Mahen memasuki makam dengan hati yang bergemuruh, perasaan yang selalu dia tahan sekarang berdesakan ingin keluar.
Mahen berjongkok, menghadap dua nisan dengan nama yang berbeda. Mahen menatap lekat kedua batu nisan itu tanpa mengucap sepatah katapun.
Sampai hampir lima menit barulah Mahen mulai mengusap salah satu batu nisan itu. "Maaf..." Hanya satu kata itu yang dapat meluncur dari belah bibir Mahen, karena setelah mengucapkan itu air mata Mahen tak bisa dibendung lagi.
Sepertinya bendungan itu jebol menyebabkan air yang mengalir deras melewati wajah Mahen. Beberapa menit setelahnya hanya terdengar suara tangisan dari mulut Mahen. Sang paman yang berada tak jauh dari Mahen dapat merasakan bagaimana sakitnya kehilangan lewat tangisan Mahen.
Tangisan itu memang tidak keras, namun bisa sang paman lihat bahwa Mahen menahan semuanya. Dia menahan agar tangisannya tak menjadi luka lebar lagi, dan sang paman memaklumi hal itu dengan membiarkan Mahen menangis untuk sedikit melegakan pikirannya.
Hingga hampir setengah jam Mahen baru berhenti menangis, dia melihat kedua nisan itu sekali lagi. "Maafkan Mahen baru menemui kalian."
"Akhir-akhir ini Mahen sedang sibuk dengan pengelolaan perusahaan yang kakek dan nenek berikan." Mahen mengusap nisan sang kakek. Air mata mulai keluar lagi dari netra Mahen.
"Doakan saja perusahaan itu bisa awet sampai nanti kakek."
"Kakek sebenarnya Mahen masih ingin bermain dan bercanda dengan kakek, namun mengapa kakek pergi lebih dulu?" Mahen menatap batu nisan kakek lalu menggeleng lemah "kakek, kakek harus berjanji di kehidupan selanjutnya aku akan menjadi cucu kakek dan kakek harus menjadi kakekku." Mahen terkekeh mendengar perkataannya yang berbelit. Perkataan Mahen diakhiri dengan kecupan pada batu nisan sang kakek. Mehen menaburkan bunga pada makam sang kakek dan mengusap nisan kakek. "Aku sayang kakek." ucapnya.
Mahen berjalan ke samping kiri untuk menemui sang nenek. Mahen mengusap nisan itu. "N-nenek..." Mahen dengan cepat mengusap air matanya. Mahen menatap makam itu dengan lekat. "Tadi Mahen bertemu dengan wanita tua yang persis dengan nenek, dia kasihan nek dia masih berjualan bunga saat umurnya sudah tua, jadi Mahen memberikan uang lebih untuk wanita itu." Ucap Mahen dengan terus mengusap batu nisan sang nenek.
"Apa nenek tak mau memberikan Mahen pujian?" Tanya Mahen, namun tak ada jawaban. Mahen tersenyum tipis. "Maafkan Mahen ya nek, tidak bisa menjadi anak yang kuat seperti yang nenek inginkan." Mahen memeluk batu nisan sang nenek dan menangis, lagi. "Maaf nek, cucu nenek ini masih cengeng..." Mahen melepaskan pelukannya dan menaburkan bunga untuk makam sang nenek lalu dia berdiri. Menatap kedua makam yang saling berjejer.
"Semoga di kehidupan selanjutnya kita bisa menjadi, keluarga lagi." Ucap Mahen.
"Mahen akan menyempatkan diri kesini untuk menjenguk kalian, doakan Mahen agar cepat menyusul kalian." Sang paman yang berada di samping Mahen dengan reflek menepuk pundak Mahen dengan keras, Mahen menatap sang paman dengan terkekeh kecil. "Aku bercanda."
"Kakek, nenek Mahen pamit dulu, selamat tinggal..." Mahen mulai meninggalkan makam sang nenek dan kakek. Dia mulai menaiki mobil yang mengarah ke perusahaan.
"Lihatlah, cucu kita masih bisa bertahan walau tanpa kita di sampingnya."
"Ku harap dia bisa bertahan walau dengan topangan yang ia buat sendiri."
"Percaya saja pada Mahen, dia anak yang kuat."
"Kau benar..."
"Mahen, kakek dan nenek selalu mengawasi mu dari atas dan maafkan kami meninggalkanmu saat kau berusia masih kecil. Walau begitu kasih sayang kami tak berkurang sedikitpun untukmu, kami menyayangimu, Mahen."
TBC
Jangan lupa vote and komentarnya ya!!
Tunggu kelanjutan kisah ini
Bye-bye
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHEN [END]
Teen Fiction[COMPLETED] SEBELUM MEMBACA CERITA INI DIMOHONKAN AGAR VOTE DAN KOMEN untuk membuat cerita ini terus berkembang 🙏☺️ Mahen, anak yang sudah dewasa belum pada waktunya, sifatnya yang dulu ceria dan periang berubah drastis saat suatu tragedi terjadi...