51. Pelaku penculikan

51.3K 3.9K 1.3K
                                    


Terlihat santri laki-laki berlari kencang memasuki kawasan pesantren dengan tergesa gesa.
"PAK! PAK!" Panggilnya sembari berlari.
"Astagfirullah, ada apa?" tanya Pak Damar berdiri dari duduknya.
"Itu.. itu..." ucapnya dengan nafas tersengal-sengal.
"Tenang, tenang. Tarik nafas... Buang..." kata Pak Damar menenangkan.
Santri tersebut mengikuti instruksi dari Pak Damar.
"Udah tenang? Coba sekarang cerita ada apa?"
"Ning Lisa di culik, Pak!" ujarnya cepat. Sontak Pak Damar yang awalnya tenang menjadi kalang kabut ketika mendengar penuturan dari Rosi.
"Apa!! Di culik?" Kaget Pak Damar.
"Iya pak. Saya tadi liat Ning Lisa di seret paksa kedalam mobil. Bukan Ning Lisa aja yang di culik tapi ada satu santri yang di culik juga," terang Rossi pada Pak Damar.
"Aduh. Gawat nih," kata Pak Damar yang langsung berlari menuju ke ndalem untuk menemui kyai Zainullah.
Flashback on
"Kila!" Jerit Lisa saat melihat Kila yang tak sadarkan diri.
Dari arah jauh. Seorang santri laki-laki yang tak sengaja melihat aksi penculikan terhadap Lisa dan Kila.
"Itu ada apa teriak-teriak?" tanyanya penasaran seraya bersembunyi dibalik pohon besar. Ia melihat tiga orang sedang menyeret paksa dua wanita ke dalam mobil.
"Astagfirullah!" kagetnya, "kayak kenal?" Sebut saja Rossi. Dia berusaha melihat wajah dari wanita yang dibawa paksa oleh ketiga orang itu. Saat wajah salah satu wanita itu tak sengaja menoleh kesamping.
"Ning Lisa?!" Kaget Rossi dengan mata melotot tak lupa ia cepat-cepat menutup mulutnya takut ia ketahuan.
"Aduh gimana ini?" Dengan keadaan takut, ia kembali bersembunyi di balik pohon.
Setelah kepergian mobil hitam tersebut. Ia langsung keluar dan berlari pulang ke pondok untuk memberi tahukan kepada warga pesantren prihal penculikan terhadap Ning Lisa.
Flashback off.

Di dalam kamar Al-laits. Sa'adah, Uswah dan Zahra tengah menunggu kedatangan dua sahabat itu.
"Lisa dan Kila kok lama, ya? Perasaan udah lama banget mereka keluar." kata Uswah sedikit tak tenang.
"Sekarang udah hampir mau magrib lagi," ujar Uswah khawatir.
"Sabar Uswah. Mungkin mereka lagi ada dijalan atau lagi beli cilor." sahut Sa'adah seraya memakan kuaci.
"Kita tunggu aja dulu. Siapa tahu benar kata Sa'adah, palingan lagi jajan cilor sama cimoy," sahut Zahra yang sama halnya makan kuaci.
"Dari pada Lo nunggu mereka. Mending Lo nimbrung sama kita makan kuaci sini," ajak Sa'adah menawarkan kuaci satu bungkus pada Uswah.
Uswah pun ikut makan kuaci bersama mereka berdua.
Tak lama dari itu. Terdengar kehebohan dari arah luar kamar yang membuat rasa kepo mereka timbul.
"Heboh banget sih mereka?" tanya Uswah kemudian bangkit keluar.
Sa'adah dan Zahra juga ikut keluar.
Terlihat semua santri yang awalnya ribut, seketika terdiam tak bersuara.
"Kenapa ribut? Ada apa?" Sa'adah bersuara.
Pengurus yang juga berada di situ pun menjawab pertanyaan Sa'adah.
"Tadi kita dapat kabar kalau ada santri laki-laki liat Ning Lisa sama satu santriwati di culik sama orang yang tak dikenal," jawabnya, sebut dia Dinda.
Deg! Mendengar apa yang dibicarakan dari Dinda. Membuat Uswah, Zahra dan Sa'adah sontak kaku tak bergeming. Mereka tahu yang dimaksud santri yang tak bernama itu adalah Kila. Karena hanya Kila lah yang keluar bersama Lisa.
Seolah-olah semua itu hanya mimpi belaka. Baru juga mereka merasakan bahagia kini mereka harus menerima kenyataan pahit kalau dua sahabatnya diculik oleh orang yang jelas-jelas tak dikenal.
Sampai suara tangisan dari Uswah membuat lamunan mereka buyar.
"Arghhhh... Lisa! Kila! Gak mungkin kalau mereka... nggak!!" raung Uswah langsung kebawah.
"Lisa, Kila!" jerit Uswah tak terkendali.
"Uswah, Uswah. Sadar Uswah," ucap Sa'adah memeluk tubuhnya. Seketika air matanya ikut keluar tanpa Sa'adah pinta.
"Ini nggak mungkin, 'kan?" tanya Zahra dengan nada bergetar.
Semua santri yang disana melihat kesedihan mereka. Ikut berduka atas bencana kini menimpa kedua sahabatnya itu.
Di kediaman ndalem. Nyai Safitri tiba-tiba pingsan saat mendengar berita kalau menantunya diculik. Membuat ia pingsan di tempat.
"Kok bisa menantu saya diculik?" tanya Kyai Zainullah.
Pak Damar dengan kepala menunduk
"Tadi Ning Lisa minta izin sama saya untuk keluar sebentar, Kyai."
"Keluar? Ngapain dia keluar? Sama siapa?" tanya Kyai Zainullah kaget.
Pak Damar yang mendapatkan tatapan tajam dari Kyai Zainullah seketika nyalinya ciut. "S-saya kurang tahu, soalnya Ning Lisa nggak bilang mau kemana, Kyai," jawab Pak Damar dengan nada terbata-bata.
"Dengan siapa dia keluar?"
"Sama temannya, Kyai. Tapi saya juga tidak tahu nama temannya."
Kyai Zainullah menghela nafas kasar.
"Sekarang kumpulkan para Ustadz dan penjaga pondok ke ruangan rapat," titah Kyai Zainullah seraya berdiri.
Pak Damar pun mengangguk. "Nggih, Kyai." Pak Damar pun keluar dari ndalem.

*****
Di tempat lain. Terlihat dua wanita yang duduk di kursi dengan keadaan pingsan ditambah tangan terikat kebelakang. Ruangan itu begitu gelap dan pengap ditambah tidak ada sirkulasi udara sedikitpun.
Perlahan satu dari mereka terbangun dari pingsannya. Rasa pening karena efek bius yang membuat kepalanya sedikit pusing. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan yang nampak kumuh. Tiba- tiba ia teringat kejadian tadi siang dimana tiga orang berpakaian hitam membawanya secara paksa.
"Eugm..." terdengar suara rintihan dari mulut Lisa.
"Aku dimana?" Ia ingin bangkit namun tangannya terikat kuat di kursi. Dengan sekuat tenaga Lisa membuka ikatan tersebut tapi itu tidak membuahkan hasil, yang ada membuat tangannya memerah.
Ia melihat-lihat sekitarnya berharap ada sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membuka ikatannya.
Tak lama dari itu. Kila terbangun dari pingsannya sembari membuka matanya. Dilihatnya Lisa yang berusaha membuka ikatan ditangannya.
"Lis" panggil Kila dengan suara lemah.
Lisa menoleh. "Kil. Kamu nggak papa?" tanya Lisa dengan nada khawatir melihat keadaan kila.
"Nggak papa. Cuman kepala gue nih pusing," jawab Kila, "Kita dimana?"
"Lisa juga nggak tahu."
"Punya masalah apa sih mereka nyulik kita berdua? Apa mereka haters bts?" kesel Kila menerka-nerka.
"Kila, kita harus keluar dari sini," ucap Lisa berusaha membuka ikatannya. Kila juga mengikuti saran Lisa dan berusa membuka ikatannya juga.
"Shutt."
"Kenapa?" tanya Lisa.
"Ada yang datang," jawab Kila memberitahu agar Lisa diam.
Benar saja, terdengar suara langkah kaki orang yang berjalan ke arah ruangan mereka. Satu detik, dua detik dan perlahan kenop pintu diputar oleh seseorang di luar.
Ceklek
"Hello old friend!" sapa seseorang yang sangat familiar bagi mereka.
"Lo?!" ucap Kila tak percaya saat melihat siapa dalang penculiknya itu.
"Kenapa? Kaget, ya?" tanyanya dengan senyum miring. Perlahan kaki panjangnya melangkah maju mendekati mereka berdua.
"Apa mau Lo? Ha!!" sentak Kila menatap tajam ke arah sang lawan.
"Kalau ketemu sama sahabat lama itu disapa yang benar dong."
Kila menyunggingkan bibirnya. "Orang kayak Lo nggak pantas diperlakukan dengan baik!!" balas Kila bengis.
Wanita itu tak mengindahkan kila melainkan ia berjalan ke arah Lisa yang menatapnya tak percaya.
"Hai Lisa. Apa kabar?"
"K-kak Mely" ucap Lisa terteguk.
Dari beribu penjahat kenapa harus Mely yang menjadi penjahatnya. Lisa tidak menyangka dengan semua ini. Mantan ketua pengurus putri tersebut kini beralih profesi semenjak ia dikeluarkan dari pondok menjadi tukang penjahat. Apa tidak ada pekerjaan lain apa? Pikir Lisa.
"Nggak nyangka ya, kita bisa ketemu. Di tempat ini."
"Kakak kenapa ngelakuin ini pada kita?" tanya Lisa menuntun jawaban.
Tatapan Mely menajam. "Kenapa gue ngelakuin ini sama Lo? Hm?" Cengkraman kuat Mely berikan pada dagu Lisa. "Karena Lo!! Lo telah merebut Gus Rafan dari gue!" ucap Mely murka. Kemudian ia menghempaskan dagu Lisa kuat.
"Selama ini Gue udah jatuh cinta sama Gus Rafan saat pertama kali gue mondok disana! Tapi apa? Lo tiba-tiba datang dan menghancurkan semuanya dengan merebut dia dari gue!!" Mely mengeluarkan isi hatinya pada Lisa.
Lisa terdiam menunduk tak bersuara. Ia terkejut mendengar fakta kalau Mely sudah menaruh rasa pada suaminya begitu lama.
"Apalagi saat gue tahu kalau Lo udah menikah sama Gus Rafan. Hati gue hancur, Lis! Gue benci banget sama Lo!" jerit Mely di depan wajah Lisa.
Plak... Plak
Dua tamparan kuat pada pipi kiri kanan Lisa membuatnya hampir terhuyung ke belakang.
"Woyyy! Nenek Lampir! Terima aja kalau cinta lo nggak di bales sama Gus Rafan!!" balas Kila murka dan berusaha melepaskan ikatannya.
"Itu salah lo! Mangkanya kalau suka sama seseorang di ungkapi, bukan di pendam. Sekali di tikung, nanges..." tambah Kila dengan nada mengejeknya.
Mely berbalik ke arah Kila dan langsung menjambak rambutnya yang masih terbalut jilbab. Sehingga wajah Kila mendongak ke atas.
"Mulut kotor lo selalu ikut campur urusan gue! Lo harus hormati gue sebagai kakak kelas lo. Apa perlu gue robek mulut sialan Lo biar nggak bisa ngomong, Ha!!" Bentak Mely semakin menjambak rambut Kila kuat.
Mendapatkan ancaman itu tak membuat Kila merasa takut melainkan rasa iba pada sosok wanita di depannya. "Lo itu udah pikun, ya? Apa perlu gue ulangi lagi ucap gue yang tadi?" Celetuk Kila kelewat santai.
"Sialan lo!"
Bugh
Tanpa rasa iba sedikitpun. Dengan tidak ke pri-kilaan. Ia memberi pukulan pada wajah mulus Kila.
"Kila!" teriak Lisa, "Udah Kak Mely. Hiks... Jangan sakiti Kila Kak, hiks... Aku mohon," Lisa membujuk Mely agar ia tidak menyakiti Kila lagi.
Kila terkekeh sinis seraya menjilat darah yang keluar dari sudut bibirnya. "Gara-gara cinta, ternyata bisa mengubah sifat seseorang, ya? Haha... Gue kasian banget sama lo Mely, Mely." Kekeh Kila dengan senyum smirk.
Plak!
"Lama-lama gue muak sama lo!! Sekali lagi mulut kotor lo ikut campur lagi. Gue enggak segan-segan bunuh lo sekarang juga," ancam Mely.
Lagi dan lagi Mely melayangkan pukulan pada wajah Kila sehingga darah segar keluar dari pelipis matanya.
"Cuih! Emang gue takut sama ancaman lo, Ha!!" balas Kila setelah meludah tepat di wajah Mely, ia juga membalas tatapan tak kalah tajamnya pada sosok wanita yang kini menjelma menjadi Mak lampir. "Wanita bermuka dua kayak lo itu nggak pantas bersanding dengan Gus Rafan!"
Mely kembali tersulut emosi. "Bangsat! Mati aja lo!"
Sontak Lisa menggeleng kuat. "Jangan kak Mely! Aku mohon Kak. Kakak bunuh Lisa aja kak, jangan Kila." Lisa berujar dengan air mata semakin deras.
Mely melirik pada Lisa setelah memberikan pukulan pada Kila. "Emang itu tujuan gue."
Ceklek
Tiba-tiba pintu terbuka mendapati pria tampan nan tinggi, masuk dengan kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya, "Udah main-mainnya?" ucap seorang Pria yang baru masuk. Ia menghampiri Mely yang masih di kuasai amarah.
"Belum puas gue."
Pria dengan stelan rapi kini tatapannya tertuju pada Lisa yang menunduk takut. Senyum iblis tercetak jelas di wajah tampannya. Kaki panjangnya semakin melangkah maju dan hal itu membuat tubuh Lisa bergetar takut.
Lisa memejamkan matanya tatkala merasakan tangan kekar memegang dagunya dengan kuat.
"Don't be afraid, I won't hurt you. Sepertinya kamu lupa sama saya?" tanyanya yang masih memegang dagu Lisa.
"A-aku ti-tidak pernah mengenalimu," jawab Lisa memejamkan matanya enggan menatap lawan bicaranya.
"Look at your interlocutor." desis sang Pria dengan mencengkram makin kuat. Lisa membuka matanya, sehingga matanya bertemu dengan bola mata sebiru laut itu.
Lisa baru ingat. Kalau dia pernah bertemu dengannya saat ia tak sengaja menabrak bahunya ketika ia berbelanja di Mall.
"Kamu udah ingat sekarang, hm?" Pria tersebut senantiasa menatap bola mata hitam itu. Perlahan ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Lisa. "I like your eyes," bisiknya tepat di wajah Lisa.
"Relax, honey. Aku tidak akan menyakitimu." Suara berat itu mengalun indah di pendengaran Lisa membuat bulu kuduknya seketika berdiri.
Lisa memejamkan matanya tak sanggup menatap lama bola sebiru laut itu. Badanya bergetar karena takut dengan sosok pria di hadapannya. Saat ini ia benar-benar takut dan berharap Rafan segera menemukannya.
"Mas, cepat datang." gumamnya dalam hati.

*****

Suara deringan handphone memecah keheningan dalam markas. Suasana yang awalnya sunyi kini terpecah oleh suara handphone milik Rafan.
"Itu handphone Gubos bunyi, loh," sahut Anza yang fokus dengan game online-nya.
"GUBOS! OH GUBOS! ADA ORANG NELPON!" teriak Anza tanpa mengalihkan tatapannya.
"Lo kira di hutan main teriak-teriak aja? Sakit telinga gue nih!" ucap Azam setelah menempeleng lengan Anza sembari mengusap telinganya yang berdenyut.
"Sakit, bege!" dengus Anza, "Gue cuman manggil Gubos doang."
"Lo manggil kayak ibu-ibu kos lagi nagih utang!" balas Azam tak mau kalah.
Tak berselang berapa menit, Rafan pun turun dari lantai atas. Ia melirik ke atas nakas dimana handphone-nya yang berdering. "Itu Gubos," ucap Anza melihat Rafan datang dari lantai atas.
Rafan langsung meraih benda pipih itu. Alisnya mengernyit heran saat nomor asing yang tertera di layar handphonenya. Kemudian ia menggeser pada tombol hijau.
Tak ada suara dari sebrang sana. Membuat Anza dan Azam yang awalnya fokus pada game-nya kini terdiam. Dua detik berlalu sampai terdengar suara perempuan merintih kesakitan.
"Jangan... Sakit ..." rintihnya kesakitan.
Anza berdiri seraya mendekat pada Rafan. Perlahan suara itu terdengar lebih jelas namun lebih menyedihkan.
Plak...
Bugh...
"Argh! Mas Rafan! Mas, sakit!" Jeritnya. Seperti benda tumpul beradu pada tubuh manusia.
Deg!
Suara itu. Suara yang Rafan kenal. "Bee!" ucap Rafan khawatir. Tangannya sudah mengepal di bawah sana.
"Halo, friend," sapanya, "gimana? Udah dengar suara merdu dari istri Lo?!" ucap orang sebrang sana dengan kekehan kecil.
Kini suara Rafan tercekik. Nafasnya memburu hebat di kala mendengar suara rintihan dari istrinya. "Don't touch my girl!" desis Rafan tajam.
"Jangan khawatir. Gue cuman sekedar bermain-main sama istri lo, nggak lebih."
Perkataan dari Pria yang di yakini adalah musuhnya, sukses membuat amarah Rafan kian mencuat. Tapi ia tahan tak mau terpancing oleh ucapannya itu. Anza dan Azam melihat raut wajah ketuanya itu pun ikut mendengarkan.
"What do you want?" tanya Rafan setelah amarahnya meredah. Tapi itu belum sepenuhnya.
"Mudah..." Menjeda ucapnya, "Cukup kematian lo yang gue mau," pungkas dari pria tersebut.
"Nggak! Jangan sakiti Mas Rafan, aku mohon." Lisa bersuara lantang dari sebrang sana.
Mendengar teriakkan sang istri. Membuat hatinya sakit. Tangannya mengepal kuat. Hatinya seakan dihantam beribu belati.
"Shuut ... I won't hurt him, don't worry, honey."
Rafan yang mendengar kata 'honey' membuat nafasnya memburu. Beraninya dia mengatakan kata yang menjijikan itu.
Rafan yakin. Bahwa yang sudah menculik Lisa merupakan rival-nya dulu. Kejadian di masa lalu karena kesalahpahaman membuat keduanya menyimpan rasa dendam terutama Pria tersebut.
"Bubos?" sahut Anza kaget.
"Beraninya mereka nyulik Bubos." Azam berujar, raut wajahnya menahan amarah.
"Lepasin bangsat!" teriak seorang wanita lagi. Namun suaranya lebih cempreng, "beraninya sama cewek alo! Dasar banci!" hardiknya.
"Eh, bentar. Kayaknya gue kenal tuh suara?" ujar Azam, memastikan.
"Argh!!" Jeritnya lagi.
Buru-buru Anza merampas handphone Rafan dari tangannya. Ia sangat yakin kalau pemilik suara tersebut adalah adeknya, Si Kila.
"Kila? Lo kan, Dek?" tanya Anza setelah berhasil merampas handphone dari tangan Rafan. Biarlah kalau dia di katakan tidak sopan yang ia pikirkan hanyalah Kila.
"Woyy! Lo apain Adek gue. Sampek Lo nyentuh seinci dari tubuhnya, gue nggak segan-segan bunuh lo!" ancam Anza tak main-main dengan ucapannya.
"Waw. Younger sister?" ucapnya terkejut, "Interesting."
"Shit! Gue nggak main-main sama ucapan gue!
Tut...
Panggilan terputus secara tiba-tiba secara sepihak.
"Arghh!!"
Murka Anza mengacak rambutnya, "Gue gagal jagain Adek gue. Hiks... Gue nggak becus jadi Abang... hiks... Arghh!!" raung Anza seraya tertunduk sedih.
Pecah sudah tangisan Anza. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri lantaran tidak bisa menjaga Kila.
Azam mendekat. "Za. Lo tenang dulu. Bukan Lo juga yang sedih, tapi Gubos juga. Kita bakalan cari cara buat nyelamati adek Lo sama Bubos." Sembari menepuk punggung Anza.
"Lo dengarkan teriakan dia?" tanya Anza, "Mereka nyiksa Adek gue! Apa kata Mami Papi. Kalau Kila di culik," ungkap Anza yang masih menangis.
"Itu semua bukan salah lo. Ini sebuah musibah yang tak bisa di tebak oleh manusia, terutama lo." kata Azam mengeluarkan kata bijaknya.
Setelah mendengar ucapan Azam. Barulah tangisan Anza perlahan mulai reda.
Tak lama dari itu. Irul dan Panji yang baru datang merasa bingung saat melihat Anza yang menangis di atas sofa.
"Kenapa ini?" tanya Irul penasaran.
"Bubos sama Kila di culik," ujar Azam pada Irul. Sontak keduanya terperangah mendengar ucapan dari Azam.
"Gimana nih Gubos?" tanya Azam menatap Rafan yang masih terdiam.
"Retas cctv semua jalan dan..." Rafan menjeda ucapnya sejenak, "Lacak GPS yang terdapat pada kalung istri saya." titah Rafan.
Panji mengangguk. Lalu pria kutu buku itu langsung bergegas menuju ruangan yang hanya anggota inti yang tahu.

Flashback on
"Bee"
"Iya Mas?" Lisa mendongak menatap Rafan. Pasutri muda itu saat ini asik berpelukan manja di atas kasur. Rafan yang tak mau melepaskan istrinya itu dari pelukannya.
"Mas ada sesuatu buat kamu," ujar Rafan tersenyum ke arah Lisa.
Lisa menatap penasaran. "Apa itu?" tanya Lisa tak sabar.
"Tapi tutup mata dulu."
Lisa menurut.
Lantas Rafan bangkit dari tidurnya dan berjalan ke arah lemari. Lalu ia kembali dengan sebuah kotak berukuran kecil di tangannya. Ia menaiki kasurnya lagi, perlahan tangannya menyusup di leher putih Lisa.
"Sekarang buka," ujar Rafan setelah memasang benda kecil dileher Lisa.
Lisa menunduk untuk melihat ke arah lehernya. "Kalung? Mas ngasih Lisa kalung?" tanya lisa menatap Rafan dengan mata berbinar.
Rafan mengangguk. "Kamu suka."
"Suka banget, Mas." Lisa memeluk tubuh Rafan dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Rafan.
"Kamu pakek kalungnya ya, Bee. Jaga dia seperti kamu menjaga cinta kita."
Lisa mengangguk dalam pelukannya.
Flashback off

Anggota inti menatap lurus ke arah layar monitor setelah Panji berhasil meretas cctv yang tak jauh dari kawasan pesantren. Sangat mudah baginya untuk mendapatkan rekaman cctv itu.
Mata melihat dari awal Lisa bersama Kila yang keluar dan hal yang membuat mereka makin penasaran saat keduanya menuju ke apotek.
"Bubos ngapain ke apotek? Padahal di dalam pondok juga tersedia UKS." Sahut Azam penasaran.
Ketika Panji mengaktifkan rekaman cctv dalam apotek. Semua semakin penasaran dibuatnya. "Suaranya di gedein, Ji." Anza berujar. Tanpa menunggu lama mereka akhirnya bisa mendengar suara dengan jelas.
"Selamat siang, Mbak." Sapa salah satu penjaga disana.
"Siang Mbak," jawab Lisa.
"Mau beli apa?"
"Hm... Saya mau beli test pack , Mbak," jawab Lisa sedikit gugup.
"Buat apa Bubos beli test pack?" ucap Azam saat mendengar perbincangan Lisa di dalam rekaman tersebut.
"Jangan bilang..." sahut Anza menggantung ucapnya "Bubos lagi hamil Rafan junior," tebak Anza.
"Apa benar kamu hamil, Bee?" batin Rafan, senang.
Sekarang mereka fokus pada layar monitor sampai ketika Lisa dan Kila di hadang tiga orang yang berpakaian serba hitam. Sayang sekali wajah ketiganya tak bisa dikenali lantaran mereka memakai penutup.
Sampai ketika mereka menyerang keduanya terutama pada Kila.
"Bangsat!" murka Anza ketika melihat dengan jelas saat Kila di lumpuhkan dengan obat bius sehingga pingsan tak sadarkan diri. "Beraninya mereka!" Marah Anza mengepalkan tangannya.
Tak lama setelah itu. Lisa juga pingsan akibat di bius. Rafan menggeram saat melihat sang istri dibawa paksa kedalam mobil.
Shiit!
Mereka berani mengusik milik Rafan. Mereka telah membangunkan sisi iblis dari diri seorang Rafan yang telah terkubur sejak lama. Tapi kini dengan beraninya mereka membangunkan iblis tersebut dari sangkarnya.
Maka bersiaplah mereka akan menerima konsekuensinya atas apa mereka perbuat.
Siapa yang mengusik miliknya? Maka mati!
Atmosfer di dalam ruangan tersebut terlihat berbeda dari sebelumnya.
Anza menoleh. "Kapan kita bergerak, Gubos?"
Rafan menoleh pada Anza dan yang lainnya. "Malam ini siapkan semua peralatan dan kumpulkan seluruh anggota untuk menyerang. Kita akhiri ini semua!" titah Rafan, segera.
Tatapannya kembali pada monitor.
"Let's end all of this!" desisnya tajam.

PESONA GUS  ( SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang