"ARGHHH!!"
Suara jeritan menggema di seluruh penjuru ruangan dari seorang pria yang terbaring di atas ranjang. Sembari menahan rasa sakit yang begitu dahsyat membuatnya menjerit kesakitan.
"ARGHHH!! Sakit Pak! Pelan-pelan," jeritnya tak tertahan. Rasa ngilu bercampur geli membuat pria itu semakin menjerit seperti cacing kepanasan.
Orang yang juga berada di ruangan tersebut ikut serta menyaksikan prosesi pemijatan yang dilakukan oleh Damar. Walaupun Damar seorang Satpam di pesantren, ia juga mempunyai bakat terpendam yaitu tukang pijat. Di balik kaos yang ia gunakan sebagai penutup badannya itu, Pak Damar dengan ahlinya memijat punggung Anza.
"Kok bisa loh kayak gini?" tanya Pak Damar di sela-sela pijatannya.
"Habis ketiban gajah duduk Pak, argh!" jawab Anza.
Kila mendengar itu seketika melotot tak percaya atas apa yang barusan ia dengar.
"Enak aja ngatain gue gajah duduk. Lo tuh yang gak kuat nahan badan gue! Mangkanya jangan sok-sok an mau nangkep gue," balas Kila tak terima. Ia menghampiri sang Abang yang mengadu kesakitan.
"Argh! Sakit Dek," adu Anza setelah mendapatkan tabokan dari sang Adek.
"Ella, gitu doang sakit!" ejek Kila menatap remeh pada Anza.
Anza menatap Kila yang berada disampingnya itu, "dasar adek gak tahu rugi. Udah gue tolongin, gak bilang terima kasih, banyak bacot lagi. Sakit tahu!" cetusnya menahan sakit.
Di ujung sana, para sahabat-sahabat Anza dan Kila hanya menatap perdebatan diantara dua bersaudara beda kelamin itu dengan tatapan malas kecuali Rafan dan Panji. Sedangkan sih Azam perlahan mulai mendekat kearah Kila dengan iming-iming khawatir sama Anza.
"Ekhem." Azam berderkham menghilangkan rasa gugupnya.
Kila pun menoleh kesamping begitu juga Anza menatap ke arah sang pelaku dengan tatapan curiga.
"Dek Kila nggak papa kan? Atau ada yang sakit? Atau ada yang luka?" tanya Azam terdengar perhatian.
Alis Kila mengernyit bingung atas pertanyaan beruntun yang ia terima dari sosok laki-laki di sampingnya itu.
"Aman kok, cuman Abang gue nih yang gak aman," jawab Kila menunjuk pada Anza.
"Seharusnya gue yang di tanyain kayak gitu, bukannya si Kila," sahut Anza.
"Gue kan cuman khawatir aja sama keadaan Adek lo, Za. Soalnya dia itu perempuan," imbuhnya.
"Bilang aja Lo mau modus," batin Anza kesel.
"Bee," panggil Rafan pada sang istri.
Lisa mendongak,"Iya mas?" tanya Lisa.
"Mau pulang?"
Lisa menggeleng. "Entar aja," jawab Lisa tak mau pulang.
"Yaudah, kamu duduk disana kasian dedek bayinya," titah Rafan sambil membawa Lisa menuju kursi yang telah tersedia di sana.
Dengan perlahan Lisa duduk pada salah satu kursi di sana. Setelah duduk, Rafan berjongkok menghadap ke arah perut buncit Lisa sembari mengelus lembut pada perutnya.
Sedangkan kaum jomblo yang melihat keromantisan dari sejoli itu hanya menatap iri, "Gubos gak kasian apa sama kita?" celetuk Azam tiba-tiba.
Irul memutar bola matanya malas
"Mulai dah," gumam Irul, jengah.
"Sosweet...." ucap Uswah yang tak sadar memegang lengan Sa'adah membuat sang empu menatapnya malas.
"Ck, apa-apaan sih? Lepas gak?" titah Sa'adah sembari melepaskan tangan Uswah yang memeluk lengannya.
Irul menoleh ke arah tiga sahabat Lisa yang tak jauh darinya. Tapi ia hanya melihat ke arah Sa'adah yang berada samping Uswah.
"Liat tuh si Lisa sama Gus Rafan romantis banget ...." kata Uswah lagi. Ia tetap tidak melepaskan pelukannya dan bahkan ia juga memberi pukulan keras pada lengan Sa'adah.
"Baper ya baper aja, jangan lengan gue yang jadi sasarannya," dengus Sa'adah jengah.
Tak lama dari itu, Pak Damar telah selesai memijat punggung Anza.
"Alhamdulillah selesai juga walau butuh perjuangan ekstra," ucap Pak Damar seraya mengelap keringat yang bertengger di dahinya.
Anza bangkit dari ranjang.
"Dek bantuin Abang," ucap Anza.
Kila menurut. Dengan sangat hati-hati Kila membantu Anza untuk duduk.
"Gimana, masih sakit?" tanya Pak Damar.
Anza memutar badanya seperti mengetes apakah punggungnya sudah membaik, "Wah Pak Damar keren. Punggung saya gak sakit lagi," seru Anza berdiri.
"Syukur lah kalau begitu."
"Makasih banyak Pak Damar, berkat Bapak punggung saya gak sakit lagi." Anza memegangi kedua tangan Pak Damar.
"Iya sama-sama, lain kali jangan manjat-manjat pohon lagi. Nanti encok lagi punggungnya," tutur Pak Damar memberi nasehat.
Anza mengangguk, "saya gak manjat pak tadi saya cuman mau bantuin adek saya yang gak bisa turun dari atas pohon aja," papar Anza.
"Emangnya Adek kamu yang mana?"
"Ini samping saya," jawab Anza seraya menunjuk pada Kila.
Pak Damar melihat ke arah kila yang berada samping Anza, "Oh ini toh Adek kamu," kata Pak Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kila tersenyum simpul.
"Bapak baru ingat, kamu waktu itu yang izin sama saya untuk keluar pergi ke apotek bareng ning Lisa?" tebak Pak Damar, mulai ingat.
"Iya pak itu saya, kenalin saya Syafikilla santriwati paling cantik di pesantren," ujar Kila dengan pede nya.
"Mulai kumat dah." Sa'adah memutar bola matanya malas.
"Emang beda Adek gue," batin Anza.
*****
Meninggalkan kejadian tadi. Mereka semua berkumpul di rumah ndalem tapi hanya para laki-laki. Sedangkan Lisa dkk memilih pulang ke asrama karena waktu pulang sudah tiba jadi mereka memilih untuk pulang ke asrama kecuali Lisa yang pulang ke ndalem.
Tibanya di dalam kamar. Lisa memilih membersihkan diri karena tubuhnya yang mulai lengket akibat keringat bercucuran deras sampai keseluruhan tubuhnya.
Di dalam kamar mandi, Lisa telah selesai dengan ritual mandinya. Saat hendak keluar, tiba-tiba ia merasakan sakit di bagian perutnya. Pertama kali ia merasakan rasa begitu dahsyat sehingga butiran air merembes keluar dari matanya.
"Argh..." ringisnya kesakitan sembari memegangi perutnya.
"Mas," panggilnya dengan suara bergetar.
"Siapa pun tolong...." Kembali Lisa bersuara dan berusaha berjalan namun ia tak sanggup.
Entah perasaan apa yang di rasakan oleh Rafan membuat dirinya bergegas menuju ke kamarnya. Saat berada di sana ia tak mendapati Lisa, namun ia mendengar suara samar-samar orang yang sedang merintih kesakitan dan asal suara itu berasal dari kamar mandi. Lalu ia berjalan cepat menuju kamar mandi.
Tok ...
Tok ...
"Bee, kamu di dalam?"
Lisa mendongak saat mendengar suara Rafan yang memanggil dirinya.
"Mas Rafan, tolongin Lisa," ucap Lisa dari dalam kamar mandi dengan nada kesakitan.
"Kamu kenapa, Bee?" tanya Rafan terdengar khawatir.
"Perut aku sakit..." adunya tak tertahan.
"Astagfirullah, Sayang bertahan, Mas bakalan masuk." Namun naas pintu terkunci dari dalam sehingga membuat Rafan kalang kabut.
"Pintunya terkunci, Bee. Mas gak bisa masuk."
Lisa berusaha keras meraih kenop pintu namun usahanya sia-sia. Ia tak cukup mempunyai tenaga bahkan sekedar bergerak pun ia tak sanggup.
"Mas sakit banget..." Dengan suara yang bergetar hebat, membuat Rafan bertambah khawatir.
"Mas coba dobrak pintunya, kamu sedikit menjauh dari sana," perintah Rafan yang mulai berancang-ancang untuk mendobrak pintu.
Satu percobaan tidak berhasil. Dua percobaan juga belum berhasil. Rafan menarik nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan tenaganya.
Dan dalam percobaan ketiga akhirnya Rafan berhasil mendobrak pintu kamar mandi tersebut.
Seketika ia terkejut dengan keadaan sang istri di tambah lagi wajahnya yang pucat fasih.
"Bee, kamu gak papa?" Rafan langsung menghampiri Lisa.
Lisa mendongak, "Mas perut aku sakit ..." ujarnya.
Grep!
Rafan langsung menggendong tubuh Lisa dan membawanya keluar. Kemudian ia meletakkan tubuh Lisa di atas ranjang dengan sangat hati-hati.
"Perut aku sakit Mas. Sakit banget," adu Lisa lagi yang masih memegang tangan Rafan kuat.
"Tahan Bee, Mas ke bawah mau panggil Ummi sebentar," ucap Rafan beranjak. Sebelum itu ia menyelimuti tubuh Lisa dengan selimut karena Lisa hanya menggunakan handuk sebatas lutut. Ia tak mau ada orang lain yang melihat tubuhnya kecuali dirinya.
Dengan jalan tergesa-gesa menuju lantai bawah, sehingga membuat para sahabatnya yang masih di sana melihat ke arahnya dengan rasa penasaran apalagi raut panik terpatri di wajahnya.
"Gubos kenapa tuh, kok kayak panik banget?" tanya Azam bangkit dari duduknya.
"Wajahnya kayak panik gitu loh?" sahut Anza yang juga penasaran.
Sesampainya di depan kamar sang ummi, Rafan langsung mengetok pintu kamarnya.
Tok...
Tok...
"Ummi Ummi!" panggil Rafan tak sabaran.
Ceklek!
"Iya bang ada apa?" tanya Ummi setelah membuka pintu.
"Lisa perutnya mendadak sakit," jawab Rafan, cemas.
"Kamu tenang dulu Bang. Sekarang kita ke kamar kamu," ajak Ummi yang langsung menuju ke kamar Rafan.
Ummi Safitri tiba di dalam kamar Rafan. Ia menghampiri sang mantu yang sedang menahan rasa sakit pada perutnya.
"Kamu tenang ya Sayang, tarik nafas, buang," ujar ummi yang di ikuti Lisa.
"Istri Afan mau lahiran, Ummi?" celetuk Rafan tiba-tiba.
Ummi berbalik, "Ya enggak lah Bang. Ya kali mau lahiran, kan baru empat bulan masa udah mau brojol aja?" terangnya sembari menggeleng-gelengkan kepala atas pertanyaan yang di lontarkan dari sang putra sulungnya.
"Ini biasa bagi ibu hamil. Gejalanya kadang asam lambung atau dedek bayinya nendang-nendang dalam perut," kata Ummi pada Rafan.
"Ummi sakit banget..." adu Lisa lagi.
"Sebentar lagi ini akan membaik kok Sayang." Ummi duduk samping kasur sembari membantu mengelus perut Lisa agar mengurangi rasa sakit pada perutnya.
Satu menit dua menit. Akhirnya rasa sakit di perutnya perlahan kian membaik. Benar kata Ummi, ini hal biasa pada Ibu hamil.
"Gimana Sayang perutnya gak sakit lagi?"
Lisa mengangguk, "Alhamdulillah perut Lisa gak sakit lagi, Ummi." Lisa berucap seraya tersenyum pada Ummi.
"Alhamdulillah, sekarang kamu istirahat yang banyak jangan sampai kecapean," ucap Ummi.
"Iya Ummi," balas Lisa, tersenyum.
"Yasudah, Ummi mau turun dulu nanti kalau ada apa-apa lagi panggil Ummi lagi. Ummi ada di bawah," kembali ummi berucap.
"Iya ummi. Maafin Lisa udah buat ummi cemas," cicit Lisa, tak enak hati.
"Jangan ngomong kayak gitu, Sayang. Kamu udah Ummi anggap Anak kandung Ummi sendiri. Apalagi di dalam sini ada cucu Ummi," seraya menyentuh perut buncit Lisa.
"Sehat-sehat cucu Eyang," ucap Ummi Safitri pada calon cucunya.
Hal itu membuat hati Lisa menghangat. Ia sangat beruntung mendapatkan mertua sebaik ummi Safitri. Memperlakukan dirinya layaknya putri kandungnya sendiri.
Semoga kita seberuntung Lisa, ya.
Kemudian Ummi Safitri pun keluar dari sana.
*****
Malam hari.
Di dalam kamar ada si bumil uring-uringan tak jelas di atas kasur. Wajahnya kesel lantaran Rafan meninggalnya seorang diri karena Rafan berada dalam ruang kerjanya.
"Ah bosen!" desah Lisa mulai bete. Ia mengetuk-ngetuk dagunya seraya berfikir agar bisa keluar dari zona yang sangat membosankan ini.
Seper kian detik satu ide muncul di otak kecilnya itu. Ia buru-buru meraih jilbab instan dan bergegas keluar, tujuannya sekarang adalah ruangan Rafan sang suami tercinta. Atensi Rafan teralihkan oleh suara pintu terbuka yang dimana menampakkan wanita cantik dengan stelan baju tidur berwarna putih dan tak lupa pipi gembul yang selalu ingin ia gigit setiap saat.
"Belum tidur?"
Lisa menggeleng lucu dengan pipi di buat kembung.
Rafan terkekeh gemes melihat bagaimana bisa wanitanya sangat menggemaskan sampai ia berfikir ingin selalu memakannya.
"Kenapa belum?" kembali Rafan bertanya.
"Belum ngantuk," jawab Lisa tepat berada di samping Rafan.
"Mau di peluk?" Ia tahu kalau istri kecilnya itu sekarang tidak bisa tidur kalau tidak ia peluk.
Lisa kembali menggeleng.
Alis Rafan bertautan, "Terus?"
Lisa menampilkan senyum lebar pada Rafan dan tanpa di duga ia duduk di atas pangkuan Rafan.
Lagi-lagi Rafan di buat kaget atas tindakannya, "Bee," ucap Rafan masih syok.
"Pengen ke pasar malam," kata Lisa sembari membuat pola abstrak di dada Rafan.
Rafan melihat jam digital terpasang di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pada angka 10 malam. Emang ada pasar malam di jam segini? Pikir Rafan.
"Jangan pasar malam, pasar siang aja ya?" tawar Rafan yang mendapatkan gelengan kuat dari Lisa.
"Gak mau pasar siang maunya pasar malam," rengeknya.
"Ini udah malam, Bee. Kamu gak kasian sama dedek bayinya kalau di bawa jalan malam-malam. Besok aja ya kita ke pasar siang, gimana?" bujuk Rafan sembari mengelus kepala Lisa.
"Ini permintaan dedek bayinya, mas. Dia pengen banget pergi ke pasar malam," ungkap Lisa menunjuk pada perutnya.
Lagi-lagi Lisa beralasan bayinya. Kalau sudah begitu Rafan tak bisa menolak permintaan dari sang bumil. Jika menyangkut sang anak maka Rafan tak bisa berkata-kata lagi.
Ada aja alasan sih bumil, batin Rafan tak habis pikir.
Rafan menunduk, "Permintaan bayi kecil atau bayi besar yang pengen ke pasar malam?" tanya Rafan.
"Dua-duanya, hehehe..." jawab Lisa cengengesan.
"Tapi sebentar ya gak boleh lama-lama," ujarnya.
"Yeayy... ke pasar malam!" teriak Lisa antusias seraya memeluk leher Rafan.
******
Pasar malam yang sangat di padati para manusia baik kalangan remaja maupun orang tua. Ada yang bersama pasangan dan ada yang pergi seorang diri. Seperti sekarang ini, sepasang suami istri itu tengah asik menikmati jajanan yang barusan di beli.
"Kamu senang?" tanya Rafan pada Lisa yang asik mengunyah sosis bakar.
Lisa mengangguk seraya menatap kearah Rafan, "mas mau?" ucap Lisa, dimana mulutnya terdapat sosis dan tangannya memegang sosis utuh untuk ia berikan pada Rafan.
"Mau," jawab Rafan langsung memakan sosis tersebut. Bukan sosis yang berada di tangan Lisa yang ia makan melainkan yang berada di mulut wanita itu.
Sontak membuat para inti Grexda yang berada di sana tercengang dan syok akibat melihat adegan 15+ di depan mata mereka.
"Gelap anying," kesel Anza menutup mata batinnya.
"Gue nyesel ikut kemari," celetuk Irul.
Sedangkan Panji hanya menatap datar tanpa ekspresi seraya memakan pop corn di tangannya tanpa memperdulikan adegan di depannya.
"Lama lama gue hancurin juga nih bumi," ucap Azam.
Sebelum berangkat ke pasar malam. Rafan terlebih dahulu menghubungi para sahabatnya untuk ikut atau lebih tepatnya melindungi sang istri dari para musuhnya. Rafan tak mau terjadi sesuatu yang menyangkut keselamatan sang istri dan anaknya itu.
"Enak," kata Rafan menjauhkan tubuhnya dari Lisa. Mata Lisa mengerjap berkali-kali akibat ia syok dengan apa yang barusan terjadi.
"Bucin ya bucin tapi jangan di sini juga kali!" Anza dan Azam meneriaki mereka berdua.
Lisa cepat-cepat menutup wajahnya lantaran malu terhadap sahabat Rafan. "Mas malu tahu," cicit Lisa masih menutup wajahnya.
Rafan mendekat dan menyingkirkan sosis dari wajah Lisa.
"Ngapain malu, mereka aja yang jomblo." Rafan berujar, sedikit menyindir.
Mereka pun berjalan sembari Rafan memegang tangan Lisa begitu erat. Ia tak mau kalau istri kecilnya itu.
"Mas beli itu," pinta Lisa menunjuk ke arah penjual Arum manis.
Rafan berjalan ke arah Abang penjual Arum manis. "Pak Arum manisnya satu," ucap Rafan.
"Oh iya, Den," sembari mengambil satu Arum manis dan diberikan pada Rafan.
"Berapa Pak?"
"Dua puluh ribu aja, Den," jawabnya.
Rafan mengambil uang berwarna biru pada penjual tersebut.
"Kembaliannya ambil Bapak aja," ujar Rafan.
"Masya Allah, terimakasih banyak Den."
"Sama-sama Pak," balas Rafan dan membawa Lisa pergi dari sana.
Rafan mendudukkan Lisa di salah satu kursi disana.
"Kamu diam disini ya, Bee. Mas mau beli air mineral," pinta Rafan memberikan Arum manis yang tadi beli pada Lisa.
"Oke" jawab Lisa mendongak ke atas dengan senyum manisnya.
Sebelum itu Rafan berbalik kebelakang dimana para sahabatnya yang asik makan jajanan.
"Kalian jaga istri saya." Perintah Rafan yang di anggukin para inti Grexda.
Mereka pun menoleh, "Siap Gubos! Tenang, Bubos bakalan aman sama kita," kata Azam dan Anza.
Beberapa menit berlalu. Rafan datang dengan satu botol air mineral di tangannya. Saat tiba di sana ia tak melihat keberadaan Lisa.
"Bee," panggil Rafan celingak-celinguk mencari sang istri. Lantas ia melihat kearah sahabatnya.
"Istri saya mana?" tanya Rafan mendekat kearah mereka.
"Oh Bubos. Itu ada disan.... Ha! Mana Bubos?" kaget Anza setelah melihat kursi yang sudah kosong tanpa ada orang disana.
Mereka pun juga ikut bangkit dan menoleh kearah kursi Lisa.
"Perasaan tadi ada disini," ucap Anza lagi, mulai panik.
"Cari istri saya sekarang juga!" perintah Rafan, panik.
Anza, Azam, Irul dan Panji berpencar untuk mencari keberadaan Lisa. Mereka panik sangat panik saat ini.
"Bee kamu dimana?"
Dilain tempat.
Lisa tengah asik memancing ikan-ikan kecil yang berada di kolam. Ia sangat menikmatinya tanpa sadar kalau semua panik mencari dirinya.
"Woh ikannya banyak," seru Lisa senang.
Disampingnya juga terdapat seorang wanita bercadar yang juga ikut memancing seperti dirinya.
"Heh ikan, ngapain lo ke situ?" ucap si gadis bercadar.
Lisa menoleh.
"Yah ikannya pada kabur," cicitnya, sedih.
"Lisa bantuin mancing, ya?" sahut Lisa membuat wanita itu pun menoleh.
"Boleh," katanya, tersenyum di balik cadarnya.
Hanya memancing ikan kecil saja membuat kedua wanita itu tertawa lepas sampai orang-orang yang ada disana menatap kearah mereka berdua.
"Itu itu ikannya," tunjuk wanita bercadar.
Lisa melempar joran kedalam kolam dan tanpa butuh lama. Ikan pun memakan joran milik Lisa.
"Wah wah ikannya makan punya Lisa," pekik Lisa, senang.
Semua disana menatap cengong pada dua wanita tersebut.
Masa kecil kurang bahagia. Pikir mereka.
Dari arah belakang, Rafan melihat punggung yang sangat ia kenal siapa lagi kalau bukan Lisa.
Rafan bernafas lega. Ia menghampiri Lisa yang asik dengan permainannya.
"Dasar bocil," ucap Rafan menggeleng kan kepalanya.
Disaat bersamaan, seorang laki-laki baru tiba tempat dimana wanita yang ia cari.
"Gue cari kemana-mana ternyata ada disini," kata pemuda tersebut tepat berada di samping Rafan.
Saking asiknya tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Dua wanita tersebut tetap melanjutkan memancing dengan gembiranya.
"Bee," panggil Rafan.
"Sayang," panggil pria disamping Rafan.
Dua wanita tersebut lantas menoleh ke belakang.
"Mas Rafan?"
"Kak Kevin?"
Dengan langkah bersamaan kedua pria tersebut mendatangi wanitanya masing-masing.
"Mas nyariin kamu, Bee. Kamu darimana tadi?" ungkap Rafan pada Lisa.
"Lisa lagi mancing, habisnya mas lama sih kan aku bosen. Yaudah aku pergi aja dari sana," terang Lisa.
"Lain kali jangan kayak gini lagi, ya? Jangan bikin Mas khawatir," ujar Rafan seraya menggandeng tangan Lisa.
"Sayang... Aku nyariin kamu, ternyata ada disini," kata Kevin pada sang istri.
"Heheh... maaf ya kak, lagian kak Kevin lama banget perginya. Aisyah kan bete jadinya," ucapnya mencebikkan bibirnya walau tak terlihat oleh cadarnya.
"Iya iya maafin kak Kevin. Janji deh gak kayak gitu lagi," seraya mengelus wajah Aisyah dengan lembut.
"Ayo Bee kita pulang," ajak Rafan.
"Tapi belum selesai mancingnya," tolak Lisa sedikit merengek.
"Mau membantah sama suami, hm?"
Lisa menggeleng tak mau.
"Pinter," ucap Rafan memegang pipi cabi Lisa.
Sebelum itu Lisa berpamitan pada wanita yang baru ia kenal.
"Nama kakak siapa?" Sebelum pulang Lisa menyempatkan berkenalan terlebih dahulu.
"Nama saya Aisyah Clarabel Azkadina," jawabnya sembari tersenyum hangat pada Lisa.
"Masya Allah, namanya cantik seperti orangnya," puji Lisa, "Oh iya nama aku Khalisa Salsabila." Tambah Lisa.
"Salam kenal Lisa."
"Salam kenal juga kak Aisyah."
Tak sengaja tatapan Aisyah tertuju pada perut Lisa yang sedikit membuncit. Lisa melihat kemana arah pandang Aisyah dan ia juga menunduk ke arah perutnya.
"Di dalam perut Lisa ada dedek bayinya," kata Lisa seraya mengelus perutnya.
"Dedek bayi," beo Aisyah.
Melihat dua wanita yang asik bercengkrama sehingga melupakan ada seseorang yang menunggu mereka.
"Ekhem!" Rafan dan Kevin berderkham bersamaan.
Lisa, Aisyah pun menoleh ke arah sumber suara tersebut.
"Lisa pamit ya kak Aisyah, Assalamualaikum." Salam Lisa kemudian berlalu.
"Waalaikumsalam," jawab Aisyah dan Kevin.
Melihat kepergian Lisa, ada gelenyar aneh dalam diri Aisyah. Entah perasaan apa? Sehingga membuat hatinya begitu sedih tak tertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA GUS ( SUDAH TERBIT)
Teen FictionSebagian part telah dihapus demi kepentingan penerbit ❌ . . . . . Ini kisah Khalisa Salsabila yang terpesona dengan ke tampanan seorang Gus tempat dimana dia menimba ilmu .entah perasaan apa? Yang selama ini dia rasakan ? Rasa kagum? Atau rasa cinta...