Bab 3

6.6K 272 0
                                    

Sesampainnya di rumah sakit, Syahbana langsung berlari menuju ke IGD.

Saat ingin memasuki IGD, langkahnya terhenti karena kehadiran seorang dokter di depannya. Belum juga membuka suara, Syahbana sudah mendapat pertanyaan dari sang dokter.

"Bagaimana dek, sudah membayar administrasi? Jika belum maaf kami belum bisa menangani pasien secara lanjut" kata sang dokter dengan raut wajah bertanya.

"Belum dok, apa tidak bisa Ibu saya di operasi terlebih dahulu, setelah itu saya membayar biaya administrasinya?" tanya Syahbana dengan nada sedih.

"Maaf dek, ini sudah prosedur rumah sakit, adik harus membayar biaya administrasi terlebih dahulu, setelah itu Ibu adik bisa di operasi" jelas sang dokter dengan raut wajah tenang.

"Tapi saya belum bisa mendapatkan uang itu dok" kata Syahbana dengan nada sedih dan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Maaf dek, saya tidak bisa membantu banyak. Permisi" kata sang dokter dan pergi meninggalkan Syahbana sendirian. Dengan lemas Syahbana terduduk di atas lantai.

"Ibu" panggil Syahbana dengan nada suara lirih dan air mata yang mulai mengalir.

"Ibu bertahan ya, jangan tinggalin Syahbana" kata Syahbana dengan mata menatap ke bawah.

"Nak" kata seseorang sambil memegang pundaknya dengan lembut.

"Tente?" ujar Syahbana dengan nada suara tak percaya.

"Kamu kenapa? Siapa yang sakit?" tanya orang tadi yang ternyata wanita yang dia jumpai beberapa menit yang lalu.

"Ibu Syahbana tan" jawab Syahbana dengan air mata kembali menetes.

"Ibu Syahbana kenapa?" tanya Windu sambil mengusap air mata Syahbana dengan lembut.

"Ibu Syahbana harus di operasi sesegera mungkin, tapi tidak bisa" kata Syahbana dengan nada suara sedih.

"Kenapa tidak bisa di operasi?" tanyanya dengan heran.

"Syahbana belum punya uang untuk membayar biaya operasinya tan," jawab Syahbana dengan kepala menunduk sedih.

"Tante bisa membantumu untuk membayar semua biaya rumah sakit, tapi ada syaratnya," kata Windu dengan senyum penuh arti.

"Apa syaratnya tan?" kata Syahbana dengan raut wajah penuh harap. Berharap orang di depannya bisa membantu meringankan biaya rumah sakit.

"Syahbana sekarang umur berapa?" tanya Windu tanpa memperdulikan pertanyaan Syahbana tadi.

"20 tahun" jawab Syahbana dengan nada suara heran.

"Ada ikatan dengan lawan jenis?" tanya Windu dengan senyum manisnya.

"Enggak punya" jawab Syahbana yang bertambah heran dengan pertanyaaan yang di berikan oleh sosok di depannya.

"Bagus jika begitu, sekarang kita ke meja resepsionis untuk membayar semua biaya rumah sakit Ibu Syahbana" kata Windu dengan senyum senang.

"Tapi syaratnya apa tan?" tanya Syahbana dengan heran.

"Nanti, setelah kita bayar biaya rumah sakit, tante kasih tahu. Kamu mau Ibumu cepat sembuh bukan?" kata Windu dengan senyum penuh arti.

"Emm... baik" kata Syahbana sedikit ragu dengan keputusannya.

“Mungkin, menjadi asisten rumah tangga atau jadi tukang kebun di rumahnya” batin Syahbana.

“Anak ini baik, cocok jadi menantuku, siapa tahu dia bisa merubah sikapnya” batin Windu dengan senyum yang belum luntur dari bibirnya.

Mereka berjalan ke arah meja resepsionis dan membayar lunas biaya administrasi Ibu Syahbana.

Setelah membayar biaya administrasi, operasi yang tadinya di tunda mulai di persiapkan dan mulai di laksanakan.

Syahbana menunggu di luar ruang operasi dengan raut wajah cemas.

"Kamu tenang saja Ibumu pasti baik-baik saja" kata Windu dengan senyum manisnya.

"Iya tan" kata Syahbana dengan senyum sedikit di paksakan.

Setelah itu tak ada percakapan di antara mereka. Syahbana tak henti-hentinya berdoa kepada sang Maha Pencipta untuk keselamatan Ibunya.

Dapat dirasakan ketegangan dari ruang operasi. Dokter yang bertanggung jawab sangat fokus dengan operasi yang dia lakukan. Operasi batu ginjal memang bukan operasi yang sulit, tapi jika ada kesalahan tetap saja nyawa pasien yang menjadi taruhannya.

Beberapa menit kemudian lampu ruang operasi yang awalnya hijau menjadi merah, menandakan operasi sudah selesai.

Pintu operasi mulai terbuka dan terlihat seorang dokter keluar dengan raut wajah serius.

"Bagaimana dok?" tanya Syahbana dengan perasaan cemas.

"Alhamdulillah, operasi berjalan dengan lancar tapi saya belum bisa memberitahu kondisi pasien saat ini. Dengan gula darah yang tiba-tiba meninggi setelah operasi di laksanakan dan jika tak salah dia di bawa ke sini sudah dalam keadaan pingsan. Untuk saat ini kita hanya bisa berdoa kepada Tuhan dan meminta kesehatan bagi pasien. Beberapa kemungkinan bisa terjadi, salah satunya pasien mengalami koma" terang sang dokter dengan raut wajah serius.

"..." tak ada respons dari Syahbana atau Windu. Dalam diam Windu mengelus bahu Syahbana untuk memberi kekuatan.

Dari arah belakang terlihat brankar rumah sakit yang di dorong oleh beberapa perawat, untuk di pindahkan ke ruang rawat.

Saat Syahbana ingin mengikuti langkah para perawat tadi, tiba-tiba tangannya di cekal oleh Windu.

"Ada apa tan?" tanya Syahbana dengan ramah.

"Kamu tidak lupa tentang perjanjian kita bukan?" kata Windu dengan raut wajah serius.

"Syahbana masih ingat tan," kata Syahbana dengan senyum manisnya.

“Karena itu Syahbana mau ucapain terima kasih. Jika tante tak membantu Syahbana saat ini, mungkin Ibu belum di operasi dan kemungkinan lebih buruk bisa terjadi” lanjutnya dengan senyum ramah.

"Kamu ingin tahu apa syarat saya?" tanya Windu dengan tenang, tanpa membalas perkataan Syahbana barusan.

"Hm, Syahbana juga sudah janji akan menepati apa pun syarat tante" kata Syahbana dengan tulus.

"Kamu harus menepati janjimu" kata Windu dengan datar.

"Insyaallah, jika Syahbana bisa, akan Syahbana tepati" kata Syahbana dengan nada suara serius.

"Syarat saya hanya satu, jadilah istri kedua dari anak laki-laki saya" kata Windu dengan raut wajah serius, tak ada raut wajah tersenyum di sana.

Menjadi Istri Kedua (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang