"Saya kerja dulu, kamu jangan kecapean di rumah," ucap Naka mengecup kening Marsya cukup lama.
Marsya mengangguk kecil. "Iya, selamat kerja, Naka!" ucapnya begitu semangat.
"Bisa ke kamar mandi sendiri?" tanya Naka memastikan sekali lagi.
Marsya mengangguk pelan. "Ngesot pun gak masalah," balasnya dengan kekehan kecil.
Naka menyentil hidung gadis-wanita-itu pelan. "Kalau sekarang mau ke kamar mandi ayo, saya gendong," ucap Naka menawarkan bantuan.
"Aku bisa sendiri, Naka. Kamu gak usah khawatir. Mending sekarang kamu berangkat kerja nanti telat," ucap Marsya membuat Naka menganggukkan kepalanya kemudian mengecup pipinya.
"Saya berangkat kerja dulu, assalamu'alaikum," ucap Naka seraya menyodorkan punggung tangannya yang langsung di raih oleh Marsya.
"Wa'alaikumussalam," balas Marsya kemudian melambaikan tangannya.
"Semangat kerjanya, Dokter Naka!" ucap Marsya antusias ketika Naka menatapnya saat laki-laki itu ingin menutup pintu kamar mereka.
Naka tersenyum, kemudian senyumnya langsung hilang setelah pintu kamar tertutup rapat. Wajah dinginnya kembali hadir bersamaan dengan langkahnya yang kian menjauh dari kamar mereka.
***
"Inara, kenapa obatnya belum di minum?" tanya Naka pada pasiennya itu. Naka cepat-cepat datang ke rumah sakit karena mendapat laporan dari perawat bahwa pasien spesialnya ini menolak untuk meminum obat.
Naka menganggapnya spesial karena ia telah merawat Inara sudah tiga tahun terakhir. Mereka dekat, bahkan Naka sudah menganggap Inara seperti adiknya sendiri.
"Males, aku gak mau lagi minum obatnya," ucap gadis itu dengan wajah yang di palingkan dari Naka.
"Marahin aja, Naka. Inara sekarang bandel banget," Seorang pria yang merupakan ayah dari Inara itu angkat bicara, mengadu pada dokter yang menangani sang putri.
Naka bersedekap dada, bersiap mengomeli gadis cantik di hadapannya saat ini. "Oh, ya? Sekarang Inara bandel, hmm? Jadi, udah gak mau lagi sembuh? Gak mau nepatin janji sama saya?" tanya Naka membuat gadis itu menatapnya dengan tatapan memelas.
"Kak, obatnya pahit banget. Ayolah, sehari gak minum obat gak bakal bikin aku mati, kan?" ucap Inara.
"Iya, tapi kalau gak minum obat sehari, kondisi kamu akan down. Memangnya kamu mau makin sakit?" tanya Naka yang langsung di balas gelengan pelan oleh gadis dua puluh satu tahun itu.
"Tapi ada syaratnya," ucap Inara melirik ayahnya sekilas. "Kak Naka harus ngajakin aku jalan-jalan setelah ini," imbuhnya.
"Gimana, Naka? Saya minta tolong banget sama kamu, mau, ya?" Pria bernama Leo itu memohon pada Naka.
Naka tampak terdiam sebentar sebelum menyetujui syarat dari gadis itu. "Iya, sehabis minum obat kita jalan-jalan seharian karena pasien saya cuma kamu hari ini," ucap Naka mengusap puncak kepala Inara.
Leo tersenyum, ia semakin yakin untuk menjodohkan sang putri dengan dokter muda itu. Bagaimanapun caranya, Leo akan membuat Naka dan Inara semakin dekat lagi agar Naka bisa membuka hatinya dan menerima Inara di kehidupannya, bukan sebagai seorang adik melainkan seorang pasangan.
***
"Lo semenjak nikah gak ada kabarnya lagi, heran gue!" Laura ngomel-ngomel membuat Marsya langsung menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Salam dulu, kek. Ini main ngoceh aja. Tobat, Lau," ucap Marsya sebal.
"Gue masih muda kali, nanti aja tobatnya," balas Laura acuh.
"Idih, emang yakin bisa sampe tua umur lo? Bayangin sehabis ngomong gitu, lo meninggal," kekeh Marsya membuat Laura kembali mengomeli dirinya.
"Lo semenjak kenal Gus Azka, ngomongnya serem banget, Ca, sumpah!" ucap Laura marah-marah.
"Panutan, Lau! Lo harus cari suami kayak Gus Azka, biar lo bisa di bimbing ke jalan kebenaran. Lo, kan, sesat mulu," ucap Marsya tanpa dosa.
"Gila, ya, lo! Lo juga dulu sesat juga kayak gue," ucap Laura kesal.
"Tapi, kan, gue udah mau berubah, Lau. Nah, sekarang giliran lo. Ayo berubah, Lau. Enak banget tau pake hijab, adem banget," ucap Marsya.
"Adem dari mana, sih? Gerah yang ada," ujar Laura tidak percaya.
Marsya berdecak pelan. "Lo main ke rumah gue, deh. Biar gue ubah penampilan lo itu. Lo cantik banget, Lau. Gue yakin makin cantik kalau ketutup. Ngomong-ngomong, pas waktu gue sama Naka nikah, ada sepupunya Naka yang merhatiin lo terus. Jangan-jangan dia naksir lagi sama lo?" ujar Marsya membuat bahu Laura naik.
"Gue emang cantik, kali! Mana ada cowok yang gak mau sama gue," ucap Laura sombong.
"Kemaren ada yang bilang begitu, besoknya kesambet geledek," ucap Marsya santai.
"Males ngomong sama lo, ah!" Laura pura-pura merajuk.
"Ututu, Laura Cintaku, jangan ngambek-ngambek lagi dong," bujuk Marsya membuat Laura mengeluarkan suara seperti orang muntah.
"Asli, Ca! Eneg banget gue denger lo ngomong begitu," ucap Laura membuat Marsya tertawa.
Di sisi lain, kini Naka sudah mengendarai mobilnya menuju tempat yang ingin Inara kunjungi, yakni pantai. Tentu saja dengan syarat gadis itu tidak boleh lari-lari ataupun kelelahan ketika mereka sampai di sana nanti.
Jarak rumah sakit menuju pantai terdekat hanya menempuh waktu empat puluh menit, dan sekarang mereka sudah sampai di tempat favorit Inara itu.
"Makasih, ya, Kak!" Inara begitu senang sampai-sampai memeluk Naka saking bahagianya.
Naka balas memeluk gadis itu. "Iya, tapi inget pesan saya tadi," ucapnya mengingatkan gadis itu.
"Siap, Dokter Naka!" balas Inara mendongakkan kepalanya menatap Naka yang juga menatapnya.
Naka merapikan rambut Inara yang berantakan karena diterpa angin. "Janji jangan menyerah, oke? Saya akan ada di samping kamu untuk membantu kamu sampai kamu sembuh total," ucap Naka pelan.
"Kalau aku minta Kakak selalu ada di samping aku setiap saat, apa Kakak siap?" tanya Inara membuat Naka terdiam.
TO BE CONTINUED
CERITA INI DALAM PROSES PENERBITAN
TIDAK AKAN BENAR-BENAR SELESAI KARENA LENGKAPNYA ADA DI NOVEL NANTI🙏🏻
INFO LEBIH LANJUT JANGAN LUPA FOLLOW
WATTPAD : @Maresa17_ (AKUN INI)
INSTAGRAM : @_maresa17
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir (tak) Berjodoh [TERBIT]
Romantizm[PART MASIH LENGKAP-SUDAH TERBIT] *** Marsya mencintai Naka sepenuh hati, sedangkan Naka membenci Marsya setengah mati. Keduanya menikah karena di jodohkan oleh ibundanya Naka. Marsya yang semula hidup dengan pergaulan bebas, kini berusaha menjadi...