Sesampainya Syahbana di rumah sakit, dirinya di buat heran atas kehadiran kakak iparnya di depan pintu ruang inap sang Ibu. Dengan langkah pelan dirinya berjalan mendekat ke arah Jihan.
"Kak?" panggil Syahbana dengan raut wajah heran.
Mendengar suara yang tak asing di telinganya membuat Jihan menatap murka ke sumber suara. Tanpa suara Jihan membalas panggilan Syahbana tadi dengan sorot mata penuh akan marah.
"Kakak kenapa ada di sini?" tanya Syahbana dengan raut wajah heran, karena kakak iparnya ini jarang menengok dia atau pun Ibunya. Jika di tanya apa alasannya, pasti jawabannya sedang sibuk atau sedang repot menjaga anak-anaknya.
"Mengadu apa kamu ke abangmu, hah?!" ucap Jihan dan menatap ke arah Syahbana dengan nyalang.
"Maksud kakak?" tanya Syahbana dengan raut wajah heran, karena dia tak pernah mengadu apa pun kepada kakak laki-lakinya.
"Jangan sok bodoh Syahbana, kau mengadu apa dengan abangmu, kenapa dia bisa semarah itu kepada kakak? Padahal sedari dulu abangmu tak pernah mengangkat suaranya di depan kakak, tapi kemarin?" ucap Jihan dengan raut wajah marah dan menatap ke arah Syahbana dengan sorot mata penuh akan permusuhan.
"Aku tak pernah mengadu apa pun ke bang Huda, aku juga tak tahu alasan bang Huda marah dengan kakak" balas Syahbana dengan raut wajah yakin.
"Jangan bohong kamu Syahbana!" desis Jihan sambil menatap nyalang ke arah Syahbana.
"Aku tak bohong kak" balas Syahbana dengan raut wajah meyakinkan.
Jihan menatap tepat ke arah mata Syahbana dan dia tak menangkap kebohongan sama sekali dari mata adik iparnya itu. Tak mendapatkan jawaban yang sesuai dengan keinginannya, membuat Jihan hanya membalas Syahbana dengan raut wajah mengancam.
"Awas kamu" ucap Jihan dengan nada suara mengancam, dengan sengaja dia menyenggol bahu Syahbana membuat Syahbana oleng dan mundur beberapa langkah ke belakang.
Syahbana menatap kepergian Jihan dengan raut wajah rumit. Setelah punggung Jihan hilang dari pandangannya, Syahbana mulai berjalan memasuki ruang inap Ibunya.
"Assalamualaikum Ibu" ucap Syahbana dengan senyum cerahnya. Dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya, Syahbana mulai berjalan mendekat ke arah Ibunya berada.
"Bagaimana kabar Ibu? Syahbana sudah datang ke sini, kapan Ibu bangun?" tanya Syahbana sambil menggenggam tangan Ibunya dengan lembut.
"Ibu tahu? Syahbana kesepian" ucapnya lagi dan mengelus lembut tangan sang Ibu serta menatap tangan keriput di genggamannya.
Ruangan itu seketika sunyi, dalam diam Syahbana meneteskan air matanya. Dia benar-benar rindu akan sosok Ibunya. Dia ingin dekapan hangat dari sang Ibunda dan Ibunya berkata 'semua akan baik-baik saja, tak perlu risau'
Tapi apa yang dia inginkan belum juga terwujud, Ibunya belum juga bangun dari tidur. Sang Ibu masih nyenyak dengan mimpinya.
Syahbana menatap tenang wajah Ibunya, dengan perlahan dia meletakkan kepalanya di atas brankar dan tertidur di dekat sang Ibu. Dia ingin lebih lama di sini.
Di lain tempat.
"Bagaimana kondisinya?" tanya seorang wanita dengan postur tubuh elegan.
"Untuk saat ini masih aman nyonya, tapi tadi pagi tuan muda sedikit membentaknya, karena nyonya Amerta meninggalkan meja makan saat nona Syahbana ikut bergabung" ucap seorang wanita yang lebih muda dari wanita tadi.
"Awasi terus, jangan sampai hal berlebihan terjadi padanya" ucap Windu dengan raut wajah serius.
"Baik nyonya" balas Rina dengan kepala menunduk patuh.
"Bagaimana kakimu?" tanya Windu dengan sorot mata tertuju ke arah kaki Rina.
"Sudah lumayan baik, tadi malam sudah di obati oleh nona Syahbana" balas Rina dengan senyum cerah.
"Bawa ke dokter dan mintalah obat untuk penyembuhan yang lebih cepat" ucap Windu dengan raut wajah serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Istri Kedua (TAMAT)
FanfictionIbu yang terjatuh sakit dan tak ada sanak saudara yang membantu, membuat Syahbana harus ikhlas menjadi istri ke-2 dari seorang CEO yang bekerja di perusahaan penerbit buku ternama. Pernikahan ini terjadi bukan karena sang CEO tak bisa memiliki anak...