Bab 2 : Adrenalin

21 12 0
                                    

Dingin.

Earlene yang sudah memakai jaket tampak memeluk tubuh sambil sesekali mengusap lengan. Dia menahan diri agar tidak tampak menggigil sementara empat pria di sana membereskan tenda. Suasana masih cukup gelap, tetapi di ponsel mereka tertera bahwa sekarang sudah pukul tujuh.

“Kau kedinginan?” tanya Jeremy.

“Ini belum terlalu jauh. Kau masih bisa kembali kalau kau ragu,” sahut Arion untuk Earlene setelah menyerahkan tas carier kepada Dave.

“Aku tidak akan melakukannya,” balas Earlene.

“Kenapa? Kau takut tersesat?”

“Hei, apa kau punya masalah denganku? Kenapa kau terus memancingku? Aku tidak takut tersesat. Aku bahkan tidak takut mati!” pekik Earlene.

Di tengah keributan, Jeremy melempar sekemas roti ke arah Gerry, lalu ke arah Dave. “Berhenti bertengkar dan cepat sarapan, kalian berdua,” katanya sebelum melempar roti juga ke arah Arion dan Earlene.

Earlene menerima lemparan dengan cukup terkejut, lalu melirik Arion dengan sinis sebelum menduduki sebuah batu besar di sana. Gadis itu pun mulai makan di samping Gerry yang sedang mengunyah tanpa membuka mata.

[]

Joy baru saja membuka mata. Perempuan itu segera memperbaiki posisi duduk, lantas mendesis seperti sedang sakit. Dia menyentuh leher lalu bibir, merasa kehausan dan kedinginan.

“Hsss, mimpi buruk lagi,” desisnya tidak begitu jelas. “Kupikir aku sudah mati atau semacamnya.”

Joy benar-benar tidak menyangka masih bisa bangun hari ini. Semalam dia sangat kedinginan. Dia bahkan belum pernah mendapati tubuhnya sedingin itu selama dua puluh delapan tahun.

Akan tetapi, Joy tidak terlalu mensyukurinya. Mati di sini mungkin terdengar menyedihkan, tetapi hidup pun tak jauh berbeda menurutnya. Ini hutan yang wilayahnya bisa dibagi menjadi beberapa negara. Mustahil bertahan tanpa pengalaman hidup seperti tarzan.

Joy menelan ludah, lalu mengedarkan pandangan ke segala arah. Belum terlalu terang; tetapi sudah cukup jelas untuk matanya. “Kenapa tidak ada pohon yang berbuah di sini? Lalu apa yang harus kumakan? Astaga. Aku tidak mau berakhir di sini secara sadar!”

Setelah beberapa saat, Joy mengembukan napas dan berdecak jengah. Dia pun mengeluarkan ponsel dari dalam saku; daya baterai 18 persen dan jam menunjukkan pukul sembilan.

“Benar-benar tidak ada sinyal,” gumamnya, sebelum mematikan dayanya.

Setelah itu, Joy pun mengambil keranjang lalu berdiri dengan tegap. Sekali lagi, dia menoleh ke segal arah, untuk sekali lagi mencoba mengingat sesuatu.

“Kemarin aku berjalan dari arah mana?” gumamnya. “Ah, sama saja. Aku tidak akan pernah ingat.”

Joy langsung melangkah ke arah yang dipilihkan oleh naluri. Sembari berjalan, dia terus memperhatikan sekitar, barangkali ada pohon yang memiliki buah. Jalanan di sana tentu masih sama seperti kemarin; sempit, terhalang oleh semak. Itu membuat Joy kesulitan, apalagi dalam keadaan perut kosong seperti sekarang.

“Akh!”

Joy berteriak ketika sebuah duri dari sebuah ranting menggores betis kanannya. Goresan tersebut benar-benar terasa sampai betis, padahal jins yang dia pakai adalah jins tebal dan diproduksi secara terbatas oleh sebuah brand.

“Apa lagi sekarang?”

Perempuan itu langsung berjongkok dan melipat jins ke atas untuk melihat luka. Hanya satu gores, tetapi cukup menyakitkan. Joy pun segera melihat duri macam apa yang melukainya. Tidak ada bintik maupun warna hitam di ujung si duri. Itu artinya, tidak beracun.

The AmazoniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang