Bab 23 : Kecewa

75 13 1
                                    

"Belakangan ini banyak yang kita lakukan bersama-sama. Selama lima bulan ini engkau selalu saja berada di sampingku. Aku tidak ingin menjadi orang yang kejam, menyiksa diri ini dan diri engkau juga." Fuadi memulai percakapan itu dengan bahasan yang sangat mengejutkan.

"Semenjak perginya Halimah dan Ikrab, itu tentu membuat diri ini kesepian. Namun engkau hadir menemani, dan tentunya engkau hadir membawa bahagia." Fuadi lebih dalam lagi membahas tentang itu. Jantung Aura berdegup sangat kencang sekali saat perkataan Fuadi semakin dilanjutkan, tetapi ini adalah konsekuensi dari ucapannya. Dia harus mendengarkan sampai usai.

"Tentunya tak ingin diriku ini mengabaikan hal yang sudah membawa bahagia. Rasanya ingin sekali membawa bahagia itu selamanya. Dan sebagai hal yang membuatku bahagia, maukah engkau..." Belum tuntas Fuadi berbicara Aura sudah memotongnya.

"Tidak." Aura langsung menolaknya dengan sangat tegas.

"Tentunya tak akan. Ini hanya bentuk dari rasa kasihanku karena banyaknya masalah yang engkau hadapi. Jika engkau berharap lebih, maka jawabanku tidak." Aura menjelaskan alasannya menolak Fuadi. Inilah yang menjadi kekhawatiran Aura, dan sekarang benar terjadi.

Fuadi hanya terdiam ketika ucapannya begitu saja dipotong oleh Aura. Dia juga hanya terdiam saat mendengarkan jawaban dari Aura itu. Dan lagi, dia hanya terdiam kembali sekali lagi saat Aura menjelaskan alasan dirinya menolak Fuadi.

Aura akhirnya melepaskan emosinya yang dari tadi dia pendam. Rasanya dia ingin melepaskan emosi itu dengan sangat besar, sayangnya Fuadi lah yang menjadi sasaran dari luapan emosi Aura. Aura sedikit kecewa dengan dirinya, dengan segala hal yang menimpanya, dan segala hal yang sudah memaksanya untuk berkata 'tidak'.

Tidak lama dari Aura menjelaskan, Fuadi akhirnya memberikan tanggapan. Dia sepertinya menerima saja, namun tidak semudah itu bagi Fuadi untuk menerima. "Jadi selama ini semua hal yang engkau berikan hanya rasa kasihan. Ternyata seperti ini ya, rasanya terlalu mudah untuk mempercayai orang yang baru saja ditemui." Fuadi menuturkan kekecewaannya kepada Aura.

"Yah, memang beginilah nasib seorang bernama Fuadi itu. Orang nan malang yang dirundung sepulau kekecewaan. Harapnya kepada orang lain tak lebih adalah bentuk tangisan untuk dirinya kemudian hari." Fuadi merenungi dirinya dengan sangat emosional. Sementara itu, Aura saat ini hanya merunduk menahan tangis dalam dirinya.

"Sudahnya ditolak oleh sahabat sendiri, dan kemudian tidak diberikan kesempatan oleh orang yang membuat kekosongannya berarti. Seharusnya aku sadar bahwa orang itu tak lain adalah sahabat dari mantan kekasihku sendiri. Yang jelas tak mungkin berbeda akhirnya, mengecewakan." Fuadi kemudian berdiri dari tempatnya duduk tadi. Sontak membuat Aura terkejut, dan menatap ke arah Fuadi.

"Bangunlah, akan kuhantarkan engkau pulang." Fuadi kemudian menyuruh Aura untuk bangkit dan pulang bersamanya. Bagaimanapun dirinya lah yang telah mengajak Aura, dan tentunya dia juga yang harus mengantarkan Aura pulang kembali ke rumahnya dengan selamat.

Di sisi lain Aura hanya terdiam ketika Fuadi berbicara tadi. Dirinya hanya dipenuhi rasa menyesal sepanjang nafasnya. Dalam benaknya banyak kata 'andai' yang memenuhi. 'Andai tak ini, andai tak itu, dan andai tidak seperti itu pasti tidak akan berakhir seperti ino' dan kurang lebih seperti itulah kata 'andai' memenuhi benak dari Aura.

Menyesal, menyesal, dan menyesal. Dalam hatinya Aura terus menyesali setiap kalimat yang terucap dari mulutnya. Namun semua sudah tidak berarti lagi saat ini. Rasa sesal yang hadir hanyalah akibat dari tindakannya sendiri. Begitu pula ketika Fuadi memaksanya untuk pulang. Rasa sakit hati itu ada, tetapi dia sadar akan tindakannya terhadap Fuadi.

Aura kemudian beranjak dari tempat duduknya. Dia menuruti perintah Fuadi yang menyuruhnya untuk bangkit. Dia kali ini hanya menuruti semua yang terjadi. Tetapi sebelum itu Aura masih sempat berkata, "Terima kasih karena telah menerima kehadiranku. Jika engkau membutuhkan orang yang kau pandang saat ini, aku yakin engkau tahu kemana harus pergi. Kapanpun wajah ini akan selalu bersedia hadir, saat engkau membutuhkan." Begitulah ucapan Aura ketika memutuskan untuk menerima semua yang telah terjadi.

Tentunya rasa benci Fuadi terhadap Aura tidak menutup rasa penyesalannya. Dalam sesekali berkata Fuadi selalu memikirkan dirinya dengan Aura untuk kedepan. Selalu saja dalam pikirannya dia berharap Aura akan selalu ada dalam dirinya, namun dia tidak bisa untuk selalu bersama. Fuadi terlanjur kecewa kepada Aura.

Ketika Aura memutuskan untuk berbicara kepada Fuadi, disitulah perasaan Fuadi menjadi hancur. Dia merasa keputusannya terlalu terburu-buru. Dan rasanya Fuadi tidak ingin meninggalkan Aura.

Dalam perjalanan pulang mereka tidak ada sama sekali percakapan, bahkan candaan sekalipun. Rasanya sangat berbeda seperti mereka berangkat tadi. Ketika dirinya di jemput dengan balutan senyuman walau terpaksa, hanya saja kali ini keterpaksaan itu menghilang. Semuanya yang menemani hanya luka dalam diri masing-masing. Menyesali setiap keputusan, dan berupaya untuk masing-masing menerimanya.

***

"Siapa yang salah kali ini?" Fuadi bertanya kepada dirinya sendiri.

"Mengapa Aura tidak mengizinkan sama sekali untukku melanjutkan ucapan itu. Apakah dirinya sudah mengetahui akan hal itu? Jika sudah, mengapa dirinya enggan untuk menerima itu." Fuadi menitihkan air matanya. Dia berada di tepi sungai itu, tempat yang pernah diisi oleh dua orang yang sudah menolaknya, Halimah dan Aura.

"Lalu untuk apa gelang ini?" Fuadi menengok gelang yang ada di tangannya.

"Haruskah selalu kukenakan untuk mengingatnya? Bahkan pemiliknya saja enggan untuk menjadikan dirinya milikku. Lantas untuk apa kupersembahkan ini untuk diriku sendiri." Air mata Fuadi sangat deras mengalir. Dirinya tak kuasa menahan tangis atas apa yang sudah menimpanya.

"Sudahkah perasaan sakit ini berakhir?"

"Akankah diri ini hanya akan diperbudak oleh rasa sakit untuk kesekian kalinya?"

"Bagaimana jika diriku ini lelah untuk mencintai?"

"Katanya dia tak ingin diriku berharap lebih, karena dia hanya sebatas rasa kasihan. Apakah benar Aura? Benarkah engkau hanya mengasihani diriku? Lalu untuk apa engkau banyak berkorban untuk diriku? Tawa itu selalu terbayangdalam benak ini."

"Sangat sulit rasanya untuk mengendalikan rasa ini kepada orang yang memberika perhatian lebih padaku. Sejahat itukah engkau? Apakah ini hanya ulah Nirmala yang ingin membalaskan dendam? Ataukah engkau dendam kepada Nirmala sehingga menghancurkanku?" Fuadi histeris dalam pikirannya sendiri. Dirinya sangat tak bisa menahan segala marah yang keluar. Rasanya dia ingin menghanyutkan diri ke dalam arus sungai yang sedang deras itu.

Fuadi saat ini sudah terlalu dirundum emosi. Jika dirinya tidak dikendalikan oleh orang yang mengerti perasaannya, itu akan berbahaya. Bisa saja dia meluapkan segala emosinya kepada hal-hal yang sangat berbahaya. Dan Fuadi memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Huft, baiklah. Saatnya tidak bergantung kepada orang lain. Berdirilah pada diri ini, karena sejatinya manusia adalah tempat terbesar menuju lembah kecewa." 

Cinta Dalam CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang