Saat ini Syahbana sedang duduk di salah satu bangku yang ada di lantai dua. Dia menikmati minumannya dengan mata fokus ke buku yang sedang dia baca dan tentu saja buku itu dari rak yang tak jauh darinya.
Suasana yang tenang dan sunyi membuatnya bertambah nyaman berada di sini. Dia cukup menyesal karena tak membawa laptop, karena keberadaannya di sini membawa banyak imajinasi untuk ceritanya, tapi untung saja dia membawa buku catatan dan dia bisa mencatat setiap ide-ide baru yang hinggap di otaknya.
Syahbana terlalu fokus dengan bukunya hingga tak menyadari kehadiran seseorang di depan. Orang itu menatap ke arah Syahbana dengan senyum senang.
Beberapa menit kemudian, mereka masih sibuk dengan urusan masing-masing. Syahbana yang fokus ke buku yang dia baca, sedangkan orang tadi masih fokus menatap wajah manis Syahbana.
“Apa kau masih fokus ke bukumu?” tanya orang tadi dengan raut wajah di buat-buat sedih. Mendengar suara yang cukup familier di telinganya, membuat Syahbana menatap ke sumber suara.
“Dirga? Sedang apa kau di sini?” tanya Syahbana dengan raut wajah heran.
“Menantimu selesai membaca buku itu” ucap Dirga dengan raut wajah cemberut.
“Benarkah? Apakah kau sudah lama di sini?” tanya Syahbana tak enak hati, karena tak menyadari keberadaan Dirga di depannya.
“Yah, cukup lama” balas Dirga sambil menompahkan dagunya dengan tangan.
“Maaf, karena tak menyadari kehadiranmu” ucap Syahbana penuh sesal.
“No, bukan salahmu Syahbana” ucap Dirga dengan nada suara tak suka, karena Syahbana menyalahkan dirinya sendiri.
“Apa kau sering ke sini?” tanya Dirga mengalihkan pembicaraan.
“Ini baru kali pertama aku ke sini” balas Syahbana dengan senyum manis.
“Benarkah? Kau tahu dari mana tempat ini?” tanya Dirga dengan raut wajah heran.
“Tentu saja dari google, aku mencari kafe bertema perpustakaan dan kafe ini muncul di situs pencarianku” ucap Syahbana apa adanya.
“Oh, lalu bagaimana pendapatmu tentang kafe ini?” tanya Dirga dengan nada suara semangat.
“Bagus, sangat bagus malahan. Berbeda dari yang lain” balas Syahbana dengan raut wajah bahagia.
“Benarkah?” tanya Dirga dengan senyum senang.
“Iya” balas Syahbana sambil mengangguk mantap.
“Syukurlah kalau begitu” gumam Dirga tanpa bisa di dengar oleh Syahbana.
“Kau bilang apa?” tanya Syahbana dengan raut wajah heran.
“Apa? Aku tak bilang apa-apa” elak Dirga dengan senyum manis.
“Benarkah?” tanya Syahbana dengan raut wajah tak percaya.
“Hm” gumam Dirga sambil menganggukkan kepala.
“Baiklah” balas Syahbana dan kembali fokus ke bukunya.
Dirga menatap ke arah Syahbana dengan raut wajah rumit, ada sesuatu yang ingin dia bicarakan tapi dia bingung cara menyampaikannya. Setelah cukup lama dia bergelut dengan pikirannya. Akhirnya Dirga memiliki keyakinan untuk mengatakan keinginannya
“Syahbana” panggil Dirga sambil menatap ke arah Syahbana dengan cemas.
“Hm?” balas Syahbana sambil menatap ke arah Dirga dengan kerutan di dahinya.
“Emm... boleh aku meminta nomor ponselmu?” tanya Dirga dengan raut wajah cemas.
“Nomor ponsel?” tanya Syahbana dengan nada suara heran.
“Hm, apakah tak boleh?” tanya Dirga dengan raut wajah sedih.
“Tidak, tentu saja boleh. Mana ponselmu biar kucatatkan nomorku” balas Syahbana sambil meminta ponsel Dirga. Dengan senyum cerah Dirga memberikan ponselnya dan di terima oleh Syahbana. Dengan lihai jari jemari Syahbana mengetikkan nomornya di ponsel Dirga.
“Ini, sudah ku catat” kata Syahbana dan menyerahkan ponsel tadi ke arah Dirga.
“Terima kasih” balas Dirga dengan senyum mengembang indah.
“Sama-sama” balas Syahbana dengan senyum manisnya. Setelahnya dia menatap ke arah ponselnya, di sana ada notif dari sang dokter yang merawat Ibunya. Sang dokter bilang bahwa kondisi Ibu Syahbana mengalami penurunan.
“Aku pergi dulu, Assalamualaikum” ucap Syahbana dan mengambil tasnya dengan terburu. Dirga yang melihat itu sedikit merasa heran.
“Ada apa?” tanya Dirga sambil bangkit dari duduknya.
“Ibuku, kondisinya memburuk” balas Syahbana tanpa sadar.
“Biar ku antar” balas Dirga dengan sungguh-sungguh.
“Benarkah?” tanya Syahbana dengan raut wajah tak percaya.
“Hm, ayo” ucap Dirga sambil menatap ke arah Syahbana.
“Sebentar, aku akan membayar minumanku dulu” ucap Syahbana dan mengambil uang dari dompetnya.
“Tak perlu, ayo” ucap Dirga dan menarik tas punggung Syahbana.
“Dirga!” kesal Syahbana karena tasnya di tarik oleh Dirga. Kebiasaan Dirga dari dulu mulai muncul lagi.
“Eh? Maaf-maaf, ayo” ucap Dirga dengan kekehan kecil, merasa geli karena melihat raut wajah Syahbana.
“Awas kamu” ucap Syahbana sambil menatap ke arah Dirga dengan sengit, setelahnya dia mulai berlari ke arah tempat parkiran yang ada di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Istri Kedua (TAMAT)
FanfictionIbu yang terjatuh sakit dan tak ada sanak saudara yang membantu, membuat Syahbana harus ikhlas menjadi istri ke-2 dari seorang CEO yang bekerja di perusahaan penerbit buku ternama. Pernikahan ini terjadi bukan karena sang CEO tak bisa memiliki anak...