Aku duduk termenung di kamarku.
Tadi di lapangan, setelah Tuan Alkaran menceritakan kisah masa lalunya dengan Amaras, tidak ada satu pun yang membuka mulut. Lebih tepatnya berat untuk bertanya. Parnox pun membubarkan barisan. Meski tampak tegar, aku tahu dia juga terpukul.
Amaras berambisi naik ke Sabaism untuk meminta pada Sang Dewa menciptakan Klan Malaikat. Tujuan yang terdengar gendeng, namun Amaras serius dengan misinya itu.
Persahabatan yang hancur karena salah paham. Yang satu berniat meredakan emosi, yang satu lagi keras kepala mau menuntaskan misi apa pun yang terjadi. Amarah memang sebuah petaka nan melahirkan racun berbisa.
Lalu... Aku beranjak bangkit, menatap Pohon Neraida yang hanya tersisa batang dan ranting, beralih menatap telapak tangan.
"Tuan Putri Stella, kandidat kuat pemimpin Klan Peri. Sosok yang membuatkan Pohon Neraida. Sisa-sisa kekuatannya tertinggal di portal lalu merasuki tubuhku. Membuat Swift Growers kekuatan mitos menjadi nyata..."
Aku menghela napas pendek. Entah harus bersyukur telah mendapat kekuatan ini atau harus merutuki nasib karena menjadi harapan Subklan Fairyda untuk menyelamatkan Pohon Neraida. Perasaanku bercampur aduk.
TOK! TOK! TOK!
Berhenti gundah gulana, aku membukakan pintu. Ternyata teman-temanku. Aku menaikkan satu alis ke atas. Kenapa mereka memandangku seperti itu? Tatapan khawatir.
"Kenapa?" Aku bertanya kikuk, gugup dengan cara Sebille dan Rissa memandangiku.
"Kau baik-baik saja, Dandi? Kami cemas kau tertekan setelah mendengar cerita barusan. Tadinya aku ingin meminjam kekuatanmu dan membantu meringankan bebanmu, namun Parnox bilang, hanya Swift Growers asli yang harus menumbuhkan Pohon Neraida."
Sina melangkah masuk ke dalam kamar, merangkul bahuku. "Dandi temanku sayang, kalau kau merasa stres oleh tanggung jawab, jangan sungkan membaginya. Jangan dipendam. Kami siap menjadi bahu untukmu."
"Terima kasih. Aku baik-baik saja, jangan khawatir." Mereka benar-benar kumpulan peri baik. Aku harus membulatkan tekad.
Aku harus bisa memperbaiki Pohon Neraida setelah perang besar selesai. Harus.
*
Meski setengah pertanyaan di kepalaku sudah terjawab oleh cerita Tuan Alkaran, tetap saja masih ada yang mengganjal. Aku pergi ke perpustakaan untuk mendinginkan kepala, namun tertahan mendengar suara Rinvi dan Parnox yang bercakap-cakap serius.
Jarang-jarang aku melihat mereka berdua. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang penting. Aku menempelkan telinga.
"Kala tidak memberitahumu? Aku pikir kalian berteman," tekan Parnox bersedekap.
Oh? Tentang Kala rupanya.
"Dia selalu sensitif ketika kutanya alasan dia pergi dari klannya. Terus terang Ketua, aku dan Kala tidak sedekat yang Anda pikirkan. Lagi pula sapunya kan sudah bilang kalau Kala ingin menyelamatkan muridnya, Ascal."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Hush, Fairy Verdandi!
Fantasy[Fantasy & (minor) Romance] Bukan salahku menjadi seorang gadis ceriwis yang suka banyak tanya. Lagi pula, bertanya adalah kebiasaanku sejak kecil. Seperti kata orang: tidak mudah menghentikan kebiasaan. Bahkan sudah ganti status jadi seorang peri...