Orang-orang di sekelilingku memandangiku aneh. Mereka saling berbisik dengan teman jalannya sambil mengomentariku yang berjalan pincang dengan kepala tertunduk.
Di saat remaja perempuan gaul bertanding siapa yang paling cantik dan mengenakan baju feminin, aku justru mengenakan jubah kotor bekas pertarungan. Terkena oleh debu dan puing-puing akademi. Tentu saja mereka menatapku tertarik sekaligus bersimpati.
Sudahlah. Aku mencoba menghiraukan mereka, berjalan senjang menuju rumah sakit terdekat. Syukurlah tidak terlalu jauh. Kaki dan tanganku sudah berdenyut ngilu soalnya.
"Siapa namamu, Gadis Muda? Umur?" tanya perawat pria di meja administrasi, mengusap kumisnya yang baplang, menatapku seperti x-ray. Kondisi pasien ini parah sekali. Entah kenapa aku mengerti arti pandangannya.
"Verdandi." Aku meringis lagi. "15 tahun."
Dia berhenti menulis, bangkit dari kursi office. "Karena keadaanmu tampak buruk, aku akan melewatkan sesi pendaftaran," katanya membuatku refleks mengerjap. Baik sekali. Dia mengambilkanku kursi roda, membantuku duduk. "Kau sendirian? Di mana walimu?"
Nah, bagus Verdandi. Aku harus apa? Berbohong! Mengarang sebebas mungkin!
"A-aku tidak tahu, Pak Perawat. Ketika aku bangun, kondisiku sudah begini. Aku hanya ingat namaku saja," terangku pelan dengan intonasi suara sedih yang dibuat-buat.
Hilang ingatan? Dia mendorong kursi roda lebih cepat ke sebuah ruangan. Begitu tiba di sana, dia tanpa basa-basi mengetuk pintu, menampilkan sosok dokter perempuan.
"Dok, pasien cedera kepala."
Beliau pun melirikku, menyenter kedua retinaku, kemudian mengangguk. "Bawa dia ke kamar 303. Aku akan menyusul."
*
Dokter wanita dan perawat pria yang mengurusku benar-benar orang dewasa yang baik. Mereka mengizinkanku tetap menggunakan jubah, hati-hati memerban kaki dan tanganku. Tak lupa kepalaku— ternyata berdarah di luar sepengetahuan.
"Kamu diapakan sampai tubuhmu seperti ini?" celetuk Dokter geleng-geleng kepala.
Tak mungkin aku menjawab aku habis perang melawan kelompok peri jahat, kan? Aku bisa-bisa dikirim ke bangsal rumah sakit jiwa.
Si Perawat pria berbisik ke Dokter wanita, "Apa dia korban penculikan? Keadaannya terlihat tak memungkinkan. Gadis malang ini amnesia, ada kemungkinan dia kecelakaan saat melarikan diri dari tempat sekapan."
"Aku setuju denganmu." Dokter mengangguk.
Tubuhku lambat laun tidak sakit-sakitan lagi karena mereka menginjeksikan obat pereda rasa sakit. Aku beranjak berdiri. Tanganku di-gips, mereka juga memberiku kruk untuk membantuku berjalan. "Ini semua pasti lah mahal. Aku tidak punya uang," gumamku tanpa sadar. Hah?! Sial! Mulut ini keceplosan!
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Hush, Fairy Verdandi!
Fantasi[Fantasy & (minor) Romance] Bukan salahku menjadi seorang gadis ceriwis yang suka banyak tanya. Lagi pula, bertanya adalah kebiasaanku sejak kecil. Seperti kata orang: tidak mudah menghentikan kebiasaan. Bahkan sudah ganti status jadi seorang peri...