Bab 1

15.2K 364 7
                                    

Suasana tegang sedang di alami oleh seorang gadis. Berdiri dengan cemas di depan Unit Gawat Darurat di sebuah rumah sakit.

Dia sedang menunggu seorang dokter keluar dari Unit Gawat Darurat. Berharap sang dokter menyampaikan kabar baik yang ingin dia dengar.

Beberapa saat kemudian sang dokter keluar dari IGD dengan raut wajah serius.

"Keluarga pasien?" tanya sang dokter sambil menatap ke arah Syahbana dengan raut wajah serius.

"Iya, saya anaknya dok" kata Syahbana dengan nada suara cemas.

“Kondisi Ibu anda cukup mengkhawatirkan. Dengan batu ginjal yang cukup besar, dan dari segi ukuran dapat di simpulkan bahwa sudah cukup lama batu ginjal itu tersangkut. Akibat lamanya waktu itu, bukan hanya batu ginjal biasa yang di alami oleh pasien, ia mengalami infeksi ginjal, tapi tidak terlalu parah. Tapi saya sarankan untuk sesegera mungkin untuk melakukan pengangkatan batu ginjal, semakin lama di diamkan makan kemungkinan-kemungkinan buruk yang lainnya bisa terjadi. Bahkan kematian bisa menghampiri Ibu anda” jelas sang dokter dengan nada suara serius.

"Operasi batu ginjal?" gumam Syahbana dengan nada suara pelan.

"Biayanya untuk operasi berapa dok?" tanya Syahbana dengan tangan saling meremas, untuk menyalurkan kegugupannya.

"Sekitar 20-30 juta, tergantung seberapa susah operasi yang akan di jalani. Jika anda ingin tahu rincian biaya secara jelas silahkan bertanya ke meja resepsionis. Saya permisi" terang sang dokter dan berjalan pergi meninggalkan Syahbana sendirian.

Syahbana masih berdiri di tempat dengan raut wajah bingung.

"20-30 juta?" batin Syahbana dengan raut wajah tanpa emosi.

"Uang dari mana aku" gumamnya dengan nada suara lemas.

"Apa aku minta bantuan bang Huda saja? Coba aku tanya dulu, siapa tahu mereka bisa membantu" ucap Syahbana kepada dirinya sendiri dan mulai menghubungi nomor abangnya.

"Assalamualaikum bang" ujar Syahbana dengan lembut, saat panggilannya sudah di angkat oleh sang abang.

‘Wa’alaikumussalam' balas orang di seberang sana.

"Bang ..." panggil Syahbana dengan nada suara sedikit gemetar.

'Syahbana kamu kenapa?' tanya abang Syahbana dengan nada suara heran.

"Ibu bang, Ibu masuk rumah sakit" ucap Syahbana dengan nada suara gemetar.

'Ibu masuk rumah sakit?!' kejut abang Syahbana di seberang sana.

'Ibu sak-' ujar abang Syahbana yang terpotong dan di gantikan oleh suara kakak iparnya.

'Kami juga sedang kesusahan, kamu 'kan anak terakhir, jadi ibu sudah menjadi tanggung jawab mu' kata kakak ipar Syahbana dengan nada suara tak suka.

"Tapi kak, Syahbana tak punya uang sebanyak itu untuk biaya operasi Ibu. Tolong bantu Syahbana kali ini saja" kata Syahbana dengan air mata yang mulai mengalir. Dia tahu kakak iparnya tak suka dengan keluarga dari pihak abangnya, tapi saat ini kesehatan mertuanya sedang di petaruhkan, seharusnya dia iba bukan?.

'Itu bukan urusan kakak. Keperluan Ibu sudah menjadi kewajibanmu bukan abangmu, karena kamu anak terakhir. Abangmu masih ada kewajiban yang lain. Kalau abangmu punya uang kami pasti akan bantu tapi sebisanya. Sedangkan sekarang? Abangmu sedang sakit, dia sudah tidak kerja beberapa hari yang lalu. Jadi jangan menambah beban pikiran kami!' kata kakak iparnya dengan nada suara tak suka.

"Baik kak, maaf menganggu" kata Syahbana dengan air mata yang masih mengalir.

'Hm' balas kakak iparnya dan menutup panggilan secara sepihak.

Syahbana diam sejenak dalam posisinya. Tanpa sadar air matanya semakin mengalih membasahi pipi. Tangannya meremas ponsel itu dengan cukup kuat.

“Apa yang harus ku lakukan sekarang?” gumam Syahbana dengan raut wajah bingung. Karena satu-satunya anggota laki-laki di keluarganya tak bisa membantu mencari jalan keluar.

Kakinya mulai berjalan mendekat ke ruang IGD. Di dalam sana terlihat sosok Ibunya yang terbaring lemahnya. Hati Syahbana bergetar  melihat itu. Dia ingin Ibunya sehat, dia ingin Ibunya mendapatkan perawatan yang tepat.

"Uang dari mana aku, gajiku belum turun" gumam Syahbana dengan raut wajah bingung. Matanya menatap ke arah lantai dan tak lama dia kembali menatap ke arah Ibunya berada.

"Bismillah, kamu bisa Syahbana" kata Syahbana dengan sorot mata penuh tekat.

"Ibu doa'in Syahbana ya. Semoga Syahbana bisa dapat uang, buat biaya operasi ibu" kata Syahbana dengan nada suara lembut.

"Bismillah" ucap Syahbana lagi dengan senyum manisnya.

Dengan langkah pelan Syahbana berjalan ke arah resepsionis, untuk menanyakan rincian biaya operasi sang Ibunda. Tak membutuhkan waktu lama, dia pun sampai di meja resepsionis.

"Permisi sus" kata Syahbana dengan sopan.

"Ada yang bisa saya bantu kak?" tanya sang suster dengan nada suara ramah.

"Saya ingin bertanya, berap total biaya untuk pasien bernama Ibu Asri yang masih di rawat di IGD?" kata Syahbana dengan senyum tipis.

"Tunggu sebentar ya kak" kata sang suster dengan senyum ramah. Kemudian sang suster mulai mencari nama Ibu Syahbana di komputer.

"Pasien dengan nama Ibu Asri total biaya 23 juta, 20 juta sebagai biaya operasi dan 3 juta sebagai biaya di IGD untuk saat ini" kata sang suster dengan nada suara ramah.

"23 juta sus?" kata Syahbana memastikan.

"Iya, untuk pembayaran ingin di lunasi sekarang kak?" tanya sang suster dengan senyum ramahnya.

"Nanti sus, saya usahakan dulu" kata Syahbana dengan senyum canggung.

"Baik kak" kata sang suster dengan senyum maklum.

"Permisi sus. Terima kasih atas informasinya" ucap Syahbana dengan ramah.

"Iya, sama-sama kak" kata sang suster dengan senyum ramah.

Menjadi Istri Kedua (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang