Bab 12 : Sumber

16 12 0
                                    

Bingung.

Marc tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang ini. Sudah cukup lama pria itu meninggalkan Joy sendirian, tetapi selembar daun pun dia belum memetik. Dulu sekali, atau mungkin baru beberapa tahun andai ini 1994, Earlene sering memberinya pelajaran dadakan tentang bermacam-macam daun dan manfaatnya. Namun, karena tak pernah benar-benar memperhatikan, dia bingung sekarang.

Hanya satu yang Marc ingat, dan untunglah daun itu tiba-tiba muncul di hadapannya.

Pada awalnya, Marc memetik beberapa lembar. Lalu, karena gemas dan tidak sabaran, dia mematahkan batang yang hanya setebal spidol papan tulis itu, lantas membawa semuanya.

Pria itu sempat menoleh ke satu arah, terdiam untuk beberapa saat, baru kemudian tersadar dan melangkah ke arah yang akan membawanya kepada Joy. Dia pun berjalan dengan cepat.

“Joy!” serunya yang melihat Joy diam saja.

Joy membalas dengan menggumam. “Hmm.”

Marc mengambil posisi di sisi kiri Joy, membaringkan tubuh perempuan itu dengan bagian punggung atas hingga kepala berada di pangkuannya. Marc langsung mengambili daun-daun yang dia dapat, daun yang serupa dengan yang pernah diberikannya kepada Joy saat pertama bertemu.

Setelah melembutkan daun-daun itu dengan tangan kosong, dan sekali lagi mengelap darah yang masih keluar, Marc mulai membaluri luka Joy. Joy seketika memejamkan mata, makin kuat. Dahi dan alisnya berkerut. Dia bersuara, merintih, tetapi tidak begitu keras karena tenaganya habis.

Marc terus menghancurkan dan menghaluskan daun yang ada, lalu membalurkannya, sampai luka-luka Joy tidak terlihat lagi.

“Bertahanlah, Joy.”

Marc tahu, dalam kondisi seperti ini, sebenarnya Joy tidak boleh banyak bergerak. Namun, tempat ini juga tidak bagus untuk bermalam. Jalannya terlalu sempit, dan tidak ada makanan sama sekali.

“Joy, kau bisa mendengarku, ‘kan? Joy?”

Joy dengar, jelas. Namun, sekali lagi, tenaganya habis tak bersisa. Percaya atau tidak, sekarang dia menangis tak bersuara. Mengetahui itu, Marc pura-pura tidak tahu. Pria tersebut tidak mau membuat kesalahan.

“Aku punya kabar fantastis. Aku melihat tempat yang bagus tak jauh dari sini. Kalau kau mau berpegangan, kuat, aku akan membawamu ke sana. Bagaimana? Hm. Baiklah, aku anggap setuju. Ayo.”

Sebelum mengangkat tubuh Joy, Marc mengikatkan kaus panjang miliknya di sekitar bahu dan tangan Joy, agar daun-daun yang sudah dibalurkannya tadi tidak terjatuh.

Marc pun berjalan sembari menggendong Joy ala-ala pengantin baru. Joy tidak banyak memprotes. Perempuan itu seperti tertidur. Tak lama kemudian, sampailah mereka di bibir hutan. Bukan bibir hutan yang itu, melainkan batas antara hutan dan sebuah sungai.

Itu benar-benar sungai.

Marc kembali berjalan untuk lebih mendekati pinggir sungai tersebut, membuat Joy yang merasakan perbedaan perlahan membuka mata. Sungai itu jernih. Alirannya tidak terlalu deras. Batu-batunya tampak kokoh. Burung-burung kecil berkicau bersahutan, beterbangan menikmati semilir angin. Di tempat ini, barulah terlihat langit senja yang telah hadir.

Marc menurunkan Joy, menyandarkannya di sebuah batu besar. Pria itu segera mencuci tangan, lalu mengambil air dengan kedua tangan itu, dan mengarahkan tangannya di depan mulut Joy.

Joy pun menunduk, lalu mulai meminum air yang ada di tangan Marc, yang sudah mulai menetes melewati sela-sela jari pria itu.

Marc melakukan hal itu beberapa kali untuk Joy. Dia sempat mencari daun agar lebih mudah, tetapi di sini tidak ada daun yang cukup lebar. Tak lama kemudian, Joy sudah tampak lebih baik. Dia bisa membuka mata dengan normal meski masih begitu lemas.

The AmazoniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang