03. Anak yang Tidak Diharapkan

103 16 0
                                    

"Bunda sudah peringatkan kamu dari awal untuk jangan membiarkan Aca sendirian, Naka! Kenapa kamu malah lupa?!" Hana memarahi sang putra usai Marsya dinyatakan kritis.

Bagaimana tidak, gadis itu kehilangan banyak darah bahkan denyut nadinya sempat menghilang sebelum akhirnya dapat tertolong.

"Maafin Naka, Bunda. Naka benar-benar minta maaf," Lelaki itu benar-benar menyesal melupakan pesan dari sang ibunda.

"Kenapa Aca sampai ngelakuin itu? Apa yang sudah kamu lakukan sama dia?" tanya Hana mencoba mengorek penyebab utama sampai kejadian mengerikan ini terjadi.

Naka menggigit bibir bawahnya, ia menunduk dalam karena tidak mampu menatap Hana. "Naka marahin dia," ucapnya begitu pelan.

Hana mengusap wajah dan menghembuskan napas lelah. Wanita berhijab itu kemudian duduk di samping sang putra dan mencoba bertanya lagi dengan keadaan sedikit tenang.

"Kenapa, Naka? Kalian baru menikah dua hari yang lalu, kenapa kamu malah memarahi istri kamu sendiri? Apa yang dia perbuat sampai-sampai kamu marahi?" tanya Hana sambil mengusap lengan sang anak.

"Naka nuduh Marsya hilangin dokumen penting Naka, padahal ternyata dokumennya udah Naka kirim sama Lucky,"

"Nakaaa!" Hana memukul bahu Naka dengan tatapan mata berkaca-kaca. "Kamu itu gak bisa berubah! Apa-apa dibawa emosi! Harusnya kamu pastikan lebih dulu sebelum memarahi orang di sekitar kamu!" ucap Hana yang benar-benar kecewa pada sang putra.

"Bunda, maafin Naka," Lelaki itu mencoba memenangkan

"Ternyata memang benar kalau Bunda itu gak becus jadi ibu!" ucap Hana membuat Naka lantas memeluknya. "Bunda gak bisa didik anak Bunda sendiri untuk bisa jaga perempuan, apalagi itu istrinya sendiri," imbuhnya begitu lirih.

"Maafin Naka, Bunda. Naka benar-benar minta maaf,"

"Naya percayakan Aca ke Bunda dengan harapan suatu saat kamu bisa jaga Aca dan jadi support system buat dia. Lima tahun Aca hidup dengan kebebasan, dan Bunda nikahkan kalian supaya pergaulan Aca gak terlalu bebas. Bunda berharap kamu bisa membimbing Aca ke jalan yang benar seperti yang di amanahkan almarhumah ibunya. Tapi ternyata kamu malah nyakitin dia,"

Naka terdiam cukup lama setelah mendengar ucapan sang ibunda. Setelah beberapa saat dan Hana sedikit tenang, Naka mengurai pelukan mereka dan menatap Hana dengan tatapan sendu.

"Bunda, Naka gak pernah mau dinikahkan dengan Marsya. Naka gak bisa selamanya hidup bersama orang yang gak Naka cintai, Bunda. Tolong ngertiin Naka," ucap Naka begitu pelan.

Ia benar-benar tidak pernah menginginkan Marsya dalam hidupnya, apalagi untuk selamanya. Naka tidak pernah mau membayangkan kehidupannya bersama Marsya.

"Naka berhak milih, kan, Bunda?" Naka menatap sang ibunda dengan tatapan terluka. "Naka gak bahagia menikah dengan Marsya," ucapnya lirih.

***

Setelah tiga hari, Marsya sudah siuman namun kondisi gadis itu belum sembuh sepenuhnya. Sejak bangun, Marsya tidak mengucapkan apa-apa. Gadis itu menjelma menjadi batu di tempat tidurnya. Yang ia lakukan hanya bernapas dan berkedip saja.

"Aca, ayo makan dulu, Sayang. Kasian perutnya belum di isi apa-apa," Hana masih mencoba membujuk menantu kesayangannya itu untuk makan.

Marsya masih tidak merespon apapun, tatapannya terus tertuju ke langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Aca mikirin apa kalau Bunda boleh tau? Kalau mau bagi sama Bunda juga boleh, kok. Bunda siap dengerin ceritanya Aca," ujar Hana yang kini sudah meletakkan makanan sang menantu di nakas. Tangannya kini menggenggam jemari kecil Marsya yang terasa dingin.

"Di pendem sendirian itu gak enak, tau. Mending bagi aja sama Bunda, pasti lega rasanya kalau di bagi," ucap Hana pada gadis itu. Tak lupa tangan yang satunya ia gunakan untuk mengusap kepala sang menantu.

"Kenapa aku masih hidup, Bunda?" tanya Marsya bertepatan dengan Naka yang muncul di pintu. Lelaki itu tidak melanjutkan langkahnya setelah mendengar ucapan Marsya.

"Maksudnya?" tanya Hana tidak mengerti.

"Aku selalu ngerepotin semua orang, aku beban semua orang, aku enggak pantes hidup, kan?" tanya Marsya menatap wanita yang berstatus sebagai ibu mertuanya itu.

"Kenapa Aca bilang begitu? Aca bukan beban, Aca juga gak pernah ngerepotin semua orang," ucap Hana tidak suka dengan kalimat yang di ucapkan oleh gadis itu.

Marsya melirik Naka yang masih membatu di depan pintu kamar rawat inapnya.

"Naka ngingetin aku soal papa. Papa bilang aku itu beban, selalu nyusahin semua orang, kekanak-kanakan, manja, bodoh. Papa bilang aku gak berhak hidup," ucap Marsya mengingat kata-kata yang pernah ayahnya ucapkan kepadanya.

"Kelahiran aku gak pernah diharapkan semua orang, aku adalah malapetaka bagi keluarga, siapapun yang bersamaku pasti dapet kesialan. Itu semua kata papa,"



TO BE CONTINUED

CERITA INI DALAM PROSES PENERBITAN

TIDAK AKAN BENAR-BENAR SELESAI KARENA LENGKAPNYA ADA DI NOVEL NANTI🙏🏻

INFO LEBIH LANJUT JANGAN LUPA FOLLOW
WATTPAD : @Maresa17_ (AKUN INI)
INSTAGRAM : @_maresa17

Takdir (tak) Berjodoh [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang