3 : Hai, Kota Masa Lalu!

447 34 0
                                    

"Lo emang sengaja bikin gue balik ke Jakarta 'kan?" tanya Raka begitu keduanya berada di dalam mobil milik Yuna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo emang sengaja bikin gue balik ke Jakarta 'kan?" tanya Raka begitu keduanya berada di dalam mobil milik Yuna. Tetapi, yang menyetir justru Raka. Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju stasiun.


"Gak juga sih," balas Yuna tak acuh.

"Jangan bohong. Gue tahu, lo pasti mau nyingkirin gue supaya lo bisa bebas ngelakuin apapun. Tanpa gue larang." Meskipun ekspresi Raka terlihat tenang, tetapi di dalam hatinya laki-laki itu marah.

Yuna yang sedang sibuk berbalas pesan dengan Bram, pacarnya seketika menoleh. "Emang apa salahnya, sih. Kan kalau lo ke Jakarta juga pasti ketemu sama Haura."

Raka mengeratkan pegangannya di setir mobil. Ada emosi tertahan dibalik wajah tenangnya itu. "Dia di Bandung."

Yuna kembali sibuk memainkan HP-nya. "Yah, siapa tahu kalian ketemu. Lagian masa iya sih, dia gak ngunjungin orang tuanya. Orang tua dia kan ada di Jakarta."

Raka mengembuskan napas lelah. Sepertinya ia sudah salah memilih tempat curhat, seharusnya Raka tak pernah menceritakan soal hubungan menyedihkannya dengan Haura. Lihat saja sekarang, Yuna terlihat santai saja, meski sudah menyinggung soal masa lalunya.

"Lagian, bukannya lo mau ketemu Haura, ya?" tanya Yuna setelah menyimpan HP-nya di tas. Ia sekarang sibuk menatap jalanan.

"Itu dulu. Sekarang beda."

"Raka, jangan bilang lo jadi dendam sama Haura? Cewek itu kan gak ada salah sama lo. Yah, kalian juga berpisah karena kemauan masing-masing atau bahkan karena keadaan. Bukan Haura nyakitin lo."

"Berhenti bahas dia."

Yuna menghela napas. Kemudian memalingkan wajahnya ke samping. "Lo jangan khawatir soal kondisi gue di sini. Sekarang, fokus aja sama hidup lo. Hidup gue bukan tanggung jawab lo Raka."

"Gak bisa."

Yuna menoleh. Menatap Raka dalam. Ada kesedihan di kedua bola mata Yuna. Perempuan itu merasa menyesal karena membiarkan Raka ikut campur dalam kehidupannya. Sekarang ia bahkan tidak bisa membuat Raka menjauh. Padahal jelas, Yuna hanya ingin Raka bahagia.
"Gue bakalan kasih tahu lo, kalau gue perlu bantuan, okey?"

Raka menatap Yuna sekilas, sebelum kemudian kembali fokus menyetir. "Gue gak bisa, Yuna."

Yuna berdecak kesal. "Kalau lo keras kepala, gue bakalan nekat."

Cukup dengan ancaman tersebut, Raka buru-buru berbicara. "Iya-iya."

Senyum Yuna terukir. "Bagus."

Iya, menurut Yuna ini bagus. Karena dengan jaraknya yang jauh, Raka tak akan lagi mengawasinya. Bukan bermaksud jahat, Yuna hanya ingin Raka juga memiliki kehidupan yang bahagia, tanpa harus melulu mengurusi kehidupannya.

Yuna justru berharap dengan Raka bertemu Haura, laki-laki itu bisa sembuh dari lukanya.

Raka menghirup udara Jakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raka menghirup udara Jakarta. Udaranya masih sama. Masih tak menyehatkan dan banyak polusi. Terlebih lagi sekarang sudah tengah hari. Cuaca di Jakarta jadi semakin panas.

Begitu keluar dari area stasiun, Raka melangkah mendekati Cafe You, cafe yang ada di sekitaran stasiun. Laki-laki itu perlu meminum segelas coffee latte dingin untuk menyegarkan tenggorokannya. Lagi pula tidak ada yang menjemputnya di stasiun. Karena Raka yang melarang kakek dan neneknya menjemput. 

Raka masuk ke Cafe You, laki-laki itu memesan segelas coffee latte dingin. Kemudian membayarnya. Sembari menunggu, Raka memilih duduk di kursi yang dekat dengan jendela.

Raka sibuk memainkan HP-nya sembari menunggu. Namun, hingga lima belas menit kemudian minumannya tak kunjung datang. Raka berdiri, hendak bertanya pada kasir. Tetapi, langkah kakinya tertahan begitu mendengar suara lantang seseorang dari meja pojok dekat jendela.

"Temen gue 'kan minta lemon tea hangat, bukan coffee latte dingin. Tolong ganti, ya."

"Udahlah, Han. Gak papa."

Raka berjalan mendekati meja pojok. Laki-laki itu sepertinya mengenal suara itu.  Tetapi, agak ragu.

"Mas, mungkin tertukar dengan punya saya. Dari tadi saya tunggu pesanannya gak datang-datang," kata Raka begitu ia berdiri di samping seorang pelayan.

Mendengar suara lain, bukan hanya si pelayan cafe yang menoleh. Tetapi, dua orang perempuan yang duduk berdampingan itu juga menoleh.

"Oh, iya mas. Maaf saya lupa. Mau saya bawakan saja."

"Tidak usah, sebaiknya mas cepat mengambil pesanannya," jawab Raka santai, sembari menunjuk seorang perempuan berkerudung mocca, yang tak lain adalah Haura.

"Lo Raka?" tanya perempuan berkuncir kuda, dia Hana.

"Iya," jawab Raka singkat.

Raka mengambil coffee latte yang ada di meja hendak pergi. Tetapi, suara Hana lebih dulu mengintrupsi.

"Lo gak mau gabung sama kita aja?"

Raka tak menanggapi jawaban Hana. Laki-laki itu memilih melangkah pergi menuju mejanya. Sedingin itu, sikap Raka. Berbeda sekali dengan saat SMA dulu.

Yang paling heran dengan sikap Raka yang dingin adalah Haura. Sedangkan Hana cuek saja.

"Ra."

Haura tersentak. "Kenapa?"

"Lo kepikiran soal sikap Raka?"

Haura mengangguk. "Iyah, apa mungkin aku ada salah ya sama dia? Bahkan dia aja gak mau natap aku. Kayak ngehindarin gitu."

"Bukannya bagus, ya. Jadi, lo bisa move on."

"Astagfirullah, iya juga." Haura banyak beristigfar dalam hati karena memikirkan soal Raka. Ia seharusnya tak memikirkan hal seperti itu. Tetapi, melihat Raka kembali setelah sekian lama. Ada getaran lagi di hati Haura.

"Udah fokus aja sama diri lo."

Haura mengangguk. Ia sebaiknya tidak mencampuri urusan Raka atau mendekati Raka lagi. Karena tindakan tersebut justru akan membuat tindakannya saat dulu menjauh dari Raka akan sia-sia. Haura hanya perlu meneguhkan hati lagi. Dan fokus pada urusannya sendiri.

Pesanan Haura sampai. Haura menyesap lemon tea hangatnya. Kemudian menatap Hana yang sibuk bermain HP. "Kamu jadi kuliah?"

Hana mengangguk. "Iyah, tapi gue ngambil jalur mandiri. Yah, walaupun lumayan mahal sih."

"Orang tua kamu setuju?" tanya Haura penasaran. Karena setahunya, saat dulu kelas XII orang tua Hana tak menyetujui jurusan yang dipilih Hana.

"Setuju, asalkan gue sungguh-sungguh. Dan yah, bisa dibilang gue harus ngirit duit. Bukan karena ortu gue ada masalah sama bisnisnya. Tapi, karena mereka itu cuma mau nantangin gue. Jadi, yah gue jabanin lah."

"Masih jurusan sastra indonesia?"

Hana mengangguk. "Kalau lo?"

"Aku mau gapyear."

Hana mangut-mangut. "Okey, gak masalah asal lo harus manfaatin waktu."

Hm, kira-kira apa yang bakalan terjadi ke depannya yah?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hm, kira-kira apa yang bakalan terjadi ke depannya yah?

See you next part❤

Salam Hangat

Ana HR
07/03/2023

Badai Rasa [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang