Syahbana pulang dari rumah sakit pukul 12.08 siang. Dengan langkah pelan dia berjalan memasuki rumah, tapi langkahnya terhenti saat suara seseorang memasuki gendang telinganya.
"Tak tahu diri" ucap Amerta tanpa menatap ke arah Syahbana.
Syahbana yang mendengar perkataan Amerta hanya bisa berdiam diri dan menatap ke arah sumber suara dengan raut wajah bingung.
“Kamu hanya menumpang di sini, bukankah tak tahu diri jika kamu dengan seenaknya pergi keluar dari rumah tanpa meminta izin dan bukankah kamu tak tahu malu jika kerjanya hanya bisa pergi keluar rumah?" ujar Amerta dengan senyum sinis.
"Maaf jika mbak merasa keberatan karena saya pergi ke luar, tapi saya ada keperluan di luar sana." ucap Syahbana dengan raut wajah ramah.
"Apa peduliku dengan urusanmu itu, yang aku tahu hanya satu, jika kau merasa menumpang seharusnya kau sadar diri" ucap Amerta dengan senyum penuh makna.
"Apa yang mbak inginkan?" tanya Syahbana pada intinya.
"Lakukan pekerjaan rumah, termasuk layani saya dan menyiapkan semua kebutuhan pribadi saya" balas Amerta dengan senyum sinisnya.
Syahbana menatap ke arah Amerta dengan raut wajah tak percaya.
"Maksud mbak?" tanya Syahbana dengan raut wajah tak percaya.
"Kamu jadi asisten pribadi saya, melayani saya di sini" balas Amerta dengan senyum sinis.
"Anggap saja itu balasan atas kamu tinggal dan makan di sini" lanjut Amerta dengan senyum puas.
Syahbana diam sejenak dan berpikir, lebih tepatnya merasa pusing dengan sikap keluarga ini.
"Baik, tapi setiap pagi saya izin untuk keluar" ujar Syahbana dengan nada suara pasrah.
"Hm, terserah padamu yang terpenting tugasmu dengan saya sudah selesai, baru kamu bisa keluar" kata Amerta dengan postur tubuh santai.
"Baik" balas Syahbana dengan raut wajah lelah.
"Bagus, sekarang kamu bisa pergi" ucap Amerta dengan senyum puas.
"Mari" ucap Syahbana dengan sopan dan berjalan ke arah kamarnya.
Sore harinya.
"Syahbana ! Cepat ambilkan camilan untukku!" teriak Amerta dari arah kamarnya.
"Baik mbak" balas Syahbana, dengan sedikit berlari dia menuju ke arah dapur untuk mengambilkan camilan sehat untuk Amerta.
Setelah mengambil camilan tadi, Syahbana mulai berjalan ke arah Amerta berada.
"Ini mbak” ucap Syahbana sambil meletakkan camilan yang tadi dia ambil.
Amerta menatap ke arah Syahbana sebentar dan bergumang malas, setelahnya kembali fokus ke arah televisi.
"Aku pergi dulu mbak" ucap Syahbana dan berniat berjalan ke arah pintu tapi langkahnya kembali terhenti saat mendengar perkataan Amerta.
“Siapa yang menyuruhmu keluar? Pijat kakiku” ucap Amerta dengan raut wajah sinis.
"Huhff" hembusan nafas sabar dari Syahbana.
“Sabar Syahbana, ingat Nabi Muhammad SAW sangat sabar saat menghadapi penghinaan, ancaman, dan siksaan saat berdakwah” batin Syahbana menguatkan hatinya agar tak mengeluh.
Dengan langkah pelan Syahbana berjalan ke arah Amerta dan duduk di samping Amerta.
"Siapa suruh duduk di situ? Di bawah" ucap Amerta dengan sorot mata tajam.
"Maaf" ucap Syahbana dan mulai ke bawah dengan gerakan pelan.
Melihat itu, membuat Amerta tersenyum senang dan kembali fokus ke layar televisi, sedangkan Syahbana mulai memijat kaki Amerta.
Di balik pintu kamar Amerta, terlihat ada seseorang mengintip di cela-cela pintu kamar.
"Aku harus melapor ke nyonya Windu" ucap Rina dan mulai bangkit dari jongkoknya. Tapi baru saja dia bangkit, punggungnya membentur sesuatu dan saat melihat, di belangnya sudah ada pelayan pribadi Amerta.
"Sedang apa kau di sini?" tanyanya dengan raut wajah datar.
"Anu mbak, saya tadi lihat pintu ini agak aneh ternyata mata saya yang salah melihat. Pintunya aman dan kokoh" balas Rina sambil memukul pintu di belakangnya pelan.
"Pintu di rumah ini kokoh dan kuat, periksakan matamu itu" balasnya dengan sinis. Rina yang mendengar perkataan orang di depannya hanya bisa tersenyum canggung.
"Kerja sana" lanjutnya dengan datar.
"Baik" balas Rina dengan kepala sedikit mengangguk pelan. Dengan langkah cepat Rina berlari meninggalkan tempatnya berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Istri Kedua (TAMAT)
FanfictionIbu yang terjatuh sakit dan tak ada sanak saudara yang membantu, membuat Syahbana harus ikhlas menjadi istri ke-2 dari seorang CEO yang bekerja di perusahaan penerbit buku ternama. Pernikahan ini terjadi bukan karena sang CEO tak bisa memiliki anak...