Malam harinya.
Amerta sedang bermain ponsel di dalam kamar. Sendari tadi dia mendiami Adi, Adi yang melihat kebisuan sang istri hanya diam dan menatap ke arah Amerta dengan penuh tanya. Dalam benaknya bertanya, ada apa dengan Amerta? Kenapa dia diam membisu?.
Saat ini Adi berada di ruang keluarga, dengan laptop di atas meja. Setiap satu jam sekali bayangan Amerta dan Syahbana terbesit di pikirannya. Wajah datar Amerta yang tak seperti biasanya dan wajah manis milik Syahbana yang hinggap beberapa saat di otaknya.
"Akh!" jerit Adi tertahan sambil menjambak rambutnya frustrasi.
"Fokus Adi" ucap Adi sambil mengatur nafas. Mencoba menghilangkan bayang-bayang keduanya, karena dia harus fokus ke arah berkas yang dikirimkan Dino untuk meating besok.
Dia mencoba fokus ke arah berkas tadi, tapi hanya bertahan beberapa menit dan ke dua wajah istrinya kembali terpampang di otaknya.
"Sial!" desis Adi sambil menutup laptopnya kasar.
Dengan raut wajah letih Adi mengusap rambutnya frustrasi. Dan menyenderkan kepalanya ke sandaran sofa. Dengan nafas teratur Adi memejamkan mata, untuk menenangkan pikirannya dan membuang jauh-jauh wajah Syahbana dari otaknya.
Beberapa menit kemudian, dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kamarnya berada, karena dia ingat akan wajah datar Amerta. Dia harus meluruskan masalah yang ada di antara dirinya dan Amerta.
Dengan langkah pelan Adi mulai berjalan ke arah kamarnya, tapi langkahnya kembali terhenti karena melihat sosok Syahbana tak jauh dari jaraknya. Raut wajah Syahbana mengisyaratkan kecemasan.
Dengan raut wajah heran Adi menatap ke arah Syahbana, sejenak dia mengalihkan pikirannya. Melupakan sosok Amerta dan berjalan mendekat ke arah Syahbana.
"Ada apa?" tanya Adi setelah sampai di dekat Syahbana.
"Mas?" ucap Syahbana dengan nada suara tak percaya.
Adi mengerutkan dahinya heran, karena melihat raut wajah panik, serta sorot mata Syahbana yang berkaca-kaca.
"Kenapa?" tanya Adi dengan raut wajah sedikit cemas? Mungkin.
"Keluargaku ada yang masuk ke rumah sakit, dan saat ini kondisinya kembali menurun" ucap Syahbana dengan raut wajah sedih bercampur takut.
"Lalu?" ucap Adi dengan datar, tapi berbeda dengan isi hatinya.
"Aku meminta izin untuk ke rumah sakit hingga besok" ucap Syahbana dengan raut wajah memohon.
"Dengan siapa?" tanya Adi dengan raut wajah tanpa emosi.
"Ojek, aku akan pesan ojek online" balas Syahbana cepat.
"Bersiap, aku akan mengantarmu" ujar Adi tak menerima penolakan.
Mendengar perkataan Adi barusan membuat Syahbana sedikit heran, tapi ini bukan saatnya untuk memikirkan semua itu.
"Baik" balas Syahbana dan mulai berlari ke arah kamarnya.
Adi menatap sosok Syahbana dengan raut wajah cukup aneh.
"Kenapa aku ingin mengantarnya?" gumam Adi dengan nada suara tak percaya, atas apa yang dia ucapkan tadi.
"Mungkin karena iba?" lanjutnya sambil mengangkat bahu acuh tak acuh, tapi tak ayal ada rasa heran akan dirinya sendiri.
Tak lama, sosok Syahbana sudah keluar dari kamar. Dengan langkah sedikit terburu dia berjalan ke arah Adi.
Adi yang melihat Syahbana sudah siap pun langsung mengambil kunci mobil di dalam laci yang tak jauh darinya.
Setelah itu mereka berjalan ke arah garansi rumah. Adi yang melihat raut wajah panik Syahbana pun lupa untuk berpamitan kepada Amerta.
Di lain sisi.
Saat ini Amerta masih berdiam diri di dalam kamar, sesekali matanya juga menatap ke arah pintu.
"Dasar lelaki tak peka!" ucap Amerta dengan kesal dan melempar ponselnya dengan kasar ke sembarang arah.
"Sial!" ucapnya lagi dan mulai berjalan keluar dari kamar, tak memedulikan kondisi ponsel yang tergeletak mengenaskan di atas lantai.
Sesampainya di depan kamar matanya menatap ke sekeliling, mencari sosok Adi, tapi tak kunjung dia temukan. Dengan langkah kesal dia mulai berjalan menuruni anak tangga, berharap menemukan sosok Adi di lantai bawah.
"Sisil!" panggil Amerta dengan nada suara keras.
Mendengar namanya di panggil, dengan langkah lebar Sisil berjalan ke arah Amerta.
"Saya Nyonya" lapor Sisil setelah sampai di depan Amerta.
"Di mana tuanmu?" tanya Amerta dengan raut wajah malas.
"Tuan sedang pergi keluar bersama nona Syahbana, Nyah" balas Sisil dengan kepala tertunduk diam. Dia sudah bersiap mendengar atau menerima bentakan dari Amerta.
Mendengar perkataan Sisil barusan membuat kerutan di dahi Amerta sangat jelas. Hatinya terasa mendidih dan siap meluapkan amarahnya.
"Sialan!" marah Amerta dengan raut wajah murka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Istri Kedua (TAMAT)
FanfictionIbu yang terjatuh sakit dan tak ada sanak saudara yang membantu, membuat Syahbana harus ikhlas menjadi istri ke-2 dari seorang CEO yang bekerja di perusahaan penerbit buku ternama. Pernikahan ini terjadi bukan karena sang CEO tak bisa memiliki anak...