Syahbana pulang dari rumah sakit sekitar pukul 11 malam. Itu pun karena telepon dari Adiwarna. Adi menelefonnya dan menyuruh Syahbana untuk segera pulang.
Dengan berat hati Syahbana menyetujui ucapan Adi. Dia pulang di antar oleh Dirga, sedangkan Ibunya di jaga oleh kakaknya Huda.
Sesampainya di rumah, Syahbana sudah di suguhi oleh sosok Adi yang sibuk dengan berkas-berkas perusahaan di ruang tamu.
“Habis dari mana kamu?” tanya Adi dengan datar.
“Rumah sakit” balas Syahbana apa adanya.
“Rumah sakit? Kau sakit?” tanya Adi dengan raut wajah tanpa emosi.
“Tidak, Keluargaku yang sakit” balas Syahbana dengan nada suara sedikit bergetar karena mengingat sosok Ibunya.
“Oh, sekarang masuk ke kamar dan istirahat. Hari sudah larut” ucap Adi tanpa menatap ke arah Syahbana, karena dia sedang sibuk dengan berkas-berkas di depannya.
Mendengar perkataan Adi barusan membuat Syahbana hendak berjalan ke arah kamarnya, tapi langkahnya kembali terhenti saat mendengar suara Adi menyapa gendang di telinga.
“Oh ya, tolong buatkan saya kopi terlebih dahulu” ucap Adi sambil menatap Syahbana sekilas.
“Baik” balas Syahbana dengan patuh dan mulai berjalan ke arah dapur untuk membuatkan kopi. Tak membutuhkan waktu lama, kopi pesanan Adi sudah siap.
“Ini mas” ucap Syahbana sambil meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja.
“Hm” balas Adi dengan raut wajah tak peduli.
Setelah itu Syahbana mulai berjalan ke arah kamarnya, dirinya benar-benar membutuhkan istirahat.
Keesokan harinya.
Saat ini Syahbana sedang menulis ceritanya yang sempat tertunda.
Saat sedang fokus dengan alur ceritanya, ada seseorang yang memasuki kamarnya tanpa izin. Orang tadi mengunci pintu dari dalam dan menatap ke arah Syahbana dengan raut wajah datar. Syahbana yang menyadari kehadirannya pun sedikit mengerutkan dahinya.
“Ada apa mbak?” tanya Syahbana dengan raut wajah heran.
“Kemarin kau di kafe K bukan?” ujar Amerta dengan raut wajah masih datar.
“...” Syahbana hanya diam membisu, bingung ingin menjawab seperti apa.
“Kau melihatnya? Dan kau berniat mengadu ke mas Adi?” ucap Amerta dengan senyum sinisnya.
“Tidak” balas Syahbana dengan raut wajah tanpa emosi.
“Bagus” puji Amerta, karena merasa puas dengan jawaban Syahbana.
“Keputusan yang tepat” lanjut Amerta dengan senyum sinis dan dia mulai berjalan ke arah Syahbana dengan langkah pelan.
“Kalau pun kau ingin mengadu ke mas Adi, aku tidak masalah dengan itu tapi ada konsekuensi yang harus kau terima. Kau mengadu maka keluargamu yang menanggung” bisik Amerta di dekat telinga Syahbana.
Setelah membisikkan kata-kata tadi Amerta mulai menjauh dan menatap remeh ke arah Syahbana.
Syahbana hanya diam membisu sambil menatap ke arah Amerta dengan sorot mata sedikit marah.
“Aku hanya memperingati Syahbana, semua itu tergantung padamu” ucap Amerta dengan senyum puas dan tanpa menunggu lama lagi dia mulai berjalan keluar dari kamar Syahbana.
“Astafirullahaladzim” ucap Syahbana dengan raut wajah lelah. Matanya terpejam untuk beberapa saat, dia sedang mengendalikan emosinya karena ucapan Amerta tadi.
Setelahnya Syahbana teringat akan keadaan sang ibunda, dengan gerakan sedikit lesu dia mulai bersiap untuk ke rumah sakit.
Di lain sisi.
“Baru pulang kamu mas?!” tanya Jihan dengan raut wajah menahan geram.
“Hm” balas Huda yang sudah merasa lelah dan letih, karena tadi malam dia hanya tidur sebentar dan saat ini dia benar-benar membutuhkan istirahat.
“Mas!” bentak Jihan saat Huda hendak berjalan melewatinya.
“Apa Jihan?” tanya Huda dengan raut wajah lelah dan memijit pelipisnya pelan.
“Berapa kali aku harus bilang? Jangan ke sana terlalu sering mas!” ucap Jihan dengan raut wajah menahan kesal.
Mendengar perkataan Jihan tadi membuat kepala Huda bertambah pusing.
“Dia ibuku Jihan, ibu mertuamu” ucap Huda mencoba tenang menghadapi sikap Jihan yang terlalu aneh baginya.
“Aku istrimu mas! Kemarin kamu tidak kerja gara-gara ibumu mas! Malam tidak pulang dan tak memberi kabar! Bagus kamu sekarang” ucap Jihan dengan postur tubuh menantang.
“Stop Jihan! Jangan buat aku muak dengan pernikahan ini! Kemarin bukannya sudah ku ajak kamu berserta anak-anak untuk ke rumah sakit?! Kamu memang istriku tapi dia ibuku, wanita yang melahirkan dan merawatku!” ucap Huda yang telah kehabisan kesabaran menghadapi sikap Jihan.
“Stop mengatur hidupku Jihan, atau ku talak dirimu saat itu juga” ucap Huda penuh akan keseriusan. Setelahnya Huda kembali berjalan keluar rumah, entah ke mana kakinya membawanya. Intinya dia membutuhkan tempat untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Mendengar perkataan Huda barusan membuat Jihan tak habis pikir, dan menatap punggung Huda dengan raut wajah tak percaya.
“Mas! Mau ke mana kamu mas! Mas Huda!” panggil Jihan sambil berlari menyusul langkah Huda tapi ternyata sosok Huda sudah berada jauh dari tempatnya dan tak ada niatan bagi Huda untuk menatap ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Istri Kedua (TAMAT)
ФанфикIbu yang terjatuh sakit dan tak ada sanak saudara yang membantu, membuat Syahbana harus ikhlas menjadi istri ke-2 dari seorang CEO yang bekerja di perusahaan penerbit buku ternama. Pernikahan ini terjadi bukan karena sang CEO tak bisa memiliki anak...