Bab 7 : Taman Kota

95 21 1
                                    

Setelah direncanakan oleh Fuadi, Bima dan Halimah. Mereka bertiga berangkat menuju taman kota. Jarak dari tempat tinggal menuju taman kota sangatlah jauh. Dahulu ketika Fuadi harus menemui Nirmala di taman kota, dia harus mengenakan bus angkutan kota. Biaya untuk menaiki bus itu sendiri tergolong cukup mahal. Fuadi merelakan uang tabungannya agar dapat menemui orang yang dia cintai saat itu.

Ditengah perjalanan mereka membicarakan tentang hal yang akan terjadi di sana. Bima memang menjadi orang yang paling tidak setuju dengan acara ini, tetapi karena paksaan dari Halimah membuat dia harus mengalah. Hal itu sekaligus memperkuat dugaan Fuadi jika Halimah dan Bima memang bukan sekedar sahabat biasa.

"Fu, memang engkau ingin apa ke sana? Bukankah itu hanya sekedar taman biasa. Taman itu memang sudah menjadi saksi bagi kalian, tapi taman itu hanya sebuah tempat. Bagaimanapun dia tidak akan pernah berbicara dan mengerti masalah manusia." Bima berbicara sembari mendenguskan nafasnya dengan sengaja. Bima sengaja memberi kode bahwa dia tidak ingin melakukan ini.

Bima sebenarnya ingin membantu temannya, tapi menurutnya tindakan mengunjungi sebuah tempat kenangan saja tidak akan memberikan jawaban apa-apa. Memang benar jika itu bisa membuat kita menjadi ingat terhadap kenangan. Tetapi apa bukti yang bisa didapatkan bila kita mengunjungi. Tidak mungkin kisah ini seperti sejarah yang tiba-tiba saja menemukan benda-benda sebagai bukti atas suatu kejadian. Hidup tidak bisa dengan mudah diskenariokan seperti cerita fiksi.

"Tidak apa-apa. Jika benar aku tidak mampu mendapatkan bukti yang kucari, setidaknya aku bisa menatap tempat ketika terakhir Nirmala pergi pada saat kita masih berpacaran." Ucap Fuadi menjawab pertanyaan dari Bima. Fuadi mengeluarkan nada yang sangat tidak bersemangat, itu menggambarkan bahwa tempat tersebut adalah luka yang sangat hebat bagi dia.

Setelah mendengar jawaban sahabatnya, rasanya Bima tidak bisa menolak permintaan itu. Bima adalah orang yang sangat membenci kebohongan, bagaimanapun dia juga ingin rasanya menghajar wajar Nirmala. Hanya karena dia perempuan bukan berarti dia bisa seenaknya saja menyakiti perasaan laki-laki. Dan sebagai laki-laki hanya karena dia perempuan bukan berarti tidak bisa memberikan pelajaran. Seperti itulah prinsip seorang Bima.

Setelah diam karena tidak ada topik yang harus dibicarakan, lagi-lagi pemandangan yang kurang mengenakkan harus terjadi di depan Fuadi. Tertangkap jelas di depannya bahwa Halimah dengan Bima sedang bergandengan tangan. Perasaan Fuadi semakin saja kacau melihat hal itu, ditambah lagi dia sedang memikirkan ucapan Bima. Setidaknya ketika sampai di sana apa yang harus dia cari. Tidak ingin dengan mudahnya terpancing emosi, Fuadi memutuskan untuk mengabaikan peristiwa yang baru saja dia lihat. Fuadi menyenderkan kepalanya ke kaca mobil, dan memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak.

Ketika Fuadi membuka mata dia mampu merasakan bahwa mobil sudah berhenti. Dia memperhatikan sekitar, dan ternyata Bima dan Halimah juga masih ada di dalam. Sepertinya mereka baru saja tiba di tempat. Di depan kaca mobil jelas terpampang pohon yang rindang. Sepertinya Bima memutuskan untuk memarkirkan mobil di lokasi yang rimbun akan dedaunan.

"Mari kita turun." Fuadi secara langsung meminta semuanya untuk turun walaupun dia dalam kondisi baru saja terbangun dari tidur lelapnya.

"Ah, sepertinya kau sudah bangun. Bagaimana istirahatnya? Semoga saja itu bisa sedikit meringankan beban engkau." Saut Halimah ketika melihat sahabatnya itu sudah terbangun.

***

Satu jam yang lalu ketika Fuadi tidak memberikan suara atau memulai pembicaraan, kemudian Bima menilih dari kaca pantulan, ternyata Fuadi tertidur. Jujur saja sebenarnya mereka berdua kasihan melihat sahabatnya berusaha untuk mengulik suatu masalah yang sebenarnya jalannya sudah ditentukan. Dengan terbukti bahwa Nirmala salah, hal itu tidak akan merubah fakta bahwa mereka berdua sudah putus.

"Bii, bagaimana kita menjelaskan kepadanya bahwa tindakan ini hanya akan membuat dia semakin sakit hati?" Ucap Halimah dengan nada kasihan sembari memegang tangan Bima yang berada di sampingnya.

"Sayang, percayalah. Bahkan sebagai seorang laki-laki pun aku turut prihatin terhadapnya. Lihatlah, Fuadi yang dahulu selalu gagah dan berani itu. Kau lihat, badannya saat ini sudah seperti orang yang tidak diberi makan. Bahkan rasanya aku lupa kapan terakhir kali kita bertiga makan bersama." Jawab Bima dengan menatap wajah Halimah. Tatapan Bima sebenarnya sangat menyejukkan, itu sedikit menggambarkan walaupun dia terlihat temperamental tetapi di dalam hatinya dia masih menyimpan rasa sayang terhadap sahabatnya itu.

"Benar sekali. Bahkan aku lupa kapan terakhir melihat tawanya." Halimah menyenderkan kepalanya di kursi mobil.

"Aku ingin bercerita sedikit. Dahulu aku selalu merasa iri jika melihat engkau sangat dekat dengan Fuadi, bahkan aku merasa bahwa dia adalah orang yang sangat beruntung karena bertemu dengan kau. Tetapi sekarang aku sadar, bahwa disini, kalian tidak ada yang beruntung. Andai dia tahu yang sebenarnya, lantas bagaimana dengan engkau? Apakah engkau akan mengatakan yang sebenarnya?" Bima mengatakan dengan nada yang sangat halus dan lembut seolah dia tahu bahwa yang dia ucapkan adalah hal yang sangat sensitif bila tidak hati-hati.

"Aku pun memikirkan demikian. Tetapi, lambat laun kita harus memberitahunya." Jawab Halimah dengan nada yang sama lembutnya dengan nada Bima.

Setelah percakapan yang panjang antara Bima dan Halimah, kemudian mereka baru saja tiba di tepian taman kota. Bima memberhentikan mobilnya di bawah pohon yang sangat rindang. Dengan pemandangan yang menghadap ke taman kota, meskipun sedikit terhalang pohon besar, keindahannya masih bisa dirasakan.

Taman kota ini sangatlah luas. Pantas saja bila Fuadi mengatakan bahwa jika dia tidak dapat menemukan bukti, setidaknya dia mampu untuk mengenang apa yang terjadi, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menerima semuanya.

Terkadang menerima bahwa kenyataan itu menyakitkan adalah salah satu cara untuk kita berdamai dengan diri ini. Tidak ada kehidupan manapun yang menginginkan separuh hidupnya bergelimang tangisan, bahkan tangisan pun terpaksa hilang saat rasa sedih itu sudah menyatu dalam diri.

***

Mereka memutuskan untuk turun dari mobil. Ketika mereka bertiga turun Fuadi memberikan arahan bahwa mereka bertiga akan mengelilingi tempat ini. Taman ini sangatlah luas. Mereka berjalan memasuki area taman. Ketika sedang berjalan di kanan dan kiri terdapat rerumputan. Setiap berjalan sepanjang sepuluh meter akan ada tiang pendek yang setinggi pinggang orang dewasa. Tiang itu berisikan api di dalamnya, semacam obor. Di sana juga terdapat banyak anak-anak kecil. Tidak jauh dari tempat mereka berjalan, ada taman bermain khusus untuk anak-anak. Di situ terdapat beberapa wahana kecil seperti ayunan dan jungkat-jungkit. Masih ada lagi beberapa yang tidak diketahui Namanya, tetapi jangan melupakan perosotan yang di bawahnya terdapat pasir agar selalu safety.

Tidak hanya itu, di taman kota terdapat jalanan yang terbuat dari aspal. Ouh iya, jalanan yang mereka pijaki ini terdiri dari bebatuan yang sudah di cor dengan rapih. Di depan sana mereka harus menyeberangi jalan aspal sejauh lima meter. Ketika hendak menyeberang ada tiga anak yang menunggangi sepeda listrik. Mereka terlihat sangat bahagia menungganginya.

Ketika sudah menyeberangi jalan itu, mereka bertiga berjalan dengan sedikit berbincang. Ketika sedang berbincang, Bima menarik Halimah untuk menghentikan langkah kakinya. Bima melihat sesuatu yang sangat mengejutkan sekali. Bima sengaja menarik Halimah untuk tidak melanjutkan langkahnya.

"Halimah!" Teriak Bima dengan nada yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.

"Ada apa?" Halimah yang terheran karena Bima secara mendadak menariknya.

"Lihat di depan sana." Bima menunjuk ke arah yang baru saja mengejutkannya.

Halimah pun sontak terkejut dengan apa yang baru saja dia lihat. Keterkejutan mereka berdua sampai saja melupakan Fuadi. Mereka yang terhenti tentu saja tidak sadar bahwa Fuadi sedang melangkah menuju ke arah yang Bima tunjuk.

Ketika sedang melangkah Fuadi tiba-tiba saja melihat ke arah yang sama dengan yang dimaksud Bima. Sepertinya Fuadi lebih dahulu sadar hal tersebut jauh sebelum dia memberhentikan Halimah. Fuadi hanya bisa menatap diam apa yang ada di depannya. Setelah melihat banyak hal belakangan ini, rasanya Fuadi ingin mengeluh. Banyak hal menyakitkan yang baru saja dia lihat, pertama dia melihat Bima dan Halimah sedang berdua di tepi sungai. Kedua, dia melihat tangan dari Halimah dan Bima yang berpegangan di hadapannya. Dan terakhir...

Cinta Dalam CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang