Rumah Sakit

16 11 0
                                    

Sepi.

Sebuah rumah sakit di tengah tanah lapang, tampak sepi meski beroperasi dengan semestinya. Tentu saja sepi, karena ini adalah rumah sakit yang dibangun khusus untuk keadaan-keadaan tertentu, seperti ada kecelakaan militer, ada kecelakaan pesawat, ada korban dari dalam hutan. Tak jarang juga penduduk sipil yang datang ke sini.

Joy keluar dari sebuah ruangan dengan tangan yang sudah di-gips lebih layak. Natalie yang sejak tadi berada di luar segera menghampiri.

“Bagaimana keadaanmu? Apa tidak perlu diinfus?”

Joy menggeleng. “Tapi aku pernah jauh lebih baik.”

“Apa yang ingin kaulakukan sekarang? Makan? Atau mandi? Aku bisa menyiapkan makanan dan baju untukmu, kalau kau mau.” Natalie menawarkan.

“Mungkin mandi, tapi nanti saja. Bagaimana Jeremy? Arion? Apa mereka baik-baik saja?”

“Jeremy, dia cukup baik. Dia beruntung karena sudah mendapat pertolongan sebelumnya. Lalu Arion, sepertinya dokter akan melakukan hemodialisis. Lukanya tidak terlalu fatal, tapi racun di dalam tubuhnya sudah menyebar.”

Joy langsung menghela napas berat, dan menunduk. Perempuan itu duduk di kursi tunggu. “Ini semua salahku,” ujarnya sambil mencengkeram rambut. “Ah, iya. Lalu Troy? Apa mereka belum sampai?”

Natalie melirik jam tangan. “Seharusnya sudah.”

Tak lama kemudian, terdengar suara bising dari luar, suara helikopter yang akan mendarat. Joy bergegas berdiri dan melangkah menyusuri koridor, melewati lobi di depan sana, lalu keluar.

Panas matahari masih sangat menyengat, karena ini masih siang bolong. Joy menyipit, melihat helikopter Troy yang sedang mendarat cukup jauh dari gedung rumah sakit yang tidak terlalu besar itu.

Setelah mesin mati, satu per satu orang di dalamnya pun turun; Troy, Gerry, Dave, lalu Earlene, dan Marc. Troy berjalan cepat menghampiri Joy yang berdiri diam di sana, berbeda dengan yang lain yang hanya berjalan santai.

Begitu sampai, Troy langsung mencengkeram lengan kanan Joy, memperhatikan Joy dari atas ke bawah, dengan sorot frustrasi. Tak lama kemudian, pria itu mendorong Joy cukup kuat, dan membuat Joy hampir terjatuh. Melihat itu, Gerry pun mempercepat langkah.

“Ck! Katakan. Apa yang kaulakukan di hutan itu? Apa kau sudah gila?!” teriak Troy yang tampak marah sekaligus cemas.

“Apa kau tidak bisa bertanya baik-baik, hah?!” protes Joy sebelum menepuk lengan kanan seolah menepis bekas tangan Troy.

“Hei, hei,” sela Gerry yang akhirnya sampai.

“Kau,” desis Troy kepada Gerry. “Kenapa kalian tidak menjaganya dengan baik?! Bagaimana bisa dia sendirian di hutan gila itu?!”

“Troy!” pekik Joy yang sudah memiliki firasat buruk.

Troy menghantam wajah Gerry.

Bug!

“Ah! Hei, kenapa–”

Bug!

Melihat sisi menyeramkan Troy keluar, Joy langsung mendorong pria itu menjauh dengan sisa tenaga yang ada, karena Joy tahu, meneriakinya akan sia-sia saja.

“Berhenti, Bodoh!” umpatnya.

Gerry segera berdiri sambil meringis kesakitan. “Akh, astaga. Kalau kau mencari orang yang bertanggung jawab, atas ini semua, dia, di sana. Itu.” Dia menunjuk Dave yang datang dengan tergesa karena melihat adegan pukul-pukul tadi.

“Ada apa?”

Bug!

“Akh! HEI!”

Troy terus memukuli Dave sampai Dave terjatuh dan tidak memiliki kesempatan untuk memprotes. “Beraninya kau mencelakakan Joy! Aku akan membunuhmu!”

The AmazoniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang