Gelap.
Joy dan Marc sedang dalam masalah besar, lagi. Hari sudah malam, tetapi mereka tidak punya buah sama sekali. Jajaran Pohon Liana si penyimpan air juga tak ada lagi. Kini, mereka berada di area yang menyebalkan. Sudah tidak ada air, tidak ada makanan, dingin pula. Satu-satunya hal yang mereka syukuri adalah lahan yang setidaknya bisa diduduki dan terhindar dari semak-semak tinggi.
Joy mengusap kedua lengan. Perempuan itu berjalan ke sana-sini seperti setrika. Dia sedang berusaha membuat tubuh tetap hangat meski tampak sia-sia saja. Sebenarnya, Joy ingin berjalan lagi daripada berjalan di tempat. Namun, rute di depan sana cukup menyeramkan. Pohon-pohon di sana tampak lebih rimbun dan horor.
“Karena aku menyukainya. Aku ke sini demi mencari tanaman untuk sepupunya. Lagi pula, aku, sudah, terbiasa melakukan apa saja untuk Jeremy, Gerry, dan Arion,” ujar Joy, menjawab pertanyaan Marc sebelumnya.
“Ah, aku juga mempunyai teman bernama Dave. Dia baik dan menyukaiku secara terang-terangan, tetapi aku … ya, begitu. Ada satu lagi yang paling konyol. Namanya Troy. Dia kakakku, tapi kami berbeda ayah. Ibu kami—”
“Sepertinya kau terlalu banyak bicara?” sahut Marc.
“Ah, aku memang haus.”
“Maksudku, kau bercerita terlalu jauh.”
Joy termenung. Dia baru sadar Marc hanya bertanya mengapa dirinya bersedia membantu orang lain sampai ke tempat berbahaya seperti ini. Namun, dia malah bercerita panjang lebar.
“Menurutmu begitu?”
“Hm.”
Joy pun duduk di samping Marc yang memang hanya duduk dari tadi itu. Joy masih mengusap kedua lengan. Dia juga mengusap leher, tengkuk. Sesaat kemudian, bibir pun mulai bergetar menahan dingin. Kepala juga menunduk.
“Kau mau pakai kausku?”
Joy menoleh, menatap Marc yang pucat. Pria Prancis itu jelas kedinginan. Meski samar, Joy yakin matanya tidak salah lihat. “Kau pucat, tapi malah menawarkan kaus.”
Marc melepas kaus panjang, lantas mengulurkannya kepada Joy. “Kau salah lihat. Pakai ini. Kau terlihat, sangat kedinginan. Jangan menolak lagi. Pikirkanlah Jeremy, Troy, dan teman-temanmu.”
Dengan mulut yang terus mengembuskan napas, Joy akhirnya mengangguk. Perempuan itu akhirnya menerima pinjaman kaus Marc. Karena sudah tidak tahan, dan karena ini adalah urusan hidup dan mati, dia menyingkirkan segala tumpukan gengsi dan menjadi egois.
Joy langsung memakai kaus itu, kemudian memeluk lutut erat-erat. Tangannya masih bergerak mengusap apa saja; telapak tangan, leher, kaki. Sesekali, dia melihat Marc yang duduk dengan tenang, tetapi juga sedang mengusap kedua lengan.
“Kenapa kau menawarkan kausmu, kalau kau sendiri kedinginan?”
“Karena aku seorang laki-laki.”
Joy terkekeh pelan. “Kau bisa mati.”
“Bukan kau yang menentukan itu.”
“Apa kau selalu baik seperti ini?”
“Hm.” Marc melihat Joy. “Bahkan kepada orang yang sudah berbohong, kepadaku. Omong-omong, kenapa kau menganggapku baik? Kenapa bukan bodoh?”
“Kau pintar. Aku tahu itu.”
“Kau baru mengenalku dua hari.”
“Dua hari sudah cukup.”
Obrolan tanpa jeda itu tak berlangsung lama. Setelah itu, mereka diam. Malam makin larut. Udara makin dingin. Joy masih berusaha menghangatkan tubuh. Gerakan yang tidak bisa dia hentikan adalah menggosok kedua telempap dan mengulum bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Amazonia
AdventureJoy tersesat di dalam Hutan Amazon ketika mencari tanaman obat untuk virus rekayasa yang ada dalam tubuh Jelena. Karena sebuah masalah, dia tidak bisa diketemukan dengan polisi. Jeremy dan tim pun harus mencari sendiri. Sanggupkah mereka bertahan hi...