Bab 13 : Perasaan

17 13 0
                                    

Gelap.

Malam sudah benar-benar tiba. Joy dan Marc sudah memiliki api unggun, juga memiliki kanopi yang Marc sebut tenda. Berbeda dengan tenda pertama Marc, tenda kali ini memiliki atap dari bentangan ranting dan daun-daun kecil, mengingat tidak ada daun lebar di sekitar sini.

Saat ini, keduanya sedang duduk dengan Marc yang sibuk membolak-balik dua kayu berujung dua ikan di dalam api. Di dalam tenda sana, Joy hanya mengusap-usap kedua lengan dengan sangat perlahan.

“Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan,” seloroh Marc yang mengangkat lalu mengangin-anginkan dua ikan yang sudah sangat hitam itu.

“Sepertinya begitu.”

“Apa kau kedinginan? Seharusnya tidak sedingin itu, karena kau ada di dalam tenda. Kalau kau kedinginan, kaus pendekku, kau bisa memakai kaus pendekku ini.”

Joy menggeleng. “Tidak perlu. Terima kasih.”

“Ya sudah. Makan?” Marc mengulurkan satu batang kayu berujung ikan ke depan Joy. Namun, karena Joy diam kemudian menggeleng, dia menancapkan ranting ikan itu di tanah.

Marc mulai mencubit daging ikan yang satu lagi. Dia memakan daging itu sedikit demi sedikit dan menunjukkan gelagat baik-baik saja. Samar-samar, dia melihat Joy yang hanya melihati dirinya makan.

“Ini enak. Cobalah,” ujarnya.
Joy mengalihkan pandangan, lantas menghela napas. “Aku tidak bisa makan yang belum dimasak. Bisa-bisa aku muntah.”

“Ini sudah dibakar.”

“Tapi tidak diberi bumbu.”

“Hm, ini original.”

“Lebih baik aku makan buah yang belum matang.”

Marc melihat sungai di depannya. “Apa menurutmu, kita bisa memilih dalam keadaan seperti ini?”

“Tentu. Hidup adalah pilihan.”

“Ya, termasuk makan atau tidak makan.”

Joy terdiam. Perempuan itu tak ingin membalas lagi. Jangankan ikan bakar original. Sushi ikan mentah yang ada nasi dan nori saja tidak pernah masuk ke dalam mulutnya.

Setelah beberapa detik, Marc menancapkan ranting ikannya di tanah. Pria itu menggosok kedua telapak tangan agar bersih, lalu berdiri. Marc menoleh ke kanan kiri, lantas mulai melangkah.

“Mau ke mana?” tanya Joy.

“Mencari buah yang masih mentah.”

“Itu tidak perlu,” sergah Joy, membuat Marc terdiam dan berhenti. “A-aku akan makan ikan itu. Kau di sini saja.”

“Baiklah.”

Marc pun kembali duduk, lantas mengambilkan satu ikan yang utuh untuk Joy. Joy menerima dengan tangannya yang tadi terluka, kemudian mulai mencubit daging ikan itu dengan tangan yang lain. Marc masih memperhatikan Joy, seperti menunggu reaksi perempuan itu setelah mencicipi ikan yang sejak tadi ditolaknya.

“Bagaimana?”

Joy tidak menjawab. Dia masih mengunyah-ngunyah daging di dalam mulut. Tidak lama kemudian, dia menelan bakaran itu dengan ragu dan susah payah, tetapi langsung mengeluarkannya lagi sambil menoleh ke samping.

“Joy!”

Marc cepat-cepat mengecek keadaan Joy. Dia segera menyambar selembar daun—yang tidak begitu lebar—lalu mengambil air di sungai untuk diminumkan kepada Joy. Joy pun meminumnya.

“Aku akan mencari buah. Tunggulah sebentar.”

Marc berdiri, lalu berjalan menjauh.
Hutan ini rasanya adalah tempat di darat yang paling gelap kalau sudah malam begini. Sinar matahari saja tidak bisa menembus rindangnya, apalagi sinar bulan. Jika Marc boleh mengibaratkan, ini sama seperti menutup mata.

The AmazoniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang