20. pingsan

129 8 0
                                    

Setelah Lucas berteriak, Bryan memilih bungkam yang mana membuat Lucas semakin gencar memukulinya. Hampir 10 menit Bryan dipukuli oleh Lucas hingga tubuhnya sangat lemah "dia di gudang..." Ujar Bryan lemah.

Lucas langsung menghempaskan tubuh Bryan dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Bryan.

Selang beberapa waktu Lucas kembali dengan Jendra yang Lucas bopong. "Kau ayah yang tak bisa diandalkan." Bryan tertawa mendengar apa yang Lucas ucapkan

"Jika kau ingin membawa anak itu beri aku uang 500 juta." Lucas tertawa sinis.

"Kau benar-benar bajingan, bisa-bisanya menukarkan anakmu dengan uang." Ucapan Lucas dibalas decakan oleh Bryan.

"Mau atau tidak?" Lucas melihat pengawal nya, mengkode pengawalnya untuk membawa Jendra ke mobil. Setelahnya dia menatap Bryan "baik, jika itu yang kau mau. Nanti akan aku transfer."

"Baiklah, selamat mengurus anak tak berguna itu. Dan keluar dari rumahku." Ucapan Bryan terdengar sangat sopan, tapi di mata Lucas itu perkataan yang sinis dan meremehkan dirinya. 

Lucas dengan cepat segera pergi dari rumah itu dengan mobil. "Ada gunanya juga anak itu..." Gumam Bryan dengan membayangkan bagaimana uang sebanyak itu akan segera memenuhi rekeningnya.

Lucas melihat ke sampingnya, di mana Jendra yang masih pingsan dengan tubuh yang dipenuhi oleh luka cambuk. Lucas mengambil selimut yang ada di belakang dan menyelimuti Jendra agar anak itu tak kedinginan. "Kita langsung pergi ke rumah." Titah Lucas pada sang supir.

Setengah jam menempuh perjalanan akhirnya mereka sampai di rumah. Lucas menggendong Jendra dan menyuruh pengawalnya untuk menelpon dokter untuk segera ke sini.

Lucas membawa tubuh Jendra ke salah satu kamar yang ada di rumah itu. Dia meletakkan Jendra dengan hati-hati. Kemudian dia merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya, dengan cepat dia menelpon Mahen.

"Mahen cepatlah datang!Firasat mu benar." dapat Lucas dengan ada suara kaca pecah di sebrang sana.

"JANGAN BERCANDA LUC!"

"Ini bukan saatnya bercanda."

"Baiklah aku akan pulang, awasi Jendra terus."

Mahen dengan segera mematikan ponselnya dan berlari keluar ruangannya. "Ada apa Hen?" Mahen tak menjawab.

"Kau urus meetingnya dulu, aku ada urusan." setelahnya Mahen langsung berlari meninggalkan Hendra dengan kebingungannya.

Mahen berlari dan saat sampai pada parkiran, dengan gerakan tak santai dia membuka pintu kasar dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. "Bertahanlah Jendra, kakak memohon padamu."

Hampir 15 menit perjalanan akhirnya Mahen sampai di rumah. Dengan cepat dia membuka pintu dan berlari ke dalam rumah "kau sudah sampai? Cepatlah ke kamarmu, dia terus menerus memanggilmu." Ucapan Lucas diangguki oleh Mahen. Dengan langkah tak sabaran Mahen berjalan kearah kamarnya.

Ceklek

Mahen melihat bagaimana kondisi adiknya sekarang, dengan ragu dia mulai berjalan mendekat kearah tempat tidur, diatasnya terdapat Jendra yang terbaring lemah. "Bagaimana keadaannya?" Mahen bertanya pada seseorang yang berada di kamarnya untuk mengecek kondisi adiknya. Dhika, selaku dokter juga rekan bisnis Mahen mendekat.

"Apa ini sudah terjadi berulang kali?" Tanya Dhika, netranya dari tadi tak lepas dari Jendra.

Mahen tak bodoh dengan apa yang dimaksud oleh dokter itu "semuanya..., membekas?" Pertanyaan itu diangguki oleh Dhika. 

"Tak sedikit juga aku melihat ada beberapa luka bakar dan luka gores di pundak dan dadanya." Tangan Mahen terkepal kuat, menahan sesuatu yang jika tidak Mahen kontrol dia akan meledak.

"Apa semuanya bisa disembuhkan?" Dhika mengangguk.

"Aku bisa memberikan dia obat dan salep untuk dia pakai agar luka-luka itu cepat mengering." Mahen menatap Jendra dengan lama.

"Kau pantau terus bagaimana perkembangannya, aku akan keluar." Saat Mahen ingin keluar dari kamar itu tangannya dicekal oleh Dhika.

"Bisakah kau di sini sebentar? Adikmu membutuhkanmu..." Dhika berujar pelan, namun dapat Mahen dengar.

"Bisakah?" Tanya Dhika memastikan. Mahen tak berkata apapun, dia berjalan lebih dekat ke Jendra dan mengambil kursi untuk di duduki samping kasur Jendra. "Aku akan pergi dulu, kau jaga Jendra." Dhika melenggang keluar dari kamar itu.

Mahen dengan ragu mengelus rambut kusut Jendra, hatinya sakit melihat bagaimana kondisi sang adik saat ini. "Cukup aku saja yang terluka, jangan kau...." Lirih Mahen.

Air mata yang sedari tadi dia bendung akhirnya keluar juga "kau membuatku merasa tak becus menjadi kakak, Jen..." Tangan yang tadi mengelus rambut Jendra sekarang turun untuk mengelus pipi Jendra.

"Aku sebenarnya membencimu, tapi rasa sayangku lebih besar dari rasa benciku. Aku tahu aku egois, menginginkan semua milikku hanya akan menjadi milikku. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa aku juga harus berbagi padamu Jen."  Mahen menatap Jendra dengan tatapan sendu, dia kembali mengelus rambut adiknya.

"Saat aku merelakan apa yang menjadi milikku untuk kau miliki, mereka sekarang malah menyerangmu tanpa sepengetahuanku...."

"Jika semua berawal dariku maka semua juga harus berakhir di tanganku."  Setelah mengucapkan itu Mahen berdiri dan keluar dari kamar tersebut. Membiarkan Jendra yang masih tertidur dengan pipi yang dilinangi air matanya.

"Jika tadi itu mimpi maka jangan bangunkan aku Tuhan...." Gumam Jendra.






















TBC

Jangan lupa vote and komentarnya ya!!

Tunggu kelanjutan kisah ini

Bye-bye

MAHEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang