24. Membujuk Azkia

304 9 0
                                    

Cukup lama berada di luar hanya memandang deburan ombak yang saling berkejaran, meski dari jarak yang cukup jauh, namun sudah bisa mengurangi rasa sesak di dadanya.
"Apa kau tidak lapar, ayo cepat masuk," suara Erwin membuyarkan lamunannya, tanpa ada kata karena dia juga merasa lelah, dengan patuh Azkia mengikuti langkah Erwin.
Para penjaga dengan hormat menundukkan kepalanya ketika mereka berdua melangkahkan kaki melewati mereka yang sedang berbaris rapi di depan pintu yang bercat putih itu.
Azkia semakin dibuat terpukau dengan dekorasi di dalam rumah yang semuanya bercat putih itu, segala impian masa kecilnya tentang rumah yang ingin ditinggalinya ketika dewasa, sekarang bisa nyata di pandang dengan leluasa oleh matanya.
Dengan curiga Azkia memandang penuh selidik orang yang sekarang berada di sampingnya itu.
tidak ingin berpikir aneh-aneh dengan segera Azkia mengungkapkan rasa penasarannya.
"Apakah villa ini milik Deffin?"
Dia mengira bahwa Deffin pemilik villa ini karena apa yang diinginkannya, Deffin yang selalu mewujudkannya.
"Enak saja, ini milikku," sahut Erwin tidak terima.
Azkia hanya memandang tidak percaya apa yang diucapkan Erwin.
"Mana mungkin ada pelayan yang memiliki villa semegah ini dan semuanya sesuai rumah impian masa kecilku," batin Azkia, sedangkan Erwin yang mendapat pandangan seperti itu berdecak kesal.
"Kau tidak percaya, ini memang villa pribadi milikku, tidak ada orang yang tahu tempat ini meskipun Sekretaris Roy dan tuan Deffin," ucapnya dengan kesal, karena masih melihat keraguan di wajah Azkia.
"Semua orang di sini juga orang-orang kepercayaanku, jika ini milik tuan Deffin, sudah dari satu jam tadi dia menyusul datang kesini."
Erwin berbicara masih dengan memandang lekat Azkia.
"Karena semua orang di sini jika ingin berhenti bekerja padaku harus keluar dari negara ini jika tidak ingin mati di tanganku. Maka dari itu tidak ada yang tahu tempat ini, karena aku tidak rela ada orang lain lagi yang ikut menikmati semua yang ada di sini. Biarkan aku hidup dengan segala impian masa kecilmu sebagai pengganti aku tidak bisa memiliki raga dan hatimu," ucapErwin dalam hati.
Azkia hanya menaikkan bahunya mendengar perkataan Erwin, mana mungkin Deffin orang yang berkuasa di negeri ini tidak tahu tempat ini, dan mungkin karena tempat ini terlalu jauh, butuh hampir empat jam menempuh perjalanan dari kota ke tempat ini, jadi Deffin pasti malas datang kesini.
Setelah makan Erwin mengantar Azkia ke kamar yang akan ditempati Azkia.
Mereka berdua telah sampai di depan kamar, setelah Erwin membukakan pintu dan mengucapkan selamat istirahat untuk Azkia, dia menutup pelan pintu itu, dan berjalan menuju kamarnya sendiri yang berjarak satu kamar.
"Kau pasti masih tidak percaya jika memang tidak ada yang tahu tentang tempat ini, dan tuan muda sekarang pasti sedang frustasi karena malam ini tidak tidur denganmu. salahmu sendiri tuan muda punya ide konyol dan bodoh, dari dulu memang tidak ada yang pernah berubah," gumam hati Erwin sebelum terlelap.
Sedangkan Azkia yang ada di kamarnya sedang memikirkan sesuatu yang ada di ingatannya.
"Dulu perasaan hanya ada satu orang yang tahu tentang rumah impianku pada waktu aku kecil, tapi siapa dia, aku sama sekali tidak bisa mengingatnya, dan kenapa aku tidak merasa asing dengan Erwin, tapi jantungku tidak bisa berdebar kencang seperti pada saat aku bersama Deffin, jika memang Erwin orang yang aku cari seharusnya... ah sudahlah gara-gara kejadian tadi pikiranku jadi kacau, lebih baik aku tidur sekarang."
****************
Sedangkan di tempat lain Deffin sedari tadi tidak bisa tidur, dia hanya membolak balikkan tubuhnya. sudah puluhan panggilan yang tidak dijawab Azkia membuatnya semakin frustasi.
Memang benar dugaan Erwin jika Deffin tahu tempat itu mungkin dia sudah langsung datang kesana. Tadi setelah dia baru sampai dia hanya mandi dan langsung menyuruh Sekretaris Roy mengantarnya ke rumah Erwin yang lebih tepatnya rumah penyiksaan untuk para pengganggu Deffin.
Namun nihil dua orang yang dia cari tidak ada di sana, bahkan Deffin sudah mendatangi apartemen dan segala tempat yang biasanya di datangi Erwin namun hasilnya tetap sama.
Ponsel milik Erwin yang mati semakin membuat Deffin gusar, dan sekarang sudah hidup namun sudah lebih dari 10 panggilan tidak ada yang terjawab.
"Awas kau ini terakhir kalinya jika tidak kauangkat, akan kubuat kau benar-benar jauh dari Azkia," ucap Deffin geram.
Seperti terhubung lewat telepati, panggilan terakhir dari Deffin diangkat oleh Erwin.
Dan kurang ajarnya pelayannya itu terkekeh sebagai ganti ucapan salamnya.
"Kau ingin mati." Tanggapan Deffin mendengar kekehan dari Erwin.
"Jangan berteriak Tuan muda, Anda bisa membangunkan nona," jawaban Erwin disertai senyum jahil. Dia sama sekali tidak takut mendengar ancaman Deffin, malah semakin menjahili tuan muda yang sedang gusar itu.
"Apa kau bilang, apakah Azkia tidur di sampingmu !!!" Deffin yang terpancing semakin ingin memutahkan lava kemarahannya.
"Lha lantas nona akan tidur dengan siapa?"
Sepertinya Erwin memang sudah bosan hidup, hingga dia malah berkata seperti itu.
"Dimana kau sekarang, cepat jawab!!!"
teriakan kencang yang membuat Erwin menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Pelankan suara Anda Tuan muda, atau nona akan benar-benar bangun dan datang ke kamar saya, dan sekarang kami berada di tempat rahasia milik saya." Erwin langsung menjawab jujur karena tidak ingin telinganya berdengung untuk kedua kalinya.
"Kau tetap kurang ajar sama seperti dulu, jika Azkia ada di sisimu tingkat kekurangajaranmu semakin berlipat," ucapnya sinis. "Kau sepertinya ingin beneran kubuat menjauh dari Azkia untuk selamanya," ancaman Deffin terdengar serius di pendengaran Erwin.
"Jangan! ampun Tuan, maafkan saya," ucap Erwin serius. Dari dulu entah mengapa ancaman dijauhkan dari Azkia adalah kelemahannya.
"Baik aku ampuni kau jika kau beritahu keberadaan kalian sekarang." K**arena aku tidak akan bisa tidur tanpa memeluk Azkia. lanjutnya dalam hati.
"Maaf Tuan muda sesuai permintaan nona saya tidak akan membiarkan Anda menemui nona jika suasana hati nona belum membaik, jika saya melanggar, nona akan berbuat nekat."
"Kau belum membujuk Azkia."
"Bagaimana saya membujuk, jika nona malas mendengar nama Anda ketika di sebut."
"Huh, baiklah. tapi besok kausudah harus membawa Azkia pulang."
"Baik tuan muda."
Lalu pembicaraan mereka berakhir.
Sesuai janjinya pada tuanmuda nya, esoknya ketika selesai sarapan Erwin membujuk Azkia di tepi pantai. Azkia bersikeras tidak ingin pulang, namun setelah mendengar perkataan Erwin dia merubah pikirannya.
"Apa kau ingin aku mati di tangan tuan muda sekarang, baik jika ini sebagai tanda terima kasihmu,"
ucapan Erwin membuat Azkia mengerucutkan bibirnya,
"Baik aku akan pulang, tapi nanti sore aja, aku ingin main air di laut sekarang, percuma dong aku ada disini mengabaikan pantai yang indah ini," ucapnya sambil membentangkan tangan di hadapan laut yang lepas.
"Baik, semua keinginan tuan putri akan saya turuti," ucap Erwin dengan senyum misterius.

Tuan Muda Posesif Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang