Bab 23

4.3K 162 0
                                    

Syahbana berjalan menyusuri trotoar dengan langkah pelan. Sesekali dia juga menyapa beberapa orang yang dia kenal, seperti penjaga kafe atau pemilik toko bunga.

Syahbana menatap ke arah jalan raya dengan raut wajah berpikir, otaknya sedang berpikir setelah ini dia akan jalan ke mana lagi. Dia akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin, sebelum pulang ke rumah Adiwarma.

Dengan langkah sedikit terburu Syahbana mulai menyeberangi jalan, saat lampu penanda orang jalan kaki berganti warna menjadi hijau. Dia berjalan dengan langkah senang, karena di seberang sana ada taman dengan bunga-bunga yang berwarna-warni.

Di lain sisi.

Saat ini Amerta sedang di dalam mobil bersama dengan Eja. Dengan Eja yang menyetir mobil, sedangkan dia duduk di samping Eja dengan tenang. Hingga matanya menangkap sosok manusia yang cukup dia kenal. Melihat siapa itu, membuat Amerta  buru-buru bersembunyi di bawah. Eja yang melihat tingkah Amerta sedikit heran.

“Kamu kenapa sayang?” tanya Eja dengan raut wajah heran.

“Ada maduku di sana” ucap Amerta sambil menunjuk ke arah Syahbana berada.

“Di mana sayang?” tanya Eja dengan raut wajah penasaran. Dia cukup penasaran dengan sosok madu Amerta. Apakah dia cantik? Atau seksi?.

“Yang memakai hijab dan gamis berwarna biru tua” balas Amerta yang masih di tempatnya.

"Manis" batin Eja saat sudah melihat sosok Syahbana yang berjalan hampir ke sisi jalan.

“Dia sudah pergi” ujar Eja sambil mengelus kepala Amerta pelan.

“Benarkah?” tanya Amerta sambil mengintip ke arah Syahbana tadi berada.

“Dia ke arah taman seberang” balas Eja sambil menunjuk ke sebuah taman yang cukup ramai.

Amerta menatap ke arah yang Eja tunjuk dan benar saja, di sana ada sosok Syahbana yang sedang duduk di pinggir taman.

“Ayo cepat, sebelum dia melihat kita” ucap Amerta sambil memukul lengan Eja pelan.

“Iya, sabar sayang” balas Eja dan mulai memacu mobil yang dia kemudikan menjauh dari sana.

Di lain tempat.

Adi sedang fokus dengan dokumennya, hingga suara pintu terbuka mengalihkan pandangannya.

“Berapa kali harus saya bilang? Ketuklah pintu sebelum masuk” ucap Adi tanpa melihat siapa yang memasuki ruang kerjanya. Karena dia kira pelakunya adalah Dino, asisten pribadinya.

“Apakah pemilik perusahaan ini harus mengetuk pintu terlebih dahulu Adi?” tanya seorang wanita paruh baya dengan sorot mata sinis.

Mendengar suara yang tak asing di telinganya membuat Adi langsung mengangkat kepala dan menatap ke sumber suara dengan raut wajah terkejut.

“Mama? Kenapa Mama ada di sini?” tanya Adi dengan raut wajah tak percaya. Dengan gerakan cepat dia bangkit dari duduknya.

“Apa Mama harus mencari alasan untuk memantau CEO bodoh sepertimu?” ucap Windu dengan tenang.

“Apa yang Mama maksud? Adi tak memahaminya” ucap Adi apa adanya.

“Ck! Kau memang bodoh, entah otak keturunan siapa yang ada di kepalamu itu” balas Mama Adi dengan raut wajah sinis. Dengan langkah anggun, Windu berjalan ke arah kursi kerja Adi dan duduk dengan tenang.

“Suatu hal yang besar akan terbongkar seiringnya waktu Adi, hanya menunggu waktu yang tepat untuk semua itu terungkap” ucap Windu dengan postur tubuh berwibawa dan elegant.

“Apa yang-“ ucap Adi terpotong oleh perkataan Windu.

“Berhentilah bertanya dan dengarkan perkataan Mama” potong Windu dengan raut wajah tajam. Mendengar perkataan Mamanya barusan, Adi hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.

“Mama mau kau sedikit memberi perhatian kepada Syahbana, biarkan dia beristirahat jangan kau suruh dia melayani istri tak bergunamu itu” ucap Windu dengan raut wajah serius.

“Aku tak bisa, Amerta menginginkan dia menjadi pelayannya” balas Adi dengan nada suara sedikit malas.

“Wanita gila itu!” desis Windu sambil menatap tajam ke arah Adi.

“Apa rumahmu kekurangan pelayan Adi? Atau Mama perlu menambahkan pelayan di dalam rumahmu?” ucap Windu dengan senyum sinis di akhir kalimat.

“Apa yang Mama maksud?” ucap Adi dengan datar.

“Seperti yang ada di kepala bodohmu itu, kau tahu pasti apa yang Mama maksudkan Adiwarma” ucap Windu dengan senyum puas.

Adi terdiam sejenak dan menatap ke arah Mamanya dengan sorot mata protes tapi di balas dengan acuh tak acuh oleh sang Mama.

“Baik! Adi akan bersikap sedikit baik dengannya” balas Adi dengan raut wajah sedikit menahan marah.

Mendengar perkataan Adi barusan membuat Windu tersenyum senang dan berkata,

“Bagus, anak pintar” ucap Windu dan menyenderkan punggungnya dengan tenang.

 

Menjadi Istri Kedua (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang