Aku akui, Tuan Alkaran lebih tampan daripada Papa. Kalau Papa tahu soal ini, beliau pasti akan mengambek dan mengadu sama Mama. Lalu aku ft Mama akan menertawai Papa yang sudah berkepala tiga masih saja kekanakan.
Tapi pertanyaan terbesar yang muncul di benakku saat ini adalah: mengapa Tuan Alkaran berdiri di dalam kurungan putih yang penuh terali besi dan tak ada satu pun pintu atau jendela keluar. Beliau seperti burung yang dibelenggu dalam sangkar nan indah.
Tep! Aku kaget, menoleh. Seseorang menepuk bahuku karena aku terus melongo. Magara.
"Itu adalah perbuatan Amaras di masa lalu. Kekuatan Amaras adalah Birdcage Gift. Dia bisa membuat kurungan dan penjara yang mengunci Tuan Alkaran adalah Tingkat 4, Sangkar Keabadian. Sejauh ini, tidak ada yang bisa memecahkan kurungan tersebut."
Aku menelan ludah gugup. Kekuatan yang mengerikan. Versi tertinggi dari kekuatan Sina dan mantra Sanctuary-nya Kahina.
"Amaras memiliki empat kurungan. Tingkat 1 berwarna cokelat, mudah dirusak. Tingkat 2 warnanya emas, setidaknya butuh 50% dari kekuatanmu untuk menghancurkannya. Tingkat 3 berwarna hitam. Untuk bebas, kau perlu menggunakan seluruh kekuatanmu. Lalu Tingkat 4, level terakhir, berwarna putih platina. Penjara yang tak bisa diapa-apakan termasuk yang membuatnya sendiri. Tuan Alkaran sudah lama terkurung di sana."
"Lalu... Kenapa Tuan Alkaran hanya diam saja? Beliau tak coba meloloskan diri?" Pria itu adalah pemimpin Subklan Fairyda. Tidak mungkin dia punya kekuatan yang lemah.
"Sayangnya kemampuan Tuan Alkaran tidak sehebat milik Amaras, Dandi, " celetuk Alia membaca pikiranku. Dia menghela napas gusar. "Mungkin karena sifat beliau yang membenci pertarungan, Blessing Statue pun mengaruniai Patience. Kemampuan memberi sugesti hangat, kesabaran, meredakan emosi, dan menenangkan mental, seperti namanya."
Di Bumi, kekuatan beliau sangat ampuh bagi pasien rumah sakit jiwa. Aku serius. Tuan Alkaran pasti akan sangat populer kelak. Penjahat nan melakukan tindak pidana yang dipicu oleh kemarahan akan berkurang.
"Jadi... Amaras mengurung Tuan Alkaran..."
"Ya, perdebatan di masa lalu serta alasan mengapa Blackfuror sampai terbentuk. Tidak banyak guru-guru mengetahuinya. Hanya Wakil Siofra yang kelihatannya mengerti."
Dan hening. Kami kembali memperhatikan beliau yang bercakap-cakap dengan Parnox. Aku paham mengapa hanya Parnox yang bisa bertemu dengan Tuan Alkaran. Itu karena akan sangat ribet bagi beliau beraktivitas di dalam kurungan besi menyedihkan. Kekuatan teleportasi Parnox sangat dibutuhkan.
Aku melirik Kala yang menundukkan kepala. Sepertinya dia tidak bisa melakukan apa pun pada Sangkar Keabadian. Kukatupkan rahangku. Amaras bukan lawan yang mudah.
Bagaimana cara mengalahkan Amaras? Siapa yang bisa melawannya? Kala, penyihir hebat? Rinvi, penyegel kekuatan? Atau Alia, si pengontrol? Duh, aku malas memikirkannya.
Tentu saja aku tidak masuk ke dalam daftar peri yang (kemungkinan) bisa melawannya. Aku hanya seorang penumbuh cepat.
"Kita tidak bisa menghadapi Amaras," kata Tuan Alkaran seolah membaca pikiranku (lagi). "Aku tak mau mengambil resiko, Siofra. Sekali dia mengeluarkan Sangkar Keabadian, kalian akan bernasib sama denganku. Aku tidak ingin rekanku dikurung bagai burung."
"Tapi Pemimpin, kalau terus begini..." Madam Tethys menghela napas kasar. "Anda paham maksud saya, kan? Soal Swift Growers."
"Kita sudah memiliki sekutu penyihir dan druid. Mungkin saja kita punya kesempatan, Aran," imbuh Master Olavo menambahkan.
"Itu benar." Madam Veela mengangguk. "Aku dengar beberapa peri penting di Blackfuror berpihak pada kita. Kita pasti bisa menang."
Parnox menghela napas panjang—dia dari tadi menonton sambil bersandar di pilar akademi, melipat kedua tangan ke dada—akhirnya ikut andil ke debat. "Kala-La dan Verdandi sudah mengonfirmasi beritanya, Tuan Alkaran. Sayap Malaikat menuju tahap kesempurnaan. Jika Blackfuror berhasil merebut Swift Growers, anda tahu langkah dia selanjutnya. Naik ke Sabaism dan menjalankan misinya yang masih jadi misteri sampai sekarang."
Sudah kubilang panggil Kala saja. Entah kenapa aku bisa memahami raut wajah Kala.
"Amaras sudah banyak memasok sayap peri dan kekuatan selama tga tahun ini. Agaknya dia tidak butuh patung kita lagi. Incarannya yang tersisa adalah Swift Growers. Kita harus melakukan sesuatu. Antisipasi. Berontak."
"Bisakah kita tenang sebentar!"
Kegaduhan di halaman menguap demi melihat Wakil Siofra meninggikan suara. Aku tidak ikutan lho, ya. Karena aku tahu aku super cerewet, aku mengunci mulutku rapat-rapat.
"Aku tahu kalian para peri dan para guru sedang gelisah saat ini. Aku merasakannya karena aku sendiri juga risau. Perang Besar di depan mata dan kita tahu persis kita dilarang membunuh apa dan siapa pun. Tapi mendesak Tuan Alkaran bukanlah pilihan bijak.
"Kalian lihat sendiri, kalian mendengarnya sendiri, bahwa Tuan Alkaran tidak ingin kita bernasib sama dengannya. Terpenjara seumur hidup seperti primata. Peri tidak bisa bebas.
"Itu karena Tuan Alkaran tahu bahwa menghadapi Amaras benar-benar bencana. Ambisi telah membutakannya, membuatnya gelap mata, menghalalkan segala cara asal ambisinya terpenuhi. Misinya tercapai. Mau sekuat apa kita, kita takkan pernah bisa memadamkan api ambisi dalam diri Amaras."
Semua orang diam, termasuk Parnox. Dia menghela napas kesal, kembali ke tempatnya.
"S-sebenarnya apa tujuan Amaras sampai seambisi itu? Kenapa dia sangat ingin naik ke Sabaism?" Sebille bertanya patah-patah. Takut? Jelas lah. Tetapi barusan dia meminjam kekuatan Courage Hyper yang membuatnya berani mengutarakan isi hatinya.
Aku padamu, Sebille! Aku juga penasaran! Bukan hanya aku, melainkan semua peri Fairyda kecuali Wakil Siofra yang mendesah.
Beliau melirik Tuan Alkaran yang mimik mukanya berubah tak nyaman. "Mungkin sudah saatnya memberitahu cerita itu, Aran. Kita tak bisa terus-terusan terperangkap di lubang kekecewaan bernama masa lalu."
Parnox memperhatikan Tuan Alkaran dan Wakil Siofra, mendengar gumaman mereka. Akankah kali ini beliau mau menceritakan kisah lampau mereka; Alkaran dan Amaras? Soalnya selama ini beliau selalu menolak.
Tuan Alkaran memantapkan hati, menghadap ke arah kami. Hatiku entah kenapa sakit melihat beliau terkurung di dalam sana, tak bisa ke mana-mana. Sudah berapa tahun...?
"Dengarkan aku, Fairyda's. Alasan Amaras seperti sekarang adalah kesalahanku. Aku lah yang memicu permusuhan dan petaka ini."
Kami tersentak, melotot kaget. Guru-guru menatap tak percaya. Wakil Siofra lebih-lebih. "Aran! Sudah berkali-kali kubilang, itu bukan salahmu. Yang terjadi di antara kalian berdua hanya salah paham. Kau yang mau menghibur Amaras namun Amaras mengira kau mencuri idenya. Tidak ada yang bersalah di kasus ini."
" Jangan membela, bukan, seharusnya kau berhenti bilang aku tidak bersalah pada Amaras. Aku ingin rakyatku tahu betapa liciknya pemimpin mereka ini saat masih menjadi peri ibukota di lampau hari."
"Alkaran...!" Kulihat Wakil Siofra frustasi.
"Fairyda's, dulu aku dan Amaras berkawan karib. Kami adalah partner kerja di ibukota. Kami sudah menjalin hubungan pertemanan selama sepuluh tahun. Aku dan Amaras telah banyak menciptakan sayap untuk para turis. Suka duka kami lewati bersama. Sungguh ironis mengingat apa yang terjadi pada kami sekarang. Tapi kita bahas itu nanti-nanti."
Kami diam. Fokus mendengar cerita beliau.
"Aku dan Amaras perajut sayap nomor satu di ibukota Feehada di masa emas kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Hush, Fairy Verdandi!
Fantasy[Fantasy & (minor) Romance] Bukan salahku menjadi seorang gadis ceriwis yang suka banyak tanya. Lagi pula, bertanya adalah kebiasaanku sejak kecil. Seperti kata orang: tidak mudah menghentikan kebiasaan. Bahkan sudah ganti status jadi seorang peri...