Bab 21

4.5K 158 2
                                    

Seperti rutinitas yang biasa dia lakukan di pagi hari, saat ini Syahbana sudah bersiap untuk ke rumah sakit. Sebelum itu, dia sudah menyiapkan semua kebutuhan Amerta, mulai dari air mandi, pakaian dan sarapannya, tak lupa dia juga memasakkan makanan untuk sang suami. Setelah menyiapkan semua itu, Syahbana mulai bersiap dan pergi ke rumah sakit dengan angkutan umum.

Selama ini dia belum pernah di kasih uang dari Adi, tapi masih ada sosok Windu yang mau memberikan uang untuk dirinya.

Awalnya Syahbana tak mau menerimanya, tapi karena paksaan dari Windu membuat Syahbana menerima uang itu. Dia mendapatkan uang dari Windu seminggu sekali, itu pun cukup banyak baginya, sekitar 5 jutaan. Ibu mertuanya bilang, itu sebagai upah darinya karena Syahbana sudah mau menyiapkan kebutuhan Amerta.

Syahbana merasa heran, kenapa Windu menikahkannya dengan Adi kalau dia menyayangi menantu pertamanya? Tak ingin mengambil pusing, Syahbana membuang jauh pertanyaan itu.

Sekitar 25 menit dia di dalam angkutan umum, akhirnya dia sampai di tempat tujuan, di rumah sakit tempat Ibunya di rawat. Dengan langkah pelan Syahbana menyusuri koridor rumah sakit. Saat kakinya berjalan menyusuri koridor tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Dengan raut wajah heran Syahbana menatap ke arah sang pelaku.

“Syahbana?” tanya orang tadi sambil menunjuk ke arah Syahbana dengan senyum cerah.

“Iya? Siapa ya?” tanya Syahbana dengan raut wajah heran, karena dia merasa tak mengenal lelaki di depannya ini.

“Aku Dirga, teman sekelasmu saat di bangku SMk” ucapnya yang mengaku bernama Dirga, dengan senyum cerah karena tak salah mengenali seseorang.

“Dirga?” gumam Syahbana sambil mengerutkan dahinya heran. Dengan keras dia berpikir, siapakah Dirga itu dan tak lama dia tersenyum ke arah Dirga.

“Dirga pramuka?” ucap Syahbana dengan senyum cerah.

“Iya, apa kabar?” tanya Dirga dengan senyum tak kalah cerah saat Syahbana bisa mengingat dirinya.

“Alhamdulillah baik, kamu sendiri?” tanya Syahbana sambil menatap ke arah Dirga.

“Aku juga baik” balas Dirga dengan senyum manisnya. Dirga ingin membuka suara lagi, tapi suaranya terhenti di kerongkongan saat mendengar suara Syahbana mendahuluinya.

“Aku duluan ya, assalamualaikum Dirga” ucap Syahbana dan pergi menuju ruang inap sang Ibu. Dirga hanya bisa melambaikan tangannya, untuk mengiringi kepergian Syahbana.

“Mau minta nomor ponsel padahal” gumam Dirga sambil menatap ke arah Syahbana dengan lamat. Setelah punggung Syahbana tak terlihat lagi, Dirga mulai berjalan meninggalkan rumah sakit dengan langkah sedikit lesu.

Syahbana berjalan hingga sampailah dia di depan ruang inap sang Ibu.

“Assalamualaikum Ibu” salam Syahbana dengan raut wajah bahagia. Dengan langkah ringan dia berjalan ke arah sang Ibu terbaring.

“Ibu tadi Syahbana beli kue kering, rasanya enak banget” ucap Syahbana sambil duduk di kursi samping Ibunya.

“Ibu tahu? Akhir-akhir ini Syahbana sudah tak ada waktu untuk menulis cerita” kata Syahbana sambil menggenggam tangan Ibunya dengan lembut.

“Syahbana mulai membiasakan diri dengan kehidupan Syahbana yang sekarang, Syahbana mencoba menikmatinya” ujar Syahbana dengan senyum manis.

“Walau Syahbana tidak terlalu di anggap di sana, tapi itu alasan kenapa Syahbana sedikit merasa nyaman” ucap Syahbana lagi dengan senyum lembut.

Syahbana diam sejenak dan menatap wajah pucat sang Ibu dengan lamat. Tangannya masih menggenggam tangan sang Ibu dengan lembut.

“Kapan Ibu sadar? Syahbana kangen” gumam Syahbana dengan raut wajah sedih.

Di lain tempat.

“Mau ke mana kamu mas?” tanya seorang wanita dengan raut wajah heran.

“Ke rumah sakit” balas sang pria dengan nada suara acuh tak acuh, bahkan dia enggan melihat wajah istrinya.

“Apa maksudmu mas? Dua hari yang lalu kau sudah ke sana bukan? Lalu kenapa kau ke sana lagi?” ucap Jihan dengan nada suara tak suka.

“Dia Ibuku, seharusnya setiap hari aku menjenguknya bukan dua hari sekali” balas Huda dengan nada suara santai.

“Dia hanya menyusahkan mas! Karenanya, kau jadi kerepotan, setiap pagi kau ke sana atau malam harinya” balas Jihan dengan sinis.

“Apa maksudmu?” tanya Huda dengan datar.

“Ibumu itu beban” balas Jihan dengan tenang.

“Kau bilang ibuku beban? Apa kau bodoh Jihan?” ucap Huda dengan sorot mata tajam.

“Kau mengataiku bodoh mas?” tanya Jihan dengan raut wajah tak percaya.

“Yah! Kau bodoh, benar-benar bodoh” ucap Huda dengan datar dan pergi begitu saja, meninggalkan Jihan tanpa berpamitan atau meliriknya.

Menjadi Istri Kedua (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang