Awal Mula

83 15 0
                                    

Terburu-buru.

Seorang pria berkemeja biru gelap keluar dari mobil taksi dan membayar dengan tergesa-gesa. Dia lalu berjalan cepat menyusuri sebuah jalan yang menuju gedung besar di hadapannya, sebuah gedung yang hanya bertingkat dua, tetapi memiliki lebar bak pusat perbelanjaan.

Makin lama, langkah tersebut makin cepat. Raut pun tampak kesal dengan tatapan setengah cemas. Di lobi, dia menerobos beberapa penjaga meski tanpa berkelahi, juga mengabaikan orang-orang berjas lab yang dilewatinya.

Pria itu baru berhenti di depan sebuah ruangan luas berdinding kaca, yang di dalamnya ada seseorang tengah terbaring dengan alat-alat medis menempel di tubuhnya. Dia bergeming, dengan ekspresi yang tak menentu.

"Wow, keren sekali," kata seseorang dari belakang. "Kau bisa sampai di sini, secepat ini, bahkan tanpa kuberi tahu di mana dia dirawat. Sekarang pukul sepuluh pagi. Itu berarti, kau mengejar penerbangan pertama hari ini?"

Jeremy Wilson, pria berbaju biru gelap dan berambut pirang itu, menoleh, melihat sosok Bryan Parker yang saat ini tengah tersenyum palsu dengan ekspresi kemenangan.

"Apa yang kaulakukan kepada Jelena?" tanya Jeremy dengan penuh penekanan.

"Mm, menyuntik? Semacamnya."

"Maksudmu?"

"HECov-2."

Jeremy membelalakkan mata. "Dasar sakit jiwa!"

"Whoa, astaga. Apa kau baru saja mengataiku?"

Karena diberi otak yang cukup cerdas, Jeremy sudah paham apa HECoV-2 yang Bryan maksud. Entah bagaimana itu bisa ada, yang jelas, dia yakin itu adalah jenis virus yang direkayasa.

"Kau harus segera mengatasinya, Bryan! Kalau tidak, akan aku laporkan semua tindakan ilegalmu ke polisi!"

"Terserah. Aku yakin kau akan menyesalinya karena kau tahu, aku tidak pernah sendirian," balas Bryan sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana.

Jeremy ingin sekali memukul Bryan saat ini. Namun, dia sadar ini bukan tempat yang akan menguntungkannya. Dia pun menghela napas. "Sampai kapan dia bisa bertahan dengan alat-alat itu?" tanyanya, mengalihkan topik.

Bryan terkekeh. "Hm, menurut perhitunganku, kalau tidak ada tindakan yang dilakukan, sepertinya tidak sampai sepuluh hari."

Jeremy mengepalkan tangan, dan kedua mata beriris biru safirnya menyiratkan amarah. "Apa, yang sebenarnya kauinginkan? Kenapa kau melibatkan Jelena?"

"Kau memang cerdas. Tapi seharusnya, kau bertanya seperti itu sejak awal. Ya, maklum saja. Kau, kan, peringkat dua," ejek Bryan.

"Diam."

"Baiklah. Begini. Aku beri kau dua pilihan. Biarkan dia di sini dan kami akan berusaha yang terbaik, atau, bawa dia bersamamu dan carikan dia obat. Setelah kupikir-pikir lagi, aneh rasanya kalau kau tiba-tiba percaya kepadaku."

"Lupakan."

"Hm?"

"Kau tidak akan mendapatkannya."

"Apa maksudmu?"

Jeremy menatap Bryan dengan gigi-gigi menggertak. "Kau memintaku mencari obat untuk proyek ilegalmu. Kau tidak akan mendapatkannya."

Bryan tertegun, kemudian tertawa cukup keras. Pria berambut hitam itu pun menghela napas sambil mengusap tengkuk. "Ya, mau bagaimana lagi? Natalie belum mampu menemukan obatnya, bahkan vaksinnya."

Sekarang, Jeremy yang terdiam. "Natalie?"

"Kenapa?"

Tiga menit kemudian, Jeremy sudah berada di dalam sebuah laboratorium di mana Natalie telah menghentikan aktivitasnya. Perempuan berambut cokelat gelap panjang, berjas putih, dan berkacamata itu, bergeming, sedangkan Jeremy berjalan hingga tersisa jarak dua langkah.

The AmazoniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang