EPILOGUE

1K 106 11
                                    

Aku memimpikan sebuah ramalan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memimpikan sebuah ramalan.

Di sana, aku melihat teman-temanku terbaring di hamparan tanah yang berlubang di mana-mana. Aku berteriak histeris, ingin membantu mereka, namun suaraku tidak bisa keluar. Aku tak bisa menyentuh mereka. Ada juga bangunan FLY Academy yang roboh.

Apa yang terjadi? Mimpi apa ini sebenarnya?

Tap! Demi mendengar suara langkah itu, aku berhenti menangis, menatap ke depan, mendapati sosok Kala yang berdarah-darah.

"Maafkan aku, Dandi... Sepertinya aku tidak bisa melindungimu lagi. Maaf aku lemah..."

Bola mataku membulat sempurna. Sebuah pedang menembus dada Kala. Bukan darah yang keluar, melainkan batu berwarna aqua. Batu tersebut mengeluarkan kesiur angin.

Sosok yang menikam Kala menyeringai, menggenggam batu berkilauan itu. "Akhirnya kudapatkan juga roh terakhir. Spirit Angin."

Kriingg!!! Alarm berdering kencang.

Aku membuka paksa mataku. Napasku menderu. Bahuku naik-turun. Peluh keringat membasahi baju tidurku. Pukul 06.30 pagi.

Ini adalah keenam kalinya aku bermimpi aneh seperti itu dan semuanya saling terhubung. Seseorang yang jahat mengincar Kala.

"Dandi, cepat bangun dan mandi! Waktunya sekolah! " Suara Mama membuyar lamunanku.

Hufft. Aku menyeka air muka, menganjakkan selimut ganda yang membungkus tubuhku karena semalam suhunya sangat dingin, beranjak dari kasur, melangkah ke cermin.

"Eh?" Aku mengerjap, terbengong melihat pantulan diriku. Air mataku mengalir ke pipi. Apa aku menangis karena mimpi barusan?

Kenapa aku begitu khawatir? Lagi pula aku bisa apa? Aku tidak bisa lagi ke Asfalis, jadi percuma saja memiliki perasaan seperti ini. Kala itu penyihir yang kuat. Apalagi dia tidak sendirian di sana. Dia bisa melindungi diri.

Benar. Terlebih, itu hanya mimpi... kan?



[END] Hush, Fairy Verdandi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang