Muak dengan kegagalan konstan membuat portal, Kala memutuskan kembali ke akademi bersamaku. Kami larut dalam keheningan panjang karena aku masih malu dengan yang tadi. Aku yakin Kala pun merasakan hal sama.
Kala sukarela memberiku tumpangan, paling tidak sampai ke <Zona yang Telah Ditentukan>, dan aku tidak henti-hentinya menjerit sambil memegang jubah Kala. Gamang, takut jatuh dan nyawaku berakhir di bawah sana.
Ini memalukan. Bisa-bisanya seorang peri takut pada ketinggian. Tapi, bayangkan saja kalian duduk di ojek atau mobil terbang. Atau permainan rollercoaster dan kora-kora. Begitulah sensasinya kira-kira. Aku bertahan bergeming karena dimakan perasaan malu.
Seharusnya tidak usah kuajari dia berdansa!
"Kau dari mana saja 20 hari ini, Kala? Kami pikir kau sudah ditangkap dan dibunuh Blackfuror." Master Wodah mengomel, jelas. Kala menghilang tanpa kabar apa pun.
"Aku tertidur lama di Lembah Koilos setelah mencium sebuah bunga, Master. Maaf."
Wah, pandai betul pria ini mengarang alasan. Di bumi kelak dia bisa menjadi seorang pembuat cerita atau berakting sebagai aktor.
Aku tidak mau ikutan kena khotbah. Biarkan saja Kala menanggung semua omelan Master Wodah. Salah sendiri, pergi tidak izin dulu. Kan bikin orang-orang khawatir. Sayapku terkepak membawaku pergi dari Supreme.
Sebenarnya aku mau pergi ke kamar untuk membersihkan diri, namun keramaian di pintu aula utama, merebut perhatianku. Aku turun ke koridor. "Iris, ada apa?" tanyaku kebetulan ada Iris dan Mamoru berdiri di sana.
"Ada yang aneh pada Blessing Statue. Sudah seminggu ia tidak aktif. Para peri di kelas Newbie semakin menumpuk karena tidak bisa naik kelas tanpa bangkitnya kekuatan."
Kami tak diizinkan masuk ke Aula Putih. Aku bisa melihat para guru berkumpul di dalam, kecuali Master Wodah yang mungkin masih menceramahi Kala. Ada Madam Shayla, Madam Allura, Wakil Siofra, Madam Veela, dan guru-guru yang tidak kukenali.
"Bagaimana, Tethys? Apa yang kau rasakan?"
Tunggu dulu, itu kan nama guru yang sempat disinggung Sina saat aku awal-awal aku ke sini? Katanya beliau guru yang keras, aku jadi lupa beberapa waktu tentangnya. Aku terus menguping, sama seperti peri-peri lain.
"Ini tidak baik, Siofra. Entah kenapa energi Sabaism tiba-tiba melemah, samar hendak menghilang. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada istana kediaman Sang Dewa."
Hmm, aku mengelus dagu. "Apa rusaknya Sabaism adalah petaka bagi kita?" gumamku.
"Tentu saja, Verdandi!" Iris terlanjur mendengar gumamanku yang pelan itu. Indra pendengarannya tajam juga, heh. "Jika ada masalah pada Sabaism, maka Pohon Neraida takkan bertahan. Pohon buatan itu masih berfungsi sampai sekarang sebab mengambil sejumlah energi dari Sabaism. Bayangkan kalau terjadi sesuatu, kita tak bisa terbang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Hush, Fairy Verdandi!
Fantasy[Fantasy & (minor) Romance] Bukan salahku menjadi seorang gadis ceriwis yang suka banyak tanya. Lagi pula, bertanya adalah kebiasaanku sejak kecil. Seperti kata orang: tidak mudah menghentikan kebiasaan. Bahkan sudah ganti status jadi seorang peri...