalkan jika sudah mengklaim Jerry sebagai miliknya.
"Kamu lama," gumam Jerry sebelum Aleena bergidik merasakan bibir lelaki itu di leher dan bahunya yang telanjang. "Aku lakuin semauku kalau kamu diem aja!"
Beruntung, kedua lengan Aleena masih memeluk leher Jerry karena lelaki itu itu tiba-tiba membaringkannya ke ranjang. Aleena menyadari suaminya memiliki sex appeal yang besar, namun selama ini Aleena mengabaikannya. Aleena tidak pernah mau tertarik pada seseorang karena hal semacam itu. Sepertinya Jerry sendiri tidak menyadarinya.
Membaca atau menonton orang berciuman jelas berbeda dengan praktik langsung. Cara Jerry menekankan bibirnya ke bibir Aleena membuat pikiran perempuan itu kembali berantakan.
"Mas! Tunggu!" Aleena mendorong dada Jerry menjauh,
"Kenapa? Nggak mau?" Sahut Jerry, mengamati Aleena yang berbaring di bawah tubuhnya.
Aleena menggigit bibir, berusaha berpikir secepat mungkin. Apakah dia perlu membuat alasan untuk menolak Jerry? Dan kenapa nama Greesa tiba-tiba muncul di benaknya? Apakah benar-benar tidak apa-apa kalau mereka melakukan ini?
"Aleena?" Panggil Jerry, saat melihat Aleena berpikir sambil menahan napas.
"Mau," gumam Aleena, tidak berani menatap Jerry meski wajahnya tampak benar-benar sedang menahan malu. "Pelan-pelan," tambahnya.
Sikap salah tingkah Aleena selalu membuat Jerry gemas. Lelaki itu terkekeh kecil sebelum mengecup pipi Aleena singkat.
"Jangan ketawa ih!" Lagi, cara Aleena menutupi kegugupannya membuat Jerry menahan tawa.
"Iya, kenapa mukul, sih?" Sahut lelaki itu, geli. "Sini, aku ajarin ciuman!"
###
Jerry bangun lebih dulu pagi harinya karena suara ponsel kantor Aleena yang berdering nyaring. Perempuan pemilik ponsel masih tertidur lelap, jadi Jerry mengangkat telepon isterinya.
"Halo?" Sapa Jerry, berjalan keluar dari kamar Aleena karena takut perempuan itu akan bangun.
"Halo, maaf, Mas. Mba Ena hari ini berangkat kerja atau enggak, ya? Soalnya belum sampai kantor," suara perempuan yang Jerry kenal bernama Rayu itu bertanya.
"Aleena sakit, Yu. Ijin dulu, ya?" Sahut Jerry.
"Oke, Mas. Ngomong-ngomong, ijin ke Pak Bos langsung ya, Mas," Pesan Rayu sebelum menutup telepon.
Jerry menatap jam di ponsel dan baru menyadari sekarang sudah pukul setengah sepuluh pagi. Dia juga harus segera bersiap berangkat kerja. Jerry mencari nama kontak bos Aleena sebelum menelepon untuk meminta ijin absen.
"Halo, Na?" Pak Ron menyapa lebih dulu.
"Saya Jerry, Pak. Suami Aleena," ucap Jerry memperkenalkan diri.
"Oh, ya. Gimana, Mas?"
"Hari ini Aleena sakit, nggak parah tapi perlu istirahat jadi saya mau minta ijin," kata Jerry lagi.
"Oh, ya ya! Oke mas. Semoga Enanya cepat sembuh," ucap Pak Ron lagi, terdengar tidak begitu mempermasalahkan keabsenan Aleena di kantor.
"Maaf, pak, sama satu lagi," kata Jerry sebelum bos Aleena menutup sambungan telepon.
"Ya?"
"Saya dengar di rapat tadi malam menyinggung hal yang seharusnya tidak di bahas di rapat. Aleena pulang sambil menangis karena ucapan salah satu pegawai bapak. Tolong di tegur, Pak. Nggak pantas orang asing ngomong soal rumah tangga kami, apalagi urusan ranjang," ucap Jerry tegas.
"Oh, tadi malam saya nggak ikut rapat. Tapi, biar saya sampaikan ke orangnya, Mas," jawab Pak Ron kemudian menutup sambungan telpon.
###
Udah ada feel ya belum nih cerita?
