Bab 19 : Terhasut

74 16 0
                                    

"Kenapa aku harus membenci dia?" Fuadi bertanya kepada Ikrab atas penyataanya tadi.

"Lalu apa? Apakah engkau akan melanjutkan persahabatan kalian itu? Maing-masing dari kalian sudah pernah saling jatuh cinta, itu tidak mungkin menunjukkan keadaan seperti semula." Ikrab kemudian menjelaskan maksud dari pernyataan dia tadi.

"Tetapi akan menjadi lebih buruk lagi, jika aku memutuskan untuk membenci Halimah. Kita bisa saja bermusuhan sampai masing-masing dari kita sudah berumur senja." Fuadi masih berusaha menentang pernyataan dari Ikrab. Menurutnya tidak perlu memusuhi Halimah, mereka berdua bisa bersahabat, atau sekedar menjalin komunikasi tanpa harus melanjutkan persahabatan.

"Jadi bagaimana dengan Bima? Apa kau akan mengabaikannya begitu saja?" Ikrab bertanya dengan maksud mencari celah agar Fuadi mau mengalah.

"Tidak perlu dibicarakan lagi." Fuadi mengelak pertanyaan dari Ikrab. Bahkan rasanya sangat malas untuk membahas Bima.

"Yah sudahlah. Aku ini sahabat engkau dari kecil. Tindakan ini semua untuk kebaikan engkau." Ikrab berusaha meyakinkan Fuadi.

"Lalu bagaimana membuat Halimah membenciku?" Fuadi bertanya kembali.

"Kau buatlah saja dia benci. Tuduhi saja dia hal-hal yang lain, dia pasti akan meninggalkan engkau dengan sendirinya." Ikrab semakin kencang dalam berbicara. Rasanya dia sangat yakin bahwa dirinya sudah berhasil.

"Baiklah." Fuadi menuruti semua hal yang dibicarakan oleh Ikrab. Dia terlihat sangat tidak memiliki tindakan lain, selain melakukan itu.

Langsung terbesit dalam pikiran Fuadi tentang rencana apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung bergegas meninggalkan rumah Ikrab. Dia langsung ingin menemui Halimah di rumahnya, dan kemudian membawanya ke tepian sungai seperti biasa.

Fuadi langsung bergegas pergi. Ikrab yang melihat hal itu tampak merasa senang, rencananya berhasil. Berjalan sesuai perkiraan, dan kali ini saatnya untuk Ikrab beristirahat dengan tenang. Sumber masalahnya saat ini sedang dalam ancaman.

Fuadi yang sudah sampai di depan rumah Halimah kemudian bergegas untuk mengetuk pintu. Pintu dia ketuk, kemudian tidak lama Halimah membuka pintu. Pertanyaan langsung saja dia lontarkan, "Ada apa?"dengan nada ketus menanyai Fuadi. "Ikutlah, ada sesuatu yang ingin aky bicarakan." Fuadi kemudian mencengkram tangan Halimah dengan sangat kasar. Halimah sontak terkejut dengan itu, dia kemudian memberontak dengan menarik tangannya. Cengkraman Fuadi terlepas. "Baiklah, aku ingin mengambil gadget terlebih dahulu." Halimah kemudian memasuki kamarnya dan segera mengambil gadgetnya. Dia bergegas untuk mengirimi pesan meminta bantuan. Namun, Fuadi kemudian memperingatkan untuk bergegas. Gadgetnya langsung dia hempaskan ke atas kasur. Dia keluar untuk menemui Fuadi.

"Sudah." Halimah berusaha untuk tenang menghadapi kondisi ini. Dia tidak mau Fuadi curiga bahwa dirinya meminta bantuan kepada orang lain.

Fuadi yang melihat Halimah keluar langsung saja berjalan menuju ke tepian sungai. Diikuti oleh Halimah, Fuadi berjalan sangat kencang. Hingga akhirnya mereka berdua sampai di sana. Belum genap satu menit mereka sampai, Fuadi langsung mengeluarkan pertanyaan. "Apakah kau tidak ingin kita bersahabat lagi?" Fuadi langsung memulai bertanya kepada Halimah. Halimah tidak berpikir panjang untuk menjawab itu. Rasanya jawabannya sudah sangat jelas dipersiapkan, walaupun kedatangan Fuadi tidak pernah terduga sebelumnya. "Siapa yang tidak menginginkan persahabatan ini? Aku jelas-jelas masih ingin bersama dengan engkau. Hanya saja kata-kata saat itu terlalu menyakitkan bila kembali dikenang. Tidakkah engkau ingat segala perkataan itu?" Halimah menjawab dengan luapan emosinya.

"Siapa diantara kita yang lebih kejam? Tidak kah engkau telah meninggalkanku hanya untuk lelaki seperti Bima?" Fuadi membalikkan badan dan berkata dengan amarah yang memuncak. "Lantas apa aku harus menunggu saat-saat seperti ini? Apakah aku hanya perlu menunggu orang yang aku sayangi saat itu ditinggalkan oleh perempuan pilihannya?" Halimah semakin memuncak amarahnya. Dia terlihat sangat ingin memojokkan Fuadi dalam segala hal. Fuadi tidak mau kalah, dia masih memberikan pembelaan terhadap dirinya. "Jika engkau berterusterang saat itu, mungkin kita tidak akan menjadi seperti ini akhirnya." Fuadi menegaskan ucapanya. "Lantas haruskah perempuan yang memulai? Di mana letak jiwa kelelakian engkau?" Halimah menentang pernyataan Fuadi dengan sangat menang telak. "Apa yang engkau mau? Memang benar seharusnya aku curiga, saat kau dahulu sangat tidak menyetujui antara aku dengan Nirmala. Harusnya dari situ aku tahu bahwa kau mem-" Percakapan mereka terpotong ketika ada teriakan dari seseorang. Ternyata ada yang datang.

"Sudah Fu, cukup. Tidak perlu dilanjutkan lagi kalimat demi kalimat yang keji itu. Itu semua hanya akan menyakiti Halimah." Bima bergegas menghampiri mereka yang sedang bertengkar. Rupanya Halimah menghubungi Bima dan memintanya untuk datang kemari. Nampaknya Bima datang tepat waktu. Terlambat sedikit, entah apa yang sudah dikatakan oleh Fuadi mengenai kekasihnya itu.

"Kenapa engkau ada di sini?" Fuadi tampak terkejut dengan kehadiran Bima. Dia tidak menyangka bahwa Bima akan datang sebelumnya.

"Untuk menyadarkan engkau." Bima menjawab.

"Memang apa yang salah denganku?" Fuadi mengeluarkan raut kesal karena pernyataan Bima. Halimah hanya bisa diam melihat dua orang itu beradu mulut.

"Halimah bercerita kepadaku tentang semua yang dia alami. Dia juga bercerita saat kalian berdua bertengkar. Dia tidak ingin kehilangan engkau sebagai sahabatnya Fu, apa kau tidak mengerti bahwa engkau selayaknya kakak bagi dia." Bima berterus-terang mengenai apa yang dia ketahui.

"Tidak mungkin jika alurnya mendadak seorang kekasih saling menjatuhkan. Sudah jelas bahwa engkau akan membelanya, dan tentu saja itulah yang akan terjadi." Fuadi menolak pernyataan dari Bima. Menurutnya Bima hanya membela Halimah sebagai seorang kekasih, bukan berdasarkan fakta.

"Sudahlah. Sangat sulit bila menyadarkan orang sepertinya." Pada akhirnya Halimah memutuskan untuk berbicara. Halimah pergi meninggalkan mereka berdua.

"Dan sadarlah, bahwa Ikrab hanya memanfaatkan engkau untuk balas dendam kepada Halimah." Bima kemudian menyusul Halimah setelah perkataanya barusan. Tetapi baru berjalan beberapa langkah, Fuadi kemudian menanyakan sesuatu, "Apa maksud engkau?" Bima tak acuh dengan pertanyaan itu. Tetapi dia meninggalkan teka-teki baru untuk Fuadi, "Pikirkan saja, dan cari tahu mulai dari orang yang terlibat paling dekat sebelum engkau datang kemari." Bima langsung menyusul Halimah dengan sangat cepat.

Fuadi kali ini hanya berdiam saja. Dia tidak bisa banyak berkata. Memikirkan apa yang dimaksud oleh Bima. 'Pikirkan saja, dan cari tahu mulai dari orang yang terlibat paling dekat sebelum engkau datang kemari' katanya, "Bagaimana dia tahu jika aku telah bertemu dengan Ikrab sebelum hendak ke sini." Pertanyaan dan kebimbangan menyelimuti pikiran Fuadi. Rasanya dia ingin segera berbaring saja di tempat tidur. Dia terlalu lelah untuk segalanya hari ini.

Fuadi masuk ke dalam rumahnya. Dia membaringkan diri di atas kasur yang berantakan itu. Keterlambatan tadi pagi membuat dirinya tidak bisa merapihkan kamarnya, terlebih lagi kasurnya. Jika hari kemarin Fuadi harus terganggu pikirannya, maka tampaknya mala mini akan menjadi malam yang panjang untuk Fuadi. Karena pikirannya akan menghambat dia tidur. Dalam benaknya dia berpikir, "Siapa yang harus di percaya?".

Cinta Dalam CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang