Sebuah Fakta

43 15 0
                                    

Bising.

Seorang pria ber-hoodie hitam dengan ransel senada tampak menyeberang jalan. Begitu sampai di seberang, dia memasuki sebuah kafe yang tidak terlalu ramai, memesan, lalu menaiki tangga untuk menuju meja yang disediakan di atap kafe.

Meski tidak ada siapa pun di atas sini, pria itu duduk di meja paling ujung. Dia segera mengeluarkan laptop dari dalam ransel, lalu menyalakannya. Begitu dekstop terlihat, sebuah notifikasi pesan elektronik muncul di sudut bawah.

Drrrt! Drrrt!

“Halo?”

“Hai, Kapten Arion. Kau sudah melihat pesanku?”

“Belum, tapi aku baru saja menerimanya.”

“Bukalah cepat.”

Pria bernama Arion pun mengeklik notifikasi itu, lalu melihat ada foto Joy dengan beberapa teks di bawahnya.

“Aku mendapat laporan kalau siang ini ada seorang perempuan yang mirip sekali dengan Joy Johnson terbang dari Washington ke Bogota.”

“Lalu?”

“Kau sedang di Bogota sekarang. Ya, ‘kan? Aku ingin meminta bantuan. Aku tahu kau sedang libur sekarang ini, tapi ini sudah malam, terlalu lama dari jam kedatangannya. Dan jangan lupa Joy Johnson adalah buronan interpol sejak dua tahun lalu.”

Arion memutar bola mata sambil mendengkus kesal. “Kau tahu aku sedang libur dan tetap meminta? Tidak. Aku tidak mau melakukan apa pun saat libur. Aku bahkan tidak berolahraga saat libur seperti ini.”

“Ayolah.”

“Tidak.”

“Ini tidak akan terlalu merepotkan. Kami akan segera datang. Kau yang terbaik di bidang ini, Kapten Arion. Kami akan membayarmu lebih dari setimpal.”

“Lupakan. Aku menolak.”

“Ah, benar kata orang. Denganmu, semua bisa dibeli kecuali hari libur. Kalau begitu nikmatilah hari-harimu.”

Tut!

Setelah panggilan terputus, seorang pelayan laki-laki datang membawa sebuah nampan berisi segelas susu dan nasi mangkuk. Pelayan itu segera menaruh pesanan itu di meja, kemudian pergi setelah Arion berterima kasih.

Arion segera meraih dan mulai meminum susu putih yang dia pesan, lalu kembali melihat foto Joy di laptopnya tanpa ekspresi. Dia pun menutup pesan itu, lalu membuka sebuah program pelacakan.

“Joy,” desisnya sambil mengetik dengan cepat tanpa melihat papan ketik. “Bagaimana bisa dia terdeteksi?”

[]

Seorang gadis tampak membuka kedua mata dengan perlahan. Dia menoleh ke kanan, memperhatikan ruangan yang ditempatinya, mencari tahu sumber kicauan-kicauan yang masuk ke telinga.

Ruangan itu luas, berdinding batu bata, dan memiliki suhu antara dingin dan panas. Di dindingnya, ada beberapa sangkar-sangkar berisi burung yang berkicau tak ada henti. Tempat itu remang-remang dengan jendela yang terbuka, membiarkan cahaya bulan sekaligus angin malam masuk.

Gadis berambut cokelat terang itu berusaha bangkit, menyingkap selimut, kemudian melihat bawah. Di samping ranjang kayu itu, ada sejumlah tabung bambu berisi cairan dan mengeluarkan uap aroma mint.

“Ssh,” rintihnya.

Ceklek!

Jeremy muncul dari balik pintu.

“Kau? Sudah bangun?” tanya Jeremy sambil berjalan masuk. “A-apa ada yang, sakit? Pusing? Oh, ini. Minumlah dulu,” lanjutnya sambil mengambilkan segelas air yang ada di atas nakas.

The AmazoniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang