"Anu... Sepertinya aku bisa mengeluarkan Tuan Aran dari sangkar putih itu," celetuk Hal sambil mengangkat tangan, menyela obrolan.
"Tolong panggil saya Aran saja, Utusan."
Oke. Tampaknya Hal tak dapat membendung rasa kesalnya lagi. Dia melipat tangan ke dada, menggelembung jengkel. "Dengar, ya. Aku ini masih 15 tahun. Masih remaja. Masih bocah kencur kemarin sore. Sementara anda, pasti sudah 40 tahun atau ratusan mungkin.
"Ini bukan soal siapa yang derajatnya paling tinggi, Tuan Alkaran, melainkan sopan santun terhadap orang yang lebih tua dari kita. Aku tidak menormalisasikan sikap kurang ajar mentang-mentang aku berteman dengan Tuhan dunia ini, Dewa kalian. Bagiku semua orang setara. Jangan sungkan dan panggil aku Hal saja. Aku tidak suka dipanggil begitu.
"Lagi pula, aku tidak menganggap diriku sebagai utusan apalah itu. Menjadi anak buah Luca? Lebih baik aku pulang saja ke rumah dari pada harus melayani dewa nyebelin itu."
Kami terdiam. Kalimat Hal serius sekali.
Aku menatap Hal yang bersedekap sebal. Aku tidak tahu Hal menjunjung tinggi etika. Lalu apa maksud kalimatnya yang 'Tuhan dunia ini'? Hal berbicara seakan dia bukan dari sini.
Tuan Alkaran menghela napas singkat. "Baik, Hal. Kenyamananmu adalah yang terutama."
Parnox yang dari tadi diam menyimak akhirnya membuat mulut, melipat tangan. "Aku bukannya meragukan kemampuanmu sebagai utusan tuhan, Hal, tapi kerangkeng menyebalkan yang mengurung Tuan Aran bukankah penjara besi biasa. Itu dibuat dari kekuatan yang diberikan Blessing Statue, pecahan dinding kediaman Sang Dewa."
Hee, begitu? Ujung mata Hal melirik Patung Kekuatan yang kini sudah memiliki wajah. Dia tersenyum mantap. "Maka dari itu serahkan padaku," ucapnya justru tersenyum mantap.
"Tapi..." Parnox menggaruk kepala.
"Melindungi adalah kekuatanku," lanjutnya percaya diri. Berkacak pinggang. "Asal kalian tahu, aku pernah menguliti dinding Sabaism dan menjualnya. Aku juga pernah mengamuk, berduel 1V1 dengan Penyihir Agung Paijo, lantas menghancurkan isi dalam Sabaism."
"HAH?! KAU MENGULITI SABAISM?" seru Aquara tak bisa menahan rasa kagetnya.
"APA? DUEL DENGAN KEPALA SEKOLAH PAIJO?!" Pun Kahina yang melotot ngeri.
Hal menyengir kuda. "Kenapa tidak? Sabaism terbuat dari berlian. Toh, Luca mengizinkanku mengambilnya. Rezeki kenapa disia-siakan. Sebenarnya aku ini pelit dan mata duitan. Lalu untuk Paijo, dia yang cari masalah denganku."
"A-anda hebat, Utusan Hal. Bahkan Kala sekalipun tidak mungkin bisa melakukannya."
Kahina ada dendam pada Kala kah?
Madam Tethys tersenyum pilu. "Di saat orang-orang berebutan dengan pecahan dinding Sabaism, anda justru menjualnya..."
Aku memanyunkan bibir. Prestise Hal sebagai 'Utusan Dewa' menghilang begitu saja. Dia dengan santainya bilang dirinya menyukai uang. Tebal muka pula. Haah, dia realistis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Hush, Fairy Verdandi!
Fantasy[Fantasy & (minor) Romance] Bukan salahku menjadi seorang gadis ceriwis yang suka banyak tanya. Lagi pula, bertanya adalah kebiasaanku sejak kecil. Seperti kata orang: tidak mudah menghentikan kebiasaan. Bahkan sudah ganti status jadi seorang peri...