15

376 100 48
                                    

Siapa yang nungguin??

###
Aleena tidak bisa tidur semalaman karena topik obrolannya dengan Jerry. Meski mereka sudah sepakat untuk tidak terburu-buru dan lebih fokus pada satu sama lain, tapi Aleena masih memiliki perdebatan dengan dirinya sendiri. Kenapa dia masih menahan diri kalau dari awal memang berniat menikah dengan Jerry? Kenapa dia masih takut? Bukankah semua ketakutan dan kekhawatirannya adalah harga yang harus dibayar setelah memutuskan sesuatu?

"Kenapa lesu gitu, Mba?" Rayu yang melihat raut tidak biasa Aleena pun bertanya.

"Nggak apa-apa," Sahut Aleena pendek.

"Dikejar-kejar soal anak, ya?" tebak Rayu, membuat perhatian Aleena teralih padanya. "Aku juga gitu, kok. Sampai nangis, dan yang ngejar-ngejar justru tetangga. Padahal keluargaku santai aja."

Aleena diam, mempertimbangkan curhat kepada teman kerjanya itu atau tidak. Biar bagaimana pun, Rayu telah berkeluarga lebih lama darinya.

"Pernah ngerasa bingung nggak sih setelah nikah, Mba?" Aleena bertanya pelan.

"Bingung kenapa?" Rayu balas bertanya.

"Nggak tau. Aku... ngerasa serba salah? Kalau mau ngelakuin sesuatu tuh, banyak banget al yang harus dipikirin. Misal, kalau aku ngelakuin sesuatu nanti suamiku suka atau enggak?" jawab Aleena, kesusahan menguraikan isi pikirannya sendiri.

"Kenapa nggak tanya sama suamimu?" Aleena menghela napas panjang dan mengusap wajahnya kasar mendengar pertanyaan Rayu.

"Aku takut nanti dia mikir aneh-aneh," gumam Aleena pelan.

"Kan tinggal di jelasin? Tapi, ini konteksnya apa sih, Mba? Biar jelas gitu." Tanya Riyu, kini fokus dengan obrolannya dengan Aleena alih-alih pekerjaan di meja masing-masing.

"Aku ngerasa nggak ada kemajuan di hubungan kami, dan aku juga takut buat mulai duluan," gumam Aleena dengan kepala tertunduk.

"Kenapa takut? Dia kan udah jadi suamimu, Mba?" Rayu mengerutkan kening tidak mengerti.

"Aneh nggak sih kalau aku tiba-tiba manja atau deketin dia duluan?" Rayu tertawa mendengar pertanyaan Aleena.

"Ya jelas enggak lah!" jawab Rayu yakin. "Kan suami sendiri. Kalau suami orang lain, baru aneh!"

Aleena diam, membayangkan dirinya tiba-tiba memeluk Jerry atau bersikap manja pada lelaki itu, lalu menghela napas berat. Dia tidak yakin bagaimana Jerry akan merespon kelakuannya. Dan yang membuat pikiran Aleena lebih buruk adalah, perempuan itu sadar betul betapa hubungan terakhir Jerry sangat mempengaruhi lelaki itu.

Aleena bisa saja menjadi pihak yang pura-pura tidak tau dan berjuang membantu lelaki itu melewati masa patah hatinya. Namun Aleena tidak yakin, dia akan bisa menumbuhkan perasaannya sendiri dalam proses itu karena pasti banyak rasa sakit yang membuat hatinya mati.

"Harusnya kalian pergi honeymoon agak lama," gumam Rayu prihatin. Aleena hanya membalas dengan senyum lemah sebelum melihat ponsel pribadinya bergetar karena ada panggilan masuk dari Jerry.

"Halo, Mas?" Sapa Aleena pelan.

"Udah makan siang, belum?" pertanyaan lelaki itu membuat Aleena kaget. Buru-buru Aleena melirik jam dan terkejut jam makan siang hampir selesai.

"Belum. Kamu udah?" Sahut Aleena, menepuk pundak Rayu dan menunjuk jam dinding untuk memberi kode.

"Kenapa belum makan? Ini udah mau jam satu lo?" tegur Jerry.

"Nggak ngeh. Ini aku mau pergi makan dulu, nanti aku telpon balik ya? Kamu pulang jam berapa?" Sahut Aleena, buru-buru mengambil tas dan berlari keluar kantor bersama Rayu.

"Nggak pasti juga, sih," Sahut Jerry. "Yaudah, kamu makan dulu aja."

###

Jerry lebih dulu sampai dirumah daripada Aleena. Hujan deras yang mengguyur terasa menenangkan di lingkungan rumahnya yang rimbun dan sepi. Tidak ada pesan dari Aleena sama sekali sejak jam makan siang, jadi Jerry terkejut saat isterinya pulang dengan keadaan basah kuyup.

"Kamu nggak pakai mantel?" tanya Jerry sementara Aleena menggigil kedinginan.

"Mantelku dipinjem teman, belum dibalikin," jawab Aleena, berlari menuju kamarnya sementara air menetes-netes dari bajunya yang basah.

Jerry menahan diri untuk mengomel, lebih memilih memasakkan air untuk membuatkan Aleena minuman hangat. Aleena keluar kamar dengan pakaian hangat setelah selesai mandi bersamaan dengan Jerry yang selesai mengepel lantai.

"Harusnya suruh aku jemput tadi," kata Jerry.

"Kan nggak tau kamu udah pulang atau belum. Lagian, nanti motorku mau ditaruh mana kalau kamu jemput?" Sahut Aleena, duduk di sofa dan menyeruput teh favoritnya yang sudah dibuatkan oleh Jerry. "Tapi besok bisa antar-jemput nggak? Motorku mogok," tambah Aleena dengan nada memelas.

Pantas tidak terdengar suara motor saat Aleena pulang tadi, pikir Jerry.
"Iya," jawabnya, mengamati tubuh isterinya yang masih menggigil sementara hujan berangin diluar semakin menjadi-jadi.

"Kamu nggak ada baju yang lebih tebal?" tanya Jerry, merasa terganggu dengan kondisi Aleena.

"Ini udah numpuk tiga, tau? Nih!" Aleena menunjukan beberapa baju lain di balik hoodienya pada Jerry.

Lelaki itu duduk disamping Aleena, tiba-tiba merangkul perempuan itu hingga membuat Aleena menatapnya heran.
"Biar lebih anget," kata Jerry, menjawab pertanyaan yang tergambar dari mata Aleena.

Perempuan itu nyengir, menempelkan kedua telapak tangannya yang sedingin es ke wajah Jerry yang hangat.
"Tanganku dingin," katanya.

Jerry mengamati wajah Aleena, menelisik kalau ada tanda-tanda perempuan itu tidak enak badan. Tanpa mengucapkan apapun, Jerry juga meletakkan kedua tangannya di wajah Aleena yang sedingin es, mengusapnya lembut agar sedikit lebih hangat.

Jerry menyadari mata Aleena mengawasinya, mungkin bertanya-tanya apa yang akan lelaki itu lakukan atau arti dari perlakuannya itu. Namun, saat Jerry membalas tatapan itu, Aleena justru tersenyum dan beralih memeluknya erat, menyembunyikan wajah di dadanya.

"Aku pengin makan mie ayam, deh. Pasti enak kalau hujan-hujan gini," gumam Aleena.

"Kamu barusan kehujanan masih mau hujan-hujan lagi? Tuh, geledeknya udah kayak lagi perang," sahut Jerry, membalas pelukan Aleena lembut.

"Kalau gitu mie instan yang kuah aja, deh! Tolong bikinin, boleh?" Tawar Aleena.

"Bulan ini kamu udah makan mie instan. Nggak baik buat kesehatan kalau makan banyak-banyak," tolak Jerry lagi.

Aleena mendongak dan menatap lelaki itu sengit.
"Yaudah, kuahnya aja. Nggak usah pake mienya!" Katanya merajuk.

"Yang nggak sehat kan bumbunya, bukan mienya," tukas Jerry.

Aleena mendesah dramatis, melepaskan pelukannya dari tubuh Jerry.

"Terus makan apa? Aku mau yang anget dan berkuah," keluh Aleena kemudian.

"Gofood aja. Tapi kalau mie ayam, sampai sini pasti udah dingin dan ngembang. Sop? Tongseng? Atau apa?" Tawaran Jerry kembali membuat Aleena heran.

"Lebih parah daripada kita naik mobil ke warung mie ayam nggak sih? Kan kasian bapak gojeknya yang nganter ke sini hujan-hujanan," protes Aleena.

Jerry menyadari kebodohannya dan menatap Aleena dalam diam. Aleena yang sudah cukup hapal dengan cara Jerry salah tingkah pun tersenyum miring.

"Mie instan sekali lagi nggak apa-apa kali Pak Dokter!" Kata Aleena. "Mau juga nggak?" Tawarnya, bangkit dari duduk dan bergerak menuju dapur.

###

Ih, bisa update dong 😭

Walaupun malem 😋

SemicolonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang