Bab 4 : Malamnya

16 12 0
                                    

Gelap.

Waktu berjalan dengan cepat. Jam di ponsel mereka sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan sekarang lima kru tim pencarian Joy sedang bersantai dengan kesibukan sendiri-sendiri; Dave bermain ponsel di tenda kecil, Jeremy bermain laptop di tenda besar, Gerry memakan sosis bakar di samping Dave, lalu Earlene dan Arion duduk diam sambil meminum teh hangat di dekat api unggun.

“Dua jam lagi waktunya tidur,” ujar Jeremy, tiba-tiba.

“Benar. Bolehkah aku tidur dengan Earlene kali ini?”

“Tidak. Kita akan tidur seperti kemarin. Kau dan Dave di tenda kecil, lalu Earlene, aku, dan Arion di tenda besar. Akan tetap seperti itu sampai misi selesai.”

Jeremy menjawab tanpa berpikir, karena itulah yang dia pikirkan malam sebelumnya. Di antara mereka, pria itu paling percaya kepada Arion dan dirinya sendiri. Tentu dia tidak mau Earlene mengalami sesuatu.

“Hei, itu tidak adil. Kenapa kami selalu dipisahkan?”

“Ah, apa Iris-nya mati?” keluh Dave saat sebuah web di ponselnya tiba-tiba tidak bisa diakses lagi. Dia berbicara dengan Jeremy tentang pathfinder bernama Iris yang sejak awal perjalanan tidak pernah mati.

“Tidak,” jawab Jeremy.

“Oh, sudah. Ternyata ponselku.”

Dave kembali memainkan ponsel. Pria itu mengecek notifikasi di atas, lalu baru menyadari ada pesan dari Alan. Dia pun membuka dan membacanya.

“Alan tahu kalau Joy ada di hutan ini,” seloroh Dave, membuat yang lain kecuali Earlene menoleh.

“Yang satu itu,” gumam Gerry sambil berdecak.

“Itu artinya Bryan sudah tahu tentang tanaman Joy.” tukas Jeremy sambil menundukkan kepala. “Penyadapnya lumayan juga.”

“Tidak masalah selama Troy tidak tahu,” sahut Arion.

“Alan tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu. Di sini dia juga mengatakan akan mengawal Troy sampai pria itu kembali bekerja karena sekarang mereka sedang libur,” jelas Dave.

Arion tertawa kecil. “Dia tidak bodoh, tapi bodoh.”

[]

“Kau sungguh tidak mau?”

Joy memandang Marc yang sibuk mengunyah sambil mengangkat setusuk burung bakar di tangan kanannya. Dia menatap pria itu dengan ekspresi ragu sambil mengalihkan pandangan ke arah api unggun di depan mereka.

“Aku tidak terbiasa makan yang seperti itu.”

“Di tempat seperti ini, dan dalam keadaan seperti ini, apa menurutmu seseorang bisa memilih?” pungkas Marc. “Makan saja. Buah bukan karbohidrat yang bagus. Kau bisa sakit perut.”

Marc tidak tahu tepatnya nama si burung. Yang pasti herbivora dan tidak beracun. Itu terlihat dari bentuk paruh yang pendek dan melengkung.

Joy mengarahkan kedua telapak tangan ke dekat api. “Selagi ada buah, kenapa harus burung mentah?” ujarnya, tidak bernada sombong.

“Aku sudah membakarnya, omong-omong.”

“Marc, apa kau membohongiku?”

“Ha?”

“Kau bilang, kau sedang bermain paralayang dengan temanmu, terbawa angin tornado, lalu tiba-tiba terbangun di tempat ini. Bukankah itu aneh?” Joy mengalihkan topik.

“Oh, itu. Tidak, aku tidak berbohong. Itu benar-benar terjadi. Saat itu aku dan temanku sudah bersepakat untuk jatuh saja, karena di depan kami benar-benar ada pusaran angin. Kami melepas semua alat pengaman, tapi itu sudah terlambat.”

The AmazoniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang